Mari kita mulai tulisan ini dengan dua fakta yang menggeleng-gelengkan kepala.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, dilaporkan ke Polda Kepulauan Bangka Belitung atas penghitungan kerugian lingkungan dalam kasus tata niaga timah yang melibatkan Harvey Moeis. Bambang dinilai tidak kompeten dalam menetapkan kerugian senilai Rp 271 triliun yang kemudian meningkat menjadi Rp 300 triliun. (Kompas.com)
Lembaga swadaya masyarakat, Indonesia Corruption Watch (ICW), menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk influencer atau pemengaruh sebesar Rp90,45 miliar untuk sosialisasi kebijakan sepanjang tahun 2014 sampai 2019. Penggunaan para pemengaruh tersebut, lanjut ICW, mulai marak dilakukan pemerintah sejak 2017. (bbc.com)
Guru besar dipolisikan. Influencer diberdayakan. Inilah fenomena matinya kepakaran yang terjadi pada zaman sekarang. Hal tersebut bukan hanya fenomena, tapi memang ada bukunya. Judulnya The Death of Expertise (2017) yang ditulis oleh Tom Nichols yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Matinya Kepakaran. Apa inti dari buku tersebut?
Anti-intelektualisme yang meningkat. Banyak orang tidak hanya mengabaikan pendapat para ahli, tetapi juga merasa bahwa mereka bisa memahami topik yang kompleks dengan hanya membaca sedikit informasi. Media sosial menjadi faktor yang paling berpengaruh. Arus informasi yang semakin kuat malah kerapkali menghasilkan informasi yang menyesatkan. Akibatnya, orang lebih percaya terhadap influencer daripada pakar. Inilah era post-truth, era di mana matinya kepakaran.
Dosen Pakar Tidak Lagi Didengar?
Dosen adalah satu dari sekian banyak profesi yang membutuhkan kepakaran. Sebagaimana guru, profesinya tentu saja mulia. Bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi dilengkapi juga dengan pengabdian dan penelitian sebagaimana kewajiban dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sayangnya, dosen juga tidak lepas dari korban matinya kepakaran. Namun jika melihat dari perspektif lain, ini bukan hanya karena fenomena post-truth, media sosial dan faktor lain yang mendukungnya. Tidak jarang faktornya dari dosen dan kampus itu sendiri.
Ijazah palsu. Dosen cabul. Korupsi di lingkup kampus. Jual beli gelar. Pelanggaran etik.
Semua itu bisa kita temukan di dunia kampus. Karena fenomena itu pula banyak orang yang tidak lagi percaya sepenuhnya dengan dosen dan para pakar yang ada di kampus. Matinya kepakaran. Itulah yang dilihat oleh masyarakat.
Jujur saja, saya masih menghargai profesi dosen. Bahkan dulu, saya melihat posisi rektor jauh lebih mulia dibandingkan jabatan politis seperti kepala daerah. Namun semakin ke sini saya melihat rektor pun sepertinya jabatan politis juga. Tidak cukup hanya dengan modal kapasitas, tapi juga orang dalam.
Mari melihat Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017. Tertulis di pasal 9 nomor 3:
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
- Menteri memiliki 35% (tiga puluh lima persen) hak suara dari total pemilih yang hadir; dan
- Senat memiliki 65% (enam puluh lima persen) hak suara dan masing-masing anggota Senat memiliki hak suara yang sama
Kita lihat juga Permenag Nomor 68 tahun 2015. Tertulis di pasal 6 ayat 4:
Komisi Seleksi menyerahkan Calon Rektor/Ketua kepada Menteri paling banyak 3 (tiga) orang.
Khusus Perguruan Tinggi Negeri statusnya terbagi menjadi dua. Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum. Perbedaan status ini membuat kebijakannya berbeda pula, yang tentu diiringi dengan kelebihan serta kekurangan. Termasuk ada perbedaan dalam teknis pemilihan rektor. PTN-BH dipilih melalui Majelis Wali Amanat sedangkan PT-BLU sebagaimana peraturan di atas. Senat 65% suara sedangkan menteri 35% suara.
