Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Kita pasti sudah hafal dan paham dengan peribahasa tersebut. Peribahasa yang bermakna bahwa seorang guru adalah teladan bagi muridnya. Jika guru melakukan kesalahan sedikit, maka murid akan meniru. Bukan hanya meniru sedikit, bahkan melakukan kesalahan dengan lebih banyak.
Peribahasa tentunya memiliki banyak tujuan. Salah satunya memberikan nasihat dengan ungkapan kata indah, tidak langsung ke tujuan. Namun bukan berarti peribahasa hanya berdasarkan imajinasi saja. Peribahasa hadir dari pengamatan di dunia nyata, lalu diimajinasikan dengan kata yang indah.
Keteladanan sejatinya bukan hanya dari seorang guru. Namun siapa saja yang dianggap “lebih”. Mulai dari yang lebih tua, lebih berpendidikan, bahkan yang lebih berkuasa.
Anak akan meneladani orang tua.
Mahasiswa akan meneladani dosen.
Bawahan akan meneladani atasan.
Rakyat akan meneladani pemimpin.
Keteladanan memang tidak ada tertulis di aturan. Namun menjadi nilai-nilai yang harusnya sudah menjadi pedoman dalam kehidupan. Apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, banyak yang menganggap keteladanan tidak lagi penting. Hal yang seringkali dipenting-pentingkan adalah yang penting bisa bekerja. Tentu saja “bisa bekerja” ini kesannya subjektif. Tergantung cara pandang dalam menilainya.
Teladan dari Tokoh
Dulu, negara ini punya banyak tokoh yang layak diteladani.
Bung Hatta, menunda untuk menikah sebelum Indonesia merdeka. Konsekuensi dari perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia adalah ditahan dan dipenjara berkali-kali. Karena itu pula muncul kutipan yang seringkali kita dengar saat ini. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Hoegeng adalah tokoh langka lainnya. Gus Dur bahkan pernah berkelakar. Hanya tiga polisi yang bisa dipercaya: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Tentu bukan tanpa sebab Gus Dur berkelakar seperti itu. Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap polisi, Hoegeng harusnya bisa menjadi contoh yang nyat, bukan dari tokoh fiksi. Apalagi posisinya yang pernah mencapai Kapolri pada tahun 1968-1971. Bahkan setelah pensiun, beliau menolak tawaran jabatan duta besar di Belgia, bergaji hanya Rp 10.000 per bulan, dan tidak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Bagaimana dengan kini? Adakah tokoh yang layak diteladani? Banyak sebenarnya. Bahkan sebagian besar di antara mereka bukanlah tokoh yang terkenal. Rudy Soik adalah salah satunya. Seorang anggota Polda NTT yang berhasil mengungkap kasus mafia BBM bersubsidi. Namun hasilnya? Jangankan mendapatkan penghargaan. Beliau malah dikriminalisasi bahkan dipecat. Jika integritas berakibat seperti ini, tentu mustahil rasanya akan lahir Hoegeng baru di tubuh Polri. Maka pantas saja jika muncul pertanyaan. Sebenarnya oknum perusak instansi atau instansi yang sengaja merusak diri? Karena faktanya banyak sekali oknum bukannya dibersihkan, tapi dirawat dan dipelihara secara sistematis. Sedangkan yang benar malah dikucilkan.
Tentu saja catatan kritis ini bukan hanya di kalangan Polri. Berlaku juga di sektor yang lain. Sektor akademis misalkan. Di saat banyak sekali gelar guru besar yang dibeli oleh para tokoh, termasuk politisi dan pejabat dengan segala kontroversinya, pernyataan dari Rektor UII, Fathul Wahid, seolah menjadi angin segar terhadap masa depan akademisi. Di media sosialnya beliau menuliskan,
Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.”
Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun.
