6 Februari 2016, bertepatan dengan HUT Kampar ke 66. Kampung halaman yang selama 18 tahun tumbuh besar disana. Banyak kisah kenangan yang didapat disini. Prestasi, persahabatan, bahkan kegelisahan. Maafkan jika sampai saat ini belum bisa memberikan kontribusi besar. Tapi izinkan kali ini, saya berbagi pemikiran tentang refleksi dan harapan anak daerah Bangkinang dan Kampar di usianya ke 66.
Pertama. Keluarlah, Buat Pikiranmu Lebih Besar
Mengenai ini sempat saya tuliskan hal yang sama di 5 Pesan dan Renungan Anak Perantauan. Ini adalah masalah paling mendasar dari anak daerah. Menganggap bahwa yang dia miliki sekarang adalah hal yang nyaman dan aman. Tidak perlu kemana-mana lagi.
Terjebak dalam zona nyaman mungkin menyenangkan. Tapi hal ini seperti bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Dan hingga saat bom tersebut meledak maka semuanya mulai kewalahan. Sama halnya dengan anak daerah yang tetap diam di kampung halaman. Saya pribadi jika kembali ke Bangkinang saat libur semester pasti menyempatkan diri bertemu dengan teman-teman lama. Teman SD, SMP, ataupun di pergaulan pada umumnya. Sebagai catatan, saat SMA saya tidak di Bangkinang lagi walaupun masih tetap dalam kawasan Kampar.
Sedih terkadang melihat pembicaraan dan yang mereka lakukan. Membicarakan hanya soal itu-itu saja. Sibuk membanggakan pakaian bermerk yang digunakan. Hal ini pun pernah saya rasakan di SMP. Masa-masa dimana baju bermerk Planet Sur* digandrungi anak muda. Pun mungkin sampai sekarang masih banyak mungkin yang terjebak dalam hal “yang penting terlihat keren dari luar. Soal kualitas diri belakangan aja.”
Pergilah merantau dan rasakan perubahan. Saya pribadi tidak pesimis dengan perkembangan yang bisa dilakukan oleh Kampar ke depan jika memang dipimpin oleh pemimpin yang benar. Tentunya juga dengan masyarakat yang dipimpin juga benar. Misalkan saja yang dilakukan oleh Walikota Bandung dan Bupati Bantaeng. Dengan Kota Bandung yang sekarang, kamu pasti akan terkagum-kagum. Bagaimana dengan Bantaeng? Kabupaten prestatif yang tidak terblow up media ini juga tidak kalah. Memiliki pelayanan masyarakat terbaik, memiliki tim emergency servici dan brigade siaga bencana yang mirip dengan Shobocho di Jepang. Salah satu faktor keberhasilan dan persamaan diantara 2 daerah tersebut adalah pemimpin yang merantau. Ridwan Kamil ke Berkeley University dan Nurdin Abdullah ke Kyushu University.
Kedua, Jangan Diam dan Pasrah
Penyakit lain yang terjangkit karena tidak mau keluar dari kampung halaman adalah diam, pesimis, dan pasrah. Saya jadi teringat pembicaraan dengan seorang saudara dari satu sekolah yang sama.
“Kita gak bisa apa-apa. Kita gak punya kuasa. Gak punya uang.”
Sungguh sedih. Padahal dulunya dia sempat merantau dan mandiri. Entahlah. Apakah karena faktor benturan finansial atau karena mengecilnya pikiran karena lingkungan sekarang yang juga berpikir kecil.
Harapan dan impian, itulah yang kita butuhkan untuk tetap berpikir besar. Dan untuk mengatasi alasan yang menyedihkan ”kita gak bisa apa-apa”, butuh sinergi antara ide, kuasa, dan uang. Ide tanpa kuasa dan uang hanya akan menjadi angan-angan. Kuasa tanpa ide dan uang akan menjadi kebijakan yang tumpul. Uang tanpa kuasa dan ide akan menjadi hamburan kesia-siaan. Maka butuh sinergi antara ide, kuasa, dan uang.