Sedangkan untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) sifatnya mutlak. Walaupun sudah diberi nama terbaik, menterilah yang punya keputusan akhir siapa yang berhak dipilih. Untuk Perguruan Tinggi Swasta tidak perlu dibahas ya. Karena pemilihan rektor biasanya ada “pertimbangan tertentu” dari yayasan.
Melihat fakta seperti ini, pandangan saya terhadap posisi rektor tidak lagi wow seperti dahulu. Biasa saja. Toh ini juga tentang strategi politik juga. Walaupun mungkin tidak sekotor dan selihai kepala daerah. Mungkin loh ya.
Dari rektor, mari berpindah ke dosen dan kampus secara umum. Tri Dharma Perguruan Tinggi pada dasarnya adalah panduan dasar bagi dosen bahwa mereka punya misi yang mulia: pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Hal tersebut pula yang menjadikan dosen bukan sebagai menara gading. Idealnya mereka adalah penyuluh bagi masyarakat dengan bahasa yang membumi. Jika perlu mengoptimalkan media sosial.
Banyak dosen yang layak menjadi contoh. Dari UGM ada @madeandi yang biasa berbagi tentang kehidupan dosen dan tentu keahliannya, geospasial. Dari UNPAD ada @ibuiramira, dosen ilmu komunikasi yang berbagi tentang tips komunikasi, dan biasanya pengalaman bimbingan mahasiswa. Dari ITB ada @santosoim yang sering berbagi pengalaman inspiratif mahasiswanya dalam meraih mimpi. Dan tentu masih banyak dosen inspiratif dari kampus lain.
Apakah dosen lain harus seperti mereka? Tidak juga. Intinya, dosen bukanlah menara gading. Dosen tidak seharusnya hanya terisolasi dalam dunia akademik, tetapi juga harus berkontribusi pada masyarakat secara nyata. Bahkan menjadi jembatan antara teori dan praktik.
Melawan Oknum dengan Menjaga Idealisme
Tidak bisa dimungkiri bahwa banyak oknum dosen yang mengecewakan. Sosok intelektual yang diharapkan bisa menjaga idealisme dan memberikan pencerahan malah berperilaku sebaliknya. Kongkalingkong untuk melancarkan proyek tertentu dengan timbal balik yang tentu saja memuaskan. Contoh sederhana, rektor yang merangkap jabatan sebagai komisaris. Baik di BUMN, BUMD, atau perusahaan publik.
Apakah melanggar aturan? Ah, kita sama-sama tahu bahwa aturan bisa diatur. Namun etikanya? Dari sini kita bisa menilai. Jika rektor saja seperti itu, maka bagaimana dengan dosen biasa? Bukankah rektor sudah memberikan contoh? Bukankah pemimpin adalah keteladanan?
Tentu, tidak semua dosen mengecewakan. Ada juga dosen yang berusaha menjaga idealisme dengan sebaik-baiknya. Bahkan saking kuatnya menjaga dan lantang bersuara, ada juga yang dibungkam. Dosen UNJ adalah salah satunya. Kerap bersuara mengkritik penguasa, akibatnya jabatan kaprodi pun dicopot pada Februari lalu.
Menjaga idealisme memang tidak bisa dengan berjalan seorang diri. Para akademisi yang ingin menjaga nilai-nilai tersebut harus bergandengan tangan dan memberikan pencerahan. Dirty Vote adalah contohnya. Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti adalah akademisi dengan latar belakang pendidikan hukum yang berada di garda terdepan dari film dokumenter tersebut. Film yang memaparkan betapa kotornya strategi pemilu untuk memenangkan paslon tertentu. Tentu didukung oleh tim lain yang perannya juga tidak kalah penting. Lantas, apa respon masyarakat? Mereka dituduh partisan. Bahkan ada politisi yang menuduh video tersebut fitnah. Padahal yang dilakukan “hanya” mengumpulkan kliping atas fakta yang terjadi.