Para sahabat profesor yang setuju, ayo kita lantangkan tradisi yang lebih kolegial ini. Dengan desakralisasi ini, semoga jabatan profesor tidak lagi dikejar oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara
Pernyataan tersebut bukan hanya di media sosial. Beliau juga menyampaikannya secara resmi melalui Surat Edaran 2748/Rek/10/SP/VII/2024. Tidak henti di situ. Beliau menuliskan pemikirannya di salah satu media dengan judul “Desakralisasi Profesor”. Tentu saja tidak semua akademisi dan guru besar akan setuju dengan pernyataan tersebut. Namun setidaknya kita bisa menilai bagaimana keberpihakan beliau terhadap isu jual beli gelar guru besar.
Kesalahan yang Dinormalisasi
“Harus menang ya. HIPMI bertarung tidak pernah kalah. Selalu menang. Kalau ada potensi kalah, buat caranya bagaimana menang. Rumus HIPMI nggak boleh kalah. Cara apa pun lakukan yang penting menang. Satu saja, jangan tabrak aturan. Kalau tabrak aturan, yang penting jangan ketahuan.”
Sebuah pidato dari mantan ketua HIPMI, seorang menteri, dan ketua umum partai beredar viral di media sosial. Video yang mendukung kader di salah satu daerah dalam menyambut pilkada. Jika kita berpikir jernih, seharusnya sudah bisa melihat apa yang salah dari pernyataan ini. Namun ternyata tidak semua dari kita sepakat. Banyak pembelaan yang terjadi.
“Itu kan forum internal untuk menyemangati salah satu paslon. Bukan untuk konsumsi publik.”
Eits, tunggu. Bukan hanya itu. Saat fotonya viral dengan minuman keras yang mahal, tidak sedikit kader muda partai yang melaporkan penyebar foto tersebut ke kepolisian. Kemudian saat terjadi Munaslub salah satu partai yang tiba-tiba beliau menjadi ketua umum, ada yang membela bahwa ini adalah cara paling bijak dari penguasa untuk mendamaikan konflik. Dan yang terbaru, saat beliau menjadi doktor dalam durasi kurang dari 2 tahun di kampus berjaket kuning, ternyata ada juga yang membela bahwa itu adalah hal yang sah. Padahal jika ditelusuri, ada upaya balas budi dalam proses tersebut. Sang promotor menjadi komisaris di salah satu BUMN, dan beliau pun menjadi doktor. Belum lagi kasus plagiasi.
Mari berpindah dari pejabat ke artis.
Salah seorang artis yang mendukung salah satu paslon presiden, baru-baru ini mendapatkan gelar doktor kehormatan dari salah satu kampus di Thailand. Setelah ditelusuri, ternyata bangunan fisiknya tidak ada. Baik di Indonesia ataupun Thailand. Tidak terhenti di situ. Beberapa waktu setelah itu, beliau diangkat sebagai utusan khusus presiden setara menteri. Coba lihat apa yang aneh? Bukan hanya pengangkatan beliau, tapi gelar Dr. (HC.) yang tertulis di namanya dalam dokumen pengangkatan. Padahal Kemendikbudristek sendiri menyatakan kampus yang memberi gelar tersebut tidak memiliki izin operasional. Lantas kenapa bisa divalidasi oleh istana dalam dokumen resmi negara?
Atas dua hal ini, ternyata ada juga yang membenarkan.
“Yang harusnya disalahkan adalah yang memberi, bukan yang menerima.”
Ayolah. Kok bisa senaif itu cara berpikirnya. Tidak mungkin penerima benar-benar menerima secara pasif. Pasti ada usaha untuk mendapatkannya. Bahkan jika integritas ada di sosok tersebut, mereka bisa saja menolak gelar yang diberikan. Tapi nyatanya, mereka tetap menerima, tanpa ada rasa malu.
“Tapi kan yang melakukan itu bukan hanya mereka. Banyak orang lain yang melakukan itu. Kok yang lain tidak diprotes?”
Iya betul, bukan hanya mereka. Namun saat tokoh publik, apalagi sekelas pejabat negara melakukan tersebut, ada tanggung jawab moral yang harus dijaga. Itulah beratnya keteladanan. Dalam sebuah kutipan, tokoh fiksi Superman pernah berkata,
“Dengan kekuatan besar datanglah tanggung jawab besar.”