Contoh nyatanya dapat kita aplikasikan di berbagai crowdfunding di Indonesia. Jika hanya memiliki ide tanpa kuasa dan uang, maka sampaikan idemu di kitabisa.com. Ide yang bisa memberikan solusi nyata. Maka crowdfunding tersebut akan membantu untuk mengumpulkan dana. Jika hanya memiliki kuasa tanpa ide dan uang, maka ajaklah orang lain untuk berkumpul dan bertukar pikiran. Pemerintah sangat butuh melakukan ini dengan mengumpulkan banyak anak muda yang memiliki banyak ide briliannya. Dan jika kamu hanya memiliki uang tanpa ide dan kuasa, maka kontribusikan uangmu ke lembaga, yayasan, atau instansi yang mampu memberikan dampak dan perubahan sosial. Tapi jika kamu tidak memiliki salah satunya, maka cobalah renungkan dalam diri. Begitu apatiskah kita untuk memperbaiki negeri ini?
Salah satu peluang yang bisa kita optimalkan adalah budaya nongkrong. Budaya ini hampir dilakukan oleh siapapun. Hanya saja seringkali dalam nongkrong tersebut malah sia-sia. Saya pribadi heran dengan mereka yang hampir tiap hari ke kedai kopi ataupun cafe bermodalkan gadget dan pasangan. Menghabiskan waktu untuk menghisap beberapa batang rokok, minuman serta makanan, dan tertawa bersama. Bukankahkah kita bisa lebih produktif? Diskusi produktif misalkan.
Ketiga. Lihat Jauh ke Depan, Mau Jadi Apa?
Seiring berjalannya waktu, hal ini mulai terlupakan oleh banyak orang. Sibuk dan terjebak dalam aktivitas rutin yang itu-itu saja sehingga impian dan tujuan besar mulai terabaikan. Padahal mengetahui hal mendasar ini seharusnya bisa menjadi kompas dari kehidupan. Misalkan di semester awal, jurusan FKIP mungkin ketika ditanya mau jadi apa akan menjawab ingin menjadi guru. Nah coba tanya di semester akhir. Pasti jawaban yang dikeluarkan akan mulai meragukan. Hal ini dikarenakan kita melupakan untuk membuat peta kehidupan. Mau jadi apa sih sebenarnya?
Pagi ini misalkan. Saya sengaja menelpon sang ibunda di rumah. Dengan alasan pencitraan Bupati Kampar 2036 bertanya apa kegiatan spesial hari ini di kampung. Tapi entah kenapa arah pembicaraan mulai melenceng. Setelah “memaksa” untuk kuliah S1, sang ibunda mulai “menggoda” untuk melanjutkan S2. Dan ini membuat saya untuk menyusun kembali peta kehidupan. Mungkin kamu ada saran sebaiknya saya S2 bidang apa?
Beberapa hari ke depan, saya akan mencoba dengan tangan sendiri untuk mengilustrasikan studi kritis setelah kuliah mau kemana dengan kretivitas di atas kertas. Ya mungkin hal ini bisa jadi inspirasi bagi kamu. Cek saja update-an di instagram @rezky_passionwriter.
Pastikan dan yakinkan kembali, sebenarnya kamu pengen jadi apa sih?
Keempat. Masalahnya apa, solusinya apa
Untuk poin ini saya tidak pernah bosan untuk membawakan kembali topik dari seminar David Wayna Ika, Founder Kurio di auditorium saat mata kuliah E-Business. Beliau mengatakan :
“Mengeluh di Indonesia seperti suatu ibadah baru. Bahkan bisa dikatakan melebihi ibadah 5 waktu. Tentu saja mengeluh saja tidaklah cukup. Karena kebiasaan mengeluh ini bisa menjadi sebuah peluang besar. Dengan mengeluh kita tergerak untuk mencari solusinya. From complain, create something.”
Cara berpikir seperti inilah yang seharusnya ditanamkan oleh setiap individu. Terutama di Kampar ini. Saya percaya dan melihat ada banyak keanehan yang terjadi di lingkungan Kampar. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah yang baru. Selain Bupati sekarang yang mulai “gelisah” dengan segala kekacauan dan penipuan yang dilakukan oleh “kerajaan”nya, kini dia mulai mengajukan anaknya untuk menjadi pelanjut estafet “kerajaan” di Kubang Raya. Karena jika anaknya terpilih menjadi bupati, kemungkinan penyidikan oleh pihak yang berwajib akan mengecil.
Tentu ini adalah sebuah masalah. Lalu solusinya apa? Menghubungi KPK? Nah caranya gimana? Dalam segi lingkaran kekuasaan dan pemahaman tentu saya belum mencapai hal tersebut. Tapi jika ada diantara pembaca yang mempunyai solusi, saya akan mendukung hal itu. Mungkin kekuasaan yang anak seumuran saya bisa lakukan adalah di poin selanjutnya.
Kelima. Mulai dari 3M
Pesan dari seorang guru ini pun tidak pernah terlupakan oleh saya pribadi.
“Ayoo bantu perbaiki negeri ini dengan 3 M. Mulai dari diri sendiri. Mulai dari hal yang kecil. Mulai saat ini. Lilaahi ta ‘alaa” (@aagym)
Sebagai seorang yang masih “hijau”, dan belum semapan orang pada kebanyakan, seringkali anak muda bingung mau berbuat apa. Bahkan seringkali mengatakan aku tidak bisa apa-apa. Perihal ini pun sudah saya tuangkan di tulisan yang berjudul 3 Alasan dan Solusi dari Aku Tidak Bisa Apa-Apa.
Saya melihat ada masalah yang muncul di beberapa tahun belakangan. Ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk “menggratiskan” biaya pendidikan. Dan hal ini berdampak dengan peningkatan kualitas dan pengembangan diri setiap siswa. Karena tidak boleh ada “pungutan” untuk hal tersebut.
Info ini saya dapatkan sekitar Juni 2013. Saat itu saya mengisi seminar motivasi di SMAN 1 Bangkinang. Pihak sekolah sempat mengeluhkan hal ini. Dan hal ini kembali terulang di akhir tahun lalu. Ketika saya bertemu dengan Pak Hatta, guru sekaligus wakasek SMPN 1 Bangkinang dan paman ipar. Sekolah yang sudah memberikan kenangan dan mantan. Saat menumpang kendaraan menuju Pekanbaru beliau sempat bercerita :
“Sekarang gak ada lagi yang bisa dibanggakan dari SMPN 1. Sama aja dengan sekolah lain. Ya karena peraturan tadi. Akibatnya gak ada kegiatan ekstrakulikuler, pengembangan diri. Prestasi oimpiade pun gak ada. Bahkan sepakbola yang biasanya memberikan prestasi gak ada. Ya ini tentu beda lagi jika ada alumni yang udah berhasil.”
Memang benar. Jika ada alumni yang sudah berhasil mereka tidak membawa nama sekolah. Walaupun dulunya pernah bersekolah di SMPN 1. Saya pun kembali teringat dengan ide mengoptimalkan alumni. Bagaimana caranya alumni setiap sekolah bisa memberikan sesuatu ke almamaternya. Hal ini sudah rutin dilakukan oleh Alumni SMAN Plus dalam mengadakan IKA Goes to School dan Plus Untuk Negeri. Setiap sekolah di Kampar bisa menduplikasi ide ini. Saya percaya pasti mereka mempunyai alumni yang unggul dalam bidang tertentu. Untuk lebih lengkapnya, kamu bisa baca di tulisan 8 Ide Alumni yang Layak Diduplikasi.
Selain itu saya juga teringat saat bersama beberapa alumni berkunjung dan “tebar pesona” ke SMPN 1. Hingga kami berhenti cukup lama di majelis guru. Saya pun sempat berhenti dan diskusi cukup lama dengan 3 guru. Bu Fauziyah, Pak Mas’ud, dan Bu Fatmawati. Saya mendengar ada tantangan baru bahwa sekarang guru wajib untuk menulis. Saya lupa program apa. Apakah penelitian atau sertifikasi. Intinya setiap guru wajib menulis. Dan kebetulan mereka tahu saya juga aktif menulis. Ide-ide segar pun bermunculan. Bagaimana caranya merealiasikan ide Teacherwriting yang saya kembangkan di Passion Writing Academy. Bayangkan saja, jika setiap guru bukan hanya mengajar di kelas. Tapi menjadi orang tua, menginspirasi, dan menulis. Impact yang mereka berikan akan jauh lebih besar dan luas. Bukankah itu cara kecil untuk membantu memperbaiki negeri ini?
***
Sebagai anak daerah yang merantau, banyak sekali kegelisahan yang dirasakan. Tapi itu merupakan sebuah stimulus untuk kembali lagi ke kampung halaman. Pun jika kita masih tetap bertahan di kampung halaman, tetaplah berkembang. Berpikir besar, jangan pasrah, lihat kembali ingin jadi apa, cari solusi, dan mari bersama memperbaiki negeri ini.
***Rezky Firmansyah. Anak perantauan yang menuangkan pemikiran dan harapan dengan tulisan di rezkyfirmansyah.com