Contoh lain dari tingkatan tertinggi di kampus, rektor. Pada saat viral artis yang mendapatkan gelar doktor honoris causa dari kampus yang tidak ada gedungnya, muncullah pernyataan menarik dari Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid. Di media sosialnya beliau menuliskan,
Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.”
Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun.
Para sahabat profesor yang setuju, ayo kita lantangkan tradisi yang lebih kolegial ini. Dengan desakralisasi ini, semoga jabatan profesor tidak lagi dikejar oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara.
Pernyataan tersebut bukan hanya di media sosial. Beliau juga menyampaikannya secara resmi melalui Surat Edaran 2748/Rek/10/SP/VII/2024. Tidak henti di situ. Beliau menuliskan pemikirannya di salah satu media dengan judul “Desakralisasi Profesor”. Tentu saja tidak semua akademisi dan guru besar akan setuju dengan pernyataan tersebut. Namun setidaknya kita bisa menilai bagaimana keberpihakan beliau terhadap isu jual beli gelar guru besar.
Masih banyak dosen dan kampus yang waras. Saat pemilu lalu misalkan. Ramai-ramai pihak kampus dan dosen yang menyuarakan keresahannya atas pelanggaran etika yang terjadi. Namun apa yang dilihat oleh masyarakat? Matinya kepakaran benar-benar terjadi. Para akademisi tersebut pun dituduh partisan dan dibayar. Padahal di sisi lain, ada pihak kampus yang dibayar oleh pemerintah untuk membuat video apresiasi kepada pemerintah sebagai bentuk narasi perlawanan.
Dari fenomena yang dijelaskan dalam tulisan ini, setidaknya kita bisa melihat ada tiga entitas yang berbeda.
Pertama, pakar akademisi yang memang bisa menjaga idealisme dengan sebaik-baiknya. Dia berbuat dan bersuara karena memang punya keahlian tanpa unsur politis.
Kedua, influencer‒atau yang kerap disebut buzzerp‒ yang bersuara sesuai kepentingan yang memesan jasa. Mereka memiliki basis massa, tapi digunakan untuk membodohi publik.
Ketiga, dosen/intelektual yang merangkap menjadi buzzerp. Kepakarannya digadaikan untuk kekuasaan dan uang. Mereka ada di kampus, ada juga di luar kampus. Setidaknya kita bisa melihat para pejabat dengan gelar mentereng di namanya. Namun keberpihakannya tidak selaras dengan keilmuannya.
Entitas pertama seharusnya bisa dengan mudah ditemukan di kampus. Karena kampus seharusnya adalah tempat lahirnya para intelektual, bukan malah tempat intelektual dilacurkan. Kampus juga seharusnya menjadi garda terdepan dalam tegaknya nilai-nilai kebenaran dan mengawas jalannya pemerintahan, bukan malah menjadi peliharaan. Karena jika kampus sudah berjalan tidak sesuai dengan yang seharusnya, jangan salahkan masyarakat awam tidak lagi percaya dengan pentingnya ilmu pengetahuan. Yang jauh lebih penting dan layak dipercaya adalah infuencer, bahkan buzzerp.
Namun, bukan berarti pendapat akademisi layak diterima dengan mentah-mentah juga. Bagaimanapun, skeptimisme yang sehat itu dibutuhkan, tapi bukan berarti menolak pengetahuan. Semoga para intelektual di kampus tetap bisa menjaga idealismenya dengan sebaik-baiknya. Dan termasuk kita rakyat biasa, semoga tidak bersikap anti-intelektualisme. Karena yang salah tetap salah, walaupun dikemas seolah-olah benar. Yang benar tetap benar, walaupun dikemas seolah-olah salah.
Baca juga:
Refleksi Keteladanan: Tokoh Publik Kencing Berdiri, Rakyat Kencing Berlari
Oknum Perusak Instansi atau Instansi yang Sengaja Merusak Diri