Walaupun kutipan tersebut “hanya” dari tokoh fiksi, tapi pernyataannya benar. Ada tanggung jawab yang besar. Ada tanggung jawab moral yang harus dijaga oleh seseorang yang dianggap “lebih”.
Kenapa Mengkritik Politik Dinasti?
Mari berpindah ke politik dinasti.
Isu ini santer dihembuskan kepada mantan presiden dan keluarganya. Namun nyatanya, bukan hanya mereka yang melakukan hal tersebut. Partai penguasa pun melakukan hal serupa. Cucu presiden pertama yang harusnya tidak terpilih, bisa melangkahi dua orang yang suaranya lebih tinggi. Alasannya? Ada surat pengunduran diri dari dua orang tersebut. Kebijakan dari internal partai.
Di partai lain dan daerah lain pun melakukan hal yang sama. Adik dari artis yang baru mendapatkan gelar doktor kehormatan abal-abal yang harusnya tidak terpilih, tiba-tiba bisa terpilih menjadi anggota DPRD karena suara yang lebih tinggi daripadanya mengundurkan diri. Apakah benar mengundurkan diri atau ada transaksi?
Banyak. Masih banyak sebenarnya. Coba saja lihat di sekitar kita. Baik di tingkat legislatif atau kepala daerah. Pasti ada lingkar kekuasaan dan dinasti politik yang terjadi. Lantas, kenapa hanya mantan presiden yang dikritisi? Kenapa hanya mantan presiden yang didemo secara besar-besaran?
Baca juga:
Menjadi yang Termuda: Prestasi atau Haus Validasi
Usia Muda Belum Tentu Mewakili Generasi Muda
Jawaban sederhananya ada dua. Pertama, tanggung jawab moral seorang presiden yang harusnya menjadi teladan. Jika seorang presiden saja melakukan, maka bawahannya akan melakukan karena ada sosok yang normal untuk ditiru. Kedua, karena presiden mengubah banyak aturan untuk memuluskan rencananya. Cara yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Walaupun pasti saja, selalu ada pembenaran yang diberikan oleh pendukungnya.
Sungguh, keteladanan itu berat. Namun itulah yang membuatnya berharga. Jika seorang yang harusnya diteladani melakukan banyak pelanggaran, lalu dinormalisasi oleh banyak pihak, terutama pendukungnya, entahlah bagaimana cara kita mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan integritas pada generasi selanjutnya. Sungguh berbahaya efek domino yang terjadi. Apalagi beliau dahulunya yang mengedepankan revolusi mental. Lantas, bagaimana kabar revolusi mental saat ini?
Dan satu lagi. Salah tetap salah. Benar tetap benar. Membandingkan dua keburukan tidak membuat satu keburukan menjadi benar. Karena itu, mari berfokus pada nilai, bukan pada sosok.
“Jika kampus terbaik di negeri ini saja melakukan, maka jangan heran apabila kampus biasa melakukan hal serupa. Jika pemimpin tertinggi saja melakukan, maka jangan heran apabila pemimpin kecil di daerah melakukan hal serupa. Inilah efek domino dari normalisasi kesalahan oleh sosok yang harusnya memberikan keteladanan.”
Jika kita melihat apa yang terjadi di negeri ini dengan mata terbuka, sungguh berat untuk merealisasikan pesan “jangan pernah lelah mencintai Indonesia.” Namun sebenarnya itu mudah saja jika kita mengubah cara pandang. Karena mencintai Indonesia bukan tentang membela buta, apalagi membela pejabat negara. Mencintai Indonesia adalah tentang mengawal misi mulia hadirnya negara Indonesia.
Kepada para pemuda. Saya merasakan hal yang sama. Sulit rasanya untuk menjaga idealisme di “dunia nyata”. Kita dipaksa untuk menormalisasi hal yang mengganggu hati nurani. Namun bersyukurlah. Perasaan terganggu itu adalah tanda bahwa hati kita masih hidup. Maka jagalah dengan sebaik-baiknya. Selamat Hari Sumpah Pemuda. Semoga kita bisa mencintai Indonesia dengan sebijak-bijaknya.