Media Idealis: Ekspektasi yang Terlalu Tinggi dan Tidak Realistis?­

Ilustrasi jalan bercabang sebagai simbol pilihan media idealis

Dulu, media berupa saluran televisi di Indonesia hanya satu, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Lahir pada 24 Agustus 1962 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 29/SK/VII/61. Untuk mendorong kemajuan demokrasi di Indonesia, izin terhadap televisi swasta lain pun diberikan. Lahirlah RCTI (1989), SCTV (1990), TPI (1991), ANTeve, Indosiar (1994), dan televisi swasta lainnya.

Namun kini, televisi tidak lagi menjadi referensi utama. Perkembangan internet membuat banyak orang beralih ke berita online, media sosial, bahkan influencer.

Dulu, semakin susah usaha membangunnya, semakin sulit orang memasukinya. Berbeda dengan kini. Perkembangan teknologi membuat media jauh lebih mudah dibuat. Semua orang nyaris bisa membuat media. Dan seharusnya, daya kritis seseorang untuk menerima informasi semakin kuat. Namun nyatanya tidak juga.

Pada masa pilpres kemarin kita diperlihatkan dengan fenomena yang menyedihkan. Bagaimana bisa suara dari para pakar, ahli, dan akademisi dianggap sebelah mata, sedangkan suara dari influencer ditelan mentah-mentah? Maka, selamat datang di “The die of expertise era.” Ada bukunya loh. Ditulis oleh Tom Nichols yang berjudul “The Death of Expertise”.

Baca juga:
Ketika Akademisi Tidak Lagi Didengar: Matinya Kepakaran di Indonesia
Refleksi Keteladanan: Tokoh Publik Kencing Berdiri, Rakyat Kencing Berlari

Apakah Sebuah Media Harus Netral?

Saya pribadi meyakini tidak ada yang namanya netral. Buktinya slogan netralitas ASN dan pejabat negara tidak benar-benar nyata. Hanya slogan semata. Lihat saja di lapangan. Apakah netralitas itu terjadi?

Bukan hanya sebatas pilihan politik. Netralitas itu nyaris mustahil terjadi karena berbagai pertimbangan. Maka daripada menyebut netral, akan lebih pas jika disebut nonpartisan. Karena bayangkan saja. Saat ada penyimpangan terjadi, lantas hanya karena ingin netral, kita diam begitu saja? Tentu tidak bijak. Ambillah sikap sebijaknya. Tidak berpihak pada kelompok tertentu, ya tidak masalah. Tapi tentu sikap harus ada.

Istilah nonpartisan mungkin saja hanya cocok dalam konteks politik. Mungkin saja loh ya. Ada kata lain yang bisa menggambarkan untuk mengganti kata netral. Apa itu? Independen dan objektif.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Apakah sebuah media harus netral? Menurut saya, akan lebih cocok jika media seharusnya objektif dan independen agar bisa memberikan edukasi bagi masyarakat. Kecuali tujuan awalnya adalah memang untuk menggiring opini tertentu.

Sebagian dari kita mungkin sudah tahu tentang obrolan Pandji Pragiwaksono di Total Politik. Potongan video yang viral membahas tentang asian value, dinasti politik, korupsi enggak apa-apa yang penting semua happy, dan masih banyak lagi. Saya tidak ingin membahas hal tersebut karena sudah sering dibahas. Saya ingin mengambil potongan obrolan yang maknanya lebih kurang sebagai berikut.

“Media tidak hidup dari politisi. Media hidup dari pengunjung yang menonton. Ada tanggung jawab media atas opini publik.”

Agar lebih memahami konteksnya, silakan tonton mulai menit 42:00. Jika ingin menonton versi utuh juga silakan.

Pernyataan tadi hanya sebatas harapan. Karena faktanya tidak begitu. Banyak media yang dikuasai oleh politisi. Jika tidak dikuasai, setidaknya menjadi ajang promosi. Tidak percaya? Lihat saja banyak media (terutama media lokal) yang sebagian besar pasti berisikan iklan politisi atau bahkan liputan kegiatan mereka.

Saya sebenarnya bisa memaklumi kenapa media lokal mengambil sikap seperti itu. Karena mereka pasti juga kebingungan harus mencari pemasukan dari mana lagi. Namun yang disayangkan adalah saat media harusnya bisa mencerdaskan pembaca, alhasil hanya menjadi corong penguasa. Dan hal ini terjadi di berbagai media. Baik tv, cetak, atau online.

Media cetak misalkan. Sejak dulu, keluarga saya sudah berlangganan koran cetak yang diantar ke rumah. Koran lokal tentunya. Sebagai visualiasi, koran tersebut memberikan ruang bagi setiap kota/kabupaten untuk mempublikasikan kegiatannya sebagai bentuk pro otonomi daerah. Namun ada pada titik tertentu, ibu saya berhenti untuk langganan koran. Ada banyak alasan. Selain karena beliau sudah pensiun, alasan lainnya karena ruang otonomi daerah yang dimaksud selalu meliput kegiatan pejabat dengan kepentingan tertentu. Seolah olah pejabat tersebut sudah bekerja dan berhasil dengan satu solusi untuk segala masalah kompleks di daerah.

Bagaimana dengan media online kini?

Ekspektasi saya sepertinya terlalu tinggi terhadap media online, terutama media lokal. Ada banyak masalah yang terlihat. Kualitas adalah salah satunya. Media online berbasis website memang menjamur. Namun pertumbuhannya tidak beriringan dengan kualitasnya. Lihat saja dari kualitas penulisan. Kaidah tata baca saja masih salah. Belum lagi cara penulisan dan pesan yang disampaikan. Masalah lainnya, banyak media online yang kontributornya hanya sebatas copy paste dari media sebelah tanpa ada penyeleksian kembali. Yang penting kejar tayang dan tambah kunjungan.

Lantas, jika dua hal tersebut saja yang seharusnya menjadi standar minimal masih bermasalah, boro-boro berharap idealisme dari sebuah media. Alhasil, ya makin kecewa.

Lalu, apa yang bisa dilakukan seorang netizen terhadap media? Jaga kewarasan dan tetap kritis. Karena percayalah, tidak ada media yang netral. Pasti ada keberpihakan. Baik keberpihakan pada tokoh, kelompok, atau nilai.

Namun jangan antipati juga dengan media. Tetap waras dan kritis. Percayalah pada nilai, bukan pada media, apalagi sosok.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *