“Ada yang ke @HijrahFest hari ini? Yuk bareng.”
Saya melempar ajakan kebaikan ke grup WA @SPI.Indonesia Tapi jawabannya malah,
“Ogah ah. Syubhat”
Marah? Nggak sih. Karena saya sadar, itu adalah jawaban sindiran yang bukan ditujukan untuk saya atau panitia. Lalu untuk siapa?
Sejujurnya, ketika mendengar ada yang nge-judge @HijrahFest sebagai Syubhat Fest, saya geram. Bagaimana tidak. Event besar penuh kebaikan ini digembosi dengan tuduhan-tuduhan yang melemahkan. Menuduh bisa, berbuat enggan. Lah, terus kamu bisa apa?
Maaf, saya marah. Tapi saya juga sadar bahwa fenomena ini bukanlah yang pertama kali. Ada banyak tuduhan serupa yang terjadi sebelum ini dan sesudah ini, Jadi, marah bukanlah solusi yang bijak untuk masalah yang akan selalu bermunculan ini. Sudah, maklumi saja.
Tapi bagaimana jika tuduhan ini terjadi berulang-ulang? Bukankah ini menjadi kegelisahan tersendiri? Iya. Tapi sebenarnya gerakan kebaikan itu bisa bermula dari kegelisahan.
13 September, saya singgah ke kajian di UNJ. Ada 2 pengisi saat itu. Satu seorang ustadz, satu lagi artis hijrah. Kamu pasti nggak asing dengan namanya. @ArieKUntung
Bagi saya, namanya bukanlah nama biasa. Bukan hanya sebatas artis yang baru hijrah. Tapi dialah salah satu tokoh dibalik masifnya gerakan @KajianMusawarah yang kemudian mengadakan @HijrahFest (2018). Tapi kontribusinya bukan dimulai 1-2 tahun ini. Film Alif Lam Mim (2015) dan gerakan #IndonesiaTanpaJIL (2012) cukup menjadi bukti.
Kamis sore kala itu, saya mendengar statement yang menarik darinya. Lebih kurang begini,
“Kita seringkali melihat dakwah hanya dengan kacamata wajib dan sunnah saja. Padahal ada makruh dan mubah yang bisa dimainkan. Toh yang dilarang hanya yang haram kan?”
Insightful. Benar-benar insightful! Sekarang bayangkan saja, jika dakwah hanya dilihat dari kacamata wajib dan sunnah, tentu dakwah ini tidak bisa menjangkau orang-orang yang enggan ke masjid. Bagaimana dengan anak muda yang rajin ke konser? Bagaimana dengan preman pasar? Emang bisa diselesaikan dengan gembosan “dasar gerakan syubhat.” Karena itulah, banyak dakwah-dakwah yang “sedikit” berbeda. Tapi sayang, hati kita masih terlalu sempit untuk menerima.
3 Maret 2018. Pertama kali saya hadir di event @KajianMusawarah di Bintaro Pengisinya @UstadzAdiHidayat Jujur saja, yang membuat saya tertarik hadir bukan hanya sosok UAH, tapi penggerak di balik layar. Lalu bagaimana respon jamaah? Bayangkan saja, bagaimana jika suatu event menghadirkan ustadz, artis, dan “idola”. Tentu kamu bisa menebaknya kan? Ohya, sebelumnya saya pernah menulis tentang Tidak Perlu Menjadi Artis, Kamu Juga Bisa Berdakwah dengan 3 Cara Ini
Tentang gelombang hijrah dan keberanian berpihak. Fenomena yang tidak asing lagi kita lihat. Dan cepat atau lambat, gelombang akan semakin membesar dan memberikan dampak yang tidak kecil.
Gelombang hijrah mudah kita lihat di berbagai kota. Di Bandung misalkan, ada @PemudaHijrah yang digerakkan oleh Ustadz @Hanan_Attaki Di Semarang ada @CahHijrah oleh Ustadz @YoppyAlghifari . Di Surabaya ada @BetterYouthProject oleh Ustadz @AdityaAbdurrahman . Di Jakarta? @KajianMusawarah adalah salah satunya. Penggeraknya, ya merekalah para artis dan public figure yang (berproses) hijrah. Mereka yang sudah mulai berpindah orientasi dari terkenal di dunia menjadi terkenal di akhirat. Merekalah para endorser dakwah.
Permainan dakwah mereka bukanlah pendekatan kajian biasa. Berbeda dan kekinian. Kreatif dan khas millennials. Dan mungkin karena itulah gerakan kebaikan mereka ini kerap dituduh yang tidak-tidak. Syubhat, satu dari sekian banyak tuduhan lain yang sejujurnya menyedihkan. Termasuk oleh saya yang “hanya” sebagai pengamat aktif gerakan semacam ini.
***
Menghadapi fenomena gelombang hijrah seperti ini seharusnya pandangan kita bukan hanya hitam dan putih. Melainkan melihat dari 5 kacamata yang disampaikan Arie K Untung tadi. Karena objek dakwah kita beragam, maka pendekatan kita bukan harus lebih beragam.
Memang, ada yang