Wapres termuda sepanjang sejarah Indonesia.
Gubernur termuda di Indonesia.
Ketua umum partai termuda.
Momen ini membuktikan bahwa inilah saatnya anak muda memimpin!
Tunggu-tunggu. Apakah dengan melihat fakta seperti itu, lantas kesimpulannya inilah saatnya anak muda maju dan memimpin? Apakah benar ini saatnya kesempatan anak muda? Atau hanya kesempatan anak muda yang memiliki koneksi politik dan akses ke kekuasaan?
Sebelum tulisan ini, saya sebenarnya sudah menulis beberapa tulisan dengan kegelisahan yang sama. Anak muda dan kepemimpinan dalam dunia politik. Silakan baca saja di tulisan berikut:
Menjadi yang Termuda: Prestasi atau Haus Validasi
Usia Muda Belum Tentu Mewakilli Anak Muda
Walaupun kali ini masih dengan kegelisahan yang sama, tapi ada hal baru yang ingin saya sampaikan. Seputar kepempinan intelektual muda di dunia akademik. Namun sepertinya saya tetap harus memulai dengan isu dinasti.
Anak Muda Menang Karena Dinasti?
Pada tanggal 27 November 2024 lalu pilkada serentak dilaksanakan di 545 titik dengan rincian: 37 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Jumlah total pasangan calon yang maju dalam pilkada serentak 2024 adalah 1.553 pasangan calon atau sebanyak 3.106 individu. Namun ada fakta menarik yang mungkin luput oleh banyak orang.
Data ini saya dapat dari hasil penelitian kolaborasi antara Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), dan pusat riset politik dan pemerintahan PolGov UGM. Data ini dipublikasikan juga di kompas.id. Apa intinya?
Ada 605 calon dengan latar belakang politisi dinasti ikut dalam persaingan pilkada serentak. 605 calon itu tersebar dalam 352 pilkada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Maka dari 545 titik yang melaksanakan pilkada serentak, terdapat calon politisi dinasti mencapai 65,59 persen. Sebanyak 384 orang berstatus sebagai calon kepala daerah sedangkan 221 orang maju sebagai calon wakil kepala daerah.
Yoes C Kenawas, peneliti IFAR menerangkan, jumlah total pasangan calon yang maju dalam pilkada serentak 2024 adalah 1.553 pasangan calon atau sebanyak 3.106 individu. Artinya, persentase politisi dinasti dari angka itu adalah 19,5 persen.
Apakah angka ini terhitung tinggi? Tentu saja. Coba bandingkan dengan pilkada sebelumnya.
Pada pilkada serentak 2017, terdapat 37 calon politisi dinasti; pada pilkada serentak 2018 tercatat sebanyak 109 calon politisi dinasti; dan pada pilkada serentak 2020 terdata sejumlah 160 calon politisi dinasti. Total ketiga pilkada serentak itu diikuti 306 calon politisi dinasti. Tahun 2024? 605 calon! Nyaris dua kali lipat.
“Apa salahnya keluarga maju? Kan tidak ada larangan? Yang penting kan bisa bekerja.”
Memang, tidak ada larangan. Namun perlu dicatat bahwa aturan tersebut pernah ada.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, yang merupakan revisi dari UU No. 1/2015 tentang Pilkada, awalnya mengatur pembatasan bagi calon kepala daerah dan wakilnya guna mencegah praktik politik uang dan konflik kepentingan. Dalam Pasal 7 Huruf r, diatur bahwa calon tidak boleh memiliki hubungan darah, perkawinan, atau garis keturunan langsung dengan petahana, kecuali telah melewati satu periode jabatan.
Namun, pada 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan tersebut. Ketua MK saat itu, Arief Hidayat, berpendapat bahwa dalam sistem demokrasi modern—seperti yang diterapkan di Amerika Serikat—setiap warga negara memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum (right to be candidate). Menurutnya, pembatasan terhadap hak tersebut hanya dapat dilakukan melalui keputusan pengadilan dalam bentuk hukuman tambahan.
Kembali lagi ke pertanyaan di atas.
“Apa salahnya keluarga maju? Kan tidak ada larangan? Yang penting kan bisa bekerja.”
Ayolah. Jika caranya saja tidak benar‒apalagi dengan menghalalkan segala cara‒masa sih masih bertanya salahnya ada di mana? Sekarang mari jujur melihat daerah yang mengalami politik dinasti? Apakah benar-benar sejahtera atau hanya terlihat sejahtera di media? Contohnya saja. Di sebuah kabupaten, bupatinya korupsi. Istrinya maju dan terpilih. Bahkan maju lagi dan terpilih. Kok bisa! Memang, masyarakat yang memilih. Namun aturan tersebut penting untuk ada agar “kebodohan” semacam ini tidak terjadi lagi.
Ohya, politik dinasti bukan hanya tentang orang tua ke anak ya. Termasuk ke pasangan, saudara, atau hubungan perkawinan.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan anak muda dalam dunia politik? Saya lampirkan fakta dari pilkada kemarin saja ya.
- Wakil Gubernur Lampung usianya 30 tahun. Adik dari wakil gubernur sebelumnya dan ayahnya adalah tokoh masyarakat
- Wali Kota Kediri usianya 26 tahun. Ayahnya bertugas di Polda Jatim.
- Wakil Bupati Kudus usianya 25 tahun. Ayahnya bertugas di Kejaksaan Agung RI.
- Wakil Wali Kota Kupang usianya 25 than. Ayahnya anggota DPR RI 2009-2014 dan 2014-2019.
- Wakil Bupati Kupang usianya 26 tahun. Ayahnya Bupati Kupang dua periode (2006-2018).
- Bupati Tuban terpilih untuk periode kedua. Saat dilantik pertama usianya 28 tahun. Kini 32 tahun. Ibunya Bupati Tuban dua periode (2001-2011).
- Bupat Kediri terpilih untuk periode kedua. Saat dilantik pertama usianya 28 tahun. Kini 32 tahun. Ayahnya Gubernur Jakarta saat ini.
- Bupati Buton usianya 28 tahun. Ayahnya Gubernur Sulawati Tenggara periode 2018-2023.
- Bupati Purbalingga usianya 28 tahun. Ayahnya anggota DPR RI saat ini.
- Wakil Bupati Barito Timur usianya 26 tahun. Ayahnya tokoh masyarakat dan pengusaha ternama.
- Bupati Subang usianya 28 tahun. Ibunya anggota DPR saat ini.
Dari fakta tersebut, apa kesimpulan yang bisa didapatkan? Kalau jawaban netizen sih, “Jangan lihat usianya, tapi lihat orang tuanya.”
Bagaimana tanggapan saya? Dua artikel sebelumnya sudah cukup banyak untuk dibahas. Silakan baca saja. Intinya adalah kapasitas, bukan tentang usia. Karena banyak yang katanya muda, tapi masih pakai “cara lama”. Kalaulah begitu, apa lagi yang ditawarkan anak muda? Bukankah anak muda seharusnya menawarkan kebaruan, perbaikan, dan masa depan? Bukan sebatas keberlanjutan cara-cara lama.
Baca lagi di sini:
Menjadi yang Termuda: Prestasi atau Haus Validasi
Usia Muda Belum Tentu Mewakilli Anak Muda
Lantas bagaimana jika dia dari keluarga ternama, tapi memang punya kapasitas, tidakkah boleh maju dalam dunia politik? Ya kembali lagi, jika punya kualitas dan caranya benar, ya silakan saja.
Sebenarnya, yang merasakan kerugian dari anak tokoh ternama yang maju adalah peluang yang tertutupi untuk orang lain. Baik itu sesama anak muda yang bukan anak siapa-siapa, atau bahkan tokoh senior sekalipun. Coba saja lihat dinamika politik di daerah. Banyak tokoh senior tidak jadi maju hanya karena yang maju adalah anak dari tokoh yang lebih ternama. Bahkan ada petahana yang gagal maju kembali karena partai atau mungkin perintah “atasan” yang memberikan rekomendasi anak muda dari tokoh ternama.
Namun, apakah hanya di dunia politik fenomena ini terjadi? Ternyata, dalam dunia akademik pun, kesempatan anak muda untuk memimpin tidak selalu berjalan mulus.
Bisakah Intelektual Muda Memimpin?
Dari politik daerah, mari berpindah ke politik kampus. Bukan dalam konteks mahasiswa, tapi dosen. Dosen yang dikenal sebagai sosok intelektual.
Di sebuah kota, ada seorang guru besar yang usianya belum mencapai 40 tahun. Guru besar yang memang mengenyam pendidikan dan merintis karir dari bawah. Bukan yang tiba-tiba dikarbit lalu dapat gelar doktor, apalagi doktor honoris causa. Beliau menjalani pendidikan S1 di dalam negeri, sedangkan S2 dan S3 di luar negeri. Menerbitkan banyak jurnal dan menjalani tri dharma perguruan tinggi dengan sebaik-baiknya. Atas pencapaiannya tersebut, beliau berkesempatan menjadi salah satu pimpinan di universitas karena telah memenuhi syarat secara administrasi. Kesempatan anak muda berhasil dimanfaatkan.
Singkat cerita, gelar guru besar pun diraihnya. Satu tingkat di atas lektor kepala yang merupakan syarat untuk menjadi rektor di Perguruan Tinggi Negeri. Berdasarkan yang saya baca dari Permenristekdikti Nomor 19 tahun 2017 seperti itu. Sedangkan syarat untuk menjadi rektor di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri adalah profesor. Itulah yang tertulis di Permenag Nomor 68 tahun 2015. Bagaimana dengan Perguruan Tinggi Swasta? Tentu saja punya kebijakan tersendiri. Ohya, tidak ada batas minimal usia. Yang ada hanyalah batas maksimal usia saat mengakhiri jabatan sebagai pimpinan kampus, yakni 60 tahun. Syarat lengkapnya silakan cek di peraturan tadi.
Pemilihan rektor pun dibuka. Menimbang syarat menjadi rektor terpenuhi, tidak ada salahnya beliau mencoba kesempatan tersebut. Inilah kesempatan anak muda untuk tampil. Apalagi di ranah intelektual. Namun ternyata pemilihan rektor penuh intrik juga. Dulu saya mengira rektor adalah posisi yang “murni” karena diisi oleh para akademisi dan kalangan intelektual. Ternyata, tidak semurni yang saya kira. Setidaknya ada dua hal yang patut dipertanyakan.
Pertama, untuk Perguruan Tinggi Negeri menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih yang hadir, sedangkan senat 65%. Sedangkan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri 100% keputusan dari Kementerian Agama. Panitia hanya mengusulkan 3 nama. Ternyata, ada campur tangan menteri juga untuk keputusannya. Bukan keputusan dari senat. Maka jangan heran jika lobi-lobi ke pusat menjadi faktor penting.
Kedua, petahana yang ingin maju kembali dalam pemilihan rektor diberikan peran sebagai penanggung jawab. Walaupun bukan sebagai tim teknis di panitia pelaksana. Namun kebijakan ini tentu saja tidak bijak. Sarat akan konflik kepentingan. Menjadi pemain, tapi sekaligus menjadi wasit. Alangkah lebih bijaknya apabila pertana cuti jika mendaftar kembali menjadi calon rektor.
Bagaimana langkah calon rektor muda yang berumur di bawah 45 tahun tersebut? Akan kesulitan karena harus mendapatkan izin atasan dari rektor yang sedang menjabat (petahana). Padahal secara syarat sudah memenuhi. Persaingan yang seharusnya intelektual ternyata jauh panggang dari api. Jika saja berhasil maju dan terpilih, beliau bisa menjadi salah rektor termuda untuk Perguruan Tinggi Negeri keagamaan di Indonesia. Sedangkan untuk saat ini, rektor termuda untuk Perguruan Tinggi Negeri adalah Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung yang berumur 39 tahun saat terpilih.
Fenomena ini seharusnya menjadi catatan tersendiri. Berikan kesempatan bagi siapa saja yang memenuhi syarat. Bukan hanya dari segi usia. Jika memang sudah terpenuhi, berikan kesempatan yang sama. Karena nyatanya, banyak anak muda yang pantas.Baik di dunia akademik atau pemerintahan Termasuk sebagai calon rektor. Sudah banyak anak muda yang meraih profesor sebelum berusia 40 tahun.
Bagaimana dengan Perguruan Tinggi Swasta? Setidaknya beberapa nama yang mencuat.
Anies Baswedan berumur 38 tahun saat menjadi Rektor Universitas Paramadina pada 15 Mei 2007. Pada masanya, beliau adalah rektor termuda se-Indonesia.
Riki Saputra berumur 36 tahun saat ditetapkan menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) pada 7 Febeuari 2019.
Risa Santoso berumur 27 tahun saat ditetapkan menjadi Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) di ASIA Malang pada 2 November 2019 dan kini menjadi rektor termuda se-Indonesia.
Belakangan, ada satu nama lagi yang mencuat. Karena selain rektor, beliau terpilih juga menjadi Wakil Wali Kota Solo. Beliau adalah Astrid Widayani yang berumur 36 tahun saat dilantik menjadi Rektor Universitas Surakarta pada 2 Februari 2023. Dan tentu saja, setelah terpilih sebagai wakil walikota, jabatan rektor dilepas.
Tentu saja hadirnya anak muda sebagai pemimpin intelektual di kampus layak diapresiasi. Karena memang anak muda pun layak memimpin jika punya kapasitas, bukan karena orang dalam. Walaupun punya orang dalam pun tidak bisa dipermasalahkan jika dia memang punya kapasitas. Yang diharapkan adalah meritokrasi, bukan hanya karena orang dalam. Nah, sekarang coba cek saja rekam jejak nama di atas. Apakah mereka punya orang dalam? Mungkin ayahnya pemilik kampus, ibunya dewan pembina yayasan, atau manusia biasa saja yang berjuang tanpa privilege orang tua.
Pemimpin intelektual tentu tidak sama dengan pemimpin politik. Jika kekuasaan bisa dengan mudah diturunkan, tapi pendidikan dan ilmu pengetahuan harus dituntut dengan tidak mudah. Namun sepertinya, lebih kurang sama yang terjadi di dunia akademik. Bukankah kini banyak pakar dan akademisi yang dipandang sebelah mata? Kenapa? Ya karena berbagai pelanggaran etik.
Kepada siapa saja, terkhususnya anak muda. Berjuanglah dengan sebaik-baiknya. Bahkan untuk meraih kekuasaan, apa pun motifnya, raihlah dengan cara yang adil. Karena jika memang berkualitas dan pantas, kenapa takut? Kenapa harus sikut sana sini? Kenapa harus mengandalkan pihak tertentu. Jika memang kekuasaan untuk pengabdian, harusnya begitu. Namun jika kekuasaan hanya untuk meraih kepentingan tertentu, tentu beda lagi.
Sekali lagi. Ini memang kesempatan anak muda. Namun jangan sampai hanya terbatas pada segelintir anak muda yang dekat dengan kekuasaan atau tahta. Berjuanglah, wahai anak muda. Tingkatkan kapasitas, jaga integritas dan pegang nilai-nilai. Karena kata Tan Malaka,
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.”
Baca juga
Ketika Akademisi Tidak Lagi Didengar: Matinya Kepakaran di Indonesia
Pelawak Jadi Politisi, Politisi Jadi Pelawak
Tokoh Publik Jangan Antikritik