Mendapatkan Penghargaan Belum Tentu Prestasi Sungguhan

“Penghargaan” dari Presiden

Apa yang kita ingat dari momen 25 Agustus 2025? Sebagian dari kita mungkin lupa. Izinkan tulisan ini mengingatkan.

Ada dua peristiwa penting. Di dalam istana, Presiden Republik Indonesia memberikan banyak penghargaan. Sedangkan di luar istana, rakyat Indonesia melakukan unjuk rasa yang kini dikenal dengan tuntutan 17+8. Dua peristiwa yang bertolak belakang antara kalangan elit dan rakyat.

Tulisan ini tidak membahas aksi 17+8. Tulisan ini akan menyoroti tentang pemberian penghargaan oleh presiden. Karena momen ini seolah menjadi déjà vu atas kebijakan presiden sebelumnya di akhir periode. Lihat saja nama penerimanya di tahun 2024, kita bertanya-tanya atas kelayakan mereka mendapatkannya. Alih-alih memberi penghargaan, ini lebih pantas disebut balas budi.

Bagaimana dengan pemberian penghargaan tahun ini? Lebih kurang sama saja. Adapun penghargaan yang diberikan tahun ini terdiri dari Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, Bintang Kemanusiaan, Bintang Budaya Parama Dharma, hingga Bintang Sakti.

Lantas, apa syarat mendapatkan penghargaan tersebut?

Penerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Orang yang bisa menerima gelar tersebut adalah mereka yang dianggap telah berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara.

Selain itu, mereka yang mendapatkan gelar tersebut dianggap telah melakukan pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara. Mereka juga dianggap telah memberikan darma bakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional. (Tempo.co)

Sekarang, coba lihat nama penerima penghargaan tersebut. Layakkah? Jika ingin membandingkan lebih jauh, lihat nama-nama tokoh terdahulu. Sangat pantas. Bahkan boleh dikatakan telat untuk diberikan. Bagaimana dengan penghargaan di masa kini?

Di periode sebelumnya, presiden pernah memberikan penghargaan ke istri. Di periode ini, presiden memberikan penghargaan ke adik. Persamaan lainnya, mereka sama-sama memberikan penghargaan untuk para loyalis, terutama yang menjadi pejabat publik.

Sebagian dari mereka memang layak. Sebagian yang lain, layak dipertanyakan. Maka wajar saja orang umum berkesimpulan. Ternyata bukan hanya bagi-bagi jabatan atau rangkap jabatan, bagi-bagi penghargaan pun bisa dilakukan.

Refleksi Keteladanan: Tokoh Publik Kencing Berdiri, Rakyat Kencing Berlari

Oknum Perusak Instansi atau Instansi yang Sengaja Merusak Diri?

Ijazah dan Penghargaan Hanya Formalitas?

Ijazah adalah tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang pernah berpikir. – Rocky Gerung.

Mungkin banyak yang tidak suka pada Rocky Gerung karena ucapannya yang kerap pedas. Namun, tidak suka pada sosoknya bukan berarti harus menolak semua pendapatnya. Kalimat di atas, misalnya, memang tidak bisa ditelan mentah-mentah, tapi layak kita renungkan. Banyak orang yang punya ijazah hanya sebatas formalitas. Begitu pula dengan penghargaan. Apakah setiap penghargaan identik dengan prestasi sungguhan?

Fenomena pemberian penghargaan oleh presiden adalah contoh dari politik gentong babi dan teori patron–klien. Penguasa membagi “penghargaan” yang lebih mirip hadiah, agar loyalitas terjaga. Efeknya, penerima merasa berhutang dan harus melunasinya. Hubungan ini timbal balik, tapi jelas tidak setara.

Kalau kita pakai definisi sederhana, prestasi berarti berhasil mencapai sesuatu—sekecil apa pun itu. Namun apakah penghargaan semacam ini layak disebut prestasi? Kita sama-sama tahu jawabannya.

Apakah semua yang duduk lama di kursi jabatan otomatis terbaik? Rasanya tidak.

Apakah piagam dan medali cukup jadi bukti keberhasilan? Bukankah yang lebih penting adalah apa yang dirasakan rakyat?

Apakah prestasi bisa dicetak di kertas sertifikat? Atau harus tercermin dari perubahan hidup masyarakat?

Lama menjabat, sering berpindah posisi, atau mendapat piagam kehormatan bukan otomatis tanda kualitas. Prestasi pejabat publik seharusnya diukur dari hasil kerja nyata yang dirasakan masyarakat. Bukan dari sertifikat, bukan dari panggung seremoni.

Dan satu lagi. Bisa jadi ada orang yang berkualitas, tapi tidak mendapatkan kesempatan. Maka menilai orang yang kini menjabat adalah yang terbaik, tentu saja masih bisa dikritisi.

Media Idealis: Ekspektasi yang Terlalu Tinggi dan Tidak Realistis?

Ketika Akademisi Tidak Lagi Didengar: Matinya Kepakaran di Indonesia

Prestasi Butuh Indikator yang Berdampak, Bukan Klaim Sepihak

Pertengahan tahun lalu, saya mendatangi dialog publik yang narasumbernya adalah kepala daerah pada masanya. Saya sempat bertanya terkait prestasi dan kontribusi terhadap dua kepala daerah tersebut. Jawabannya lebih kurang berikut ini:

Saya bekerja tidak mencari prestasi atau penghargaan. Karena itu datangnya dari orang lain. Bekerja ya bekerja saja. Namun jika ditanya prestasi, tentu ada banyak sebagaimana yang disebutkan tadi. Namun setidaknya ada beberapa hal.

Pertama, pada masa pemerintahan saya SMA dan SMK gratis. Lebih dahulu daripada kebijakan nasional.

Kedua, pada masa awal pemerintahan saya, hanya ada 10 desa mandiri. Sekarang, sudah sekitar 600 desa mandiri. Kami juga menganggarkan bantuan untuk desa. Tidak semua provinsi yang ada.

Drs H. Syamsuar, M.Si

Gubernur Riau 2019-2023

Prestasi daerah punya indikator. Salah satunya adalah indeks pembangunan masyarakat (IPM). Sebelum saya menjabat, IPM Pekanbaru cukup tinggi. Lebih dari rata-rata nasional. Tapi setelah saya menjabat, IPM Pekanbaru 83. Melebihi pertumbuhan di rata-rata nasional dan Malaysia. Indikatornya apa? Di antaranya usia harapan hidup, lama wajib belajar, dan kesenjanjangan sosial.

Untuk anggaran pembangunan SDM di Pekanbaru melebihi 50%. Terdiri dari 38% pendidikan saat UU hanya mengamanahkan 20%. Ditambah pelayanan kesehatan dan pemberdayaan dengan total 50% Selain itu, Pekanbaru juga termasuk kota digital di Indonesia.

Dr. H. Firdaus S.T., M.T

Walikota Pekanbaru 2012-2022

Dua kepala daerah tersebut menjawab dengan cara yang bagi saya menarik. Mereka memaparkan indikator. Pertanyannya adalah, apakah data tersebut benar-benar dirasakan oleh masyarakat? Ada yang mungkin benar-benar dirasakan, ada yang mungkin hanya sebatas data di pencatatan. Data tentu saja penting. Namun data yang benar-benar validlah yang benar-benar dibutuhkan.

Dari penghargaan presiden, klaim prestasi, hingga rekor MURI. Pertanyaannya sama, apakah itu semua prestasi sungguhan?

Kabupaten Kampar berkali-kali meraih “prestasi”.  Tahun 2014, menyajikan 621.363 buah kue pelita daun. Tahun 2015, pemukulan oghoung (gong) calempong terlama, yakni, selama 72 jam 64 menit. Tahun 2022, sebagai daerah dengan mobil ambulance terbanyak di Indonesia, tepatnya 242 unit (1 ambulance 1 desa).  Dan terbaru, tahun 2025 menyajikan 1.373 gulai ikan salai patin.

Semua prestasi tersebut memecahkan Rekor MURI dan biasanya dalam rangka menyambut HUT Kampar yang bertepatan pada tanggal 6 Februari setiap tahunnya. Apakah semua hal tersebut prestasi? Tentu saja. Setidaknya, nama Kampar semakin dikenal sebagai rangka promosi daerah. Namun, apakah “prestasi” tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat? Belum tentu.

Atau tanyakan saja hal sederhana.

Apakah kue pelita daun dan gulai ikan salai patin pada hari H benar-benar dikonsumsi atau banyak yang terbuang?

Apakah seniman daerah, khususnya oghuong calempong semakin diperhatikan?

Apakah pelayanan ambulance di tiap desa sudah memuaskan masyarakat?

Jadi, semuanya itu benar-benar prestasi atau hanya sebatas angka?

Hati-Hati dengan Legitimasi Prestasi

Banyak cara yang dilakukan untuk melegitimasi pencapaian dan prestasi. Karena penguasa nyaris punya segala sumber daya. Baru-baru ini bahkan, bioskop menampilkan video prestasi pemerintah sebelum tayangan dimulai. Berbagai komentar pun bermunculan. Saya tak perlu menyebutkan di sini. Cek saja kolom komentar dari berita tersebut.

Kritikan saya sebagai penulis atas hal yang dianggap prestasi oleh pemerintah bukanlah tanda saya membenci negeri dan daerah saya. Justru kritikan itu ditujukan untuk mengingatkan kita. Kepada rakyat, jangan tertipu dengan angka dan agenda wah. Kepada pejabat publik, jangan sibuk memoles citra sebagai kosmetik, tapi fokuslah pada esensinya apa.

Sebagai rakyat biasa, saya pun ingin mengingatkan, di mana posisi kita saat ini? Apakah sebagai pemilih atau pendukung? Pemilih berarti menggunakan hak suaranya di kotak suara, lalu mengawal jalannya pemerintahan. Atau menjadi pendukung karena pilihan kita menang. Atau mungkin pilihan kita kalah, tapi mendukung siapa yang terpilih saat ini.

Bagaimana? Menjadi pemilih atau pendukung?

Atau bagaimana jika kita menjadi rakyat? Rakyat yang menuntut atas segala janji-janji yang diberikan. Rakyat yang dilayani oleh mereka yang seharusnya melayani. Rakyat yang menuntut atas hak yang harusnya ditunaikan karena kita sudah membayar kewajiban berupa pajak dengan segala rupa, baik disadari atau tidak disadari.

Menjadi rakyat yang kritis bukan berarti membenci penguasa. Karena kritis adalah hal mahal yang membuat kita tidak tertipu dengan gimmick prestasi. Karena prestasi butuh bukti nyata, bukan klaim sepihak saja.

Ini Kesempatan Anak Muda! Tapi Anak Muda Yang Mana?

Tokoh Publik Jangan Antikritik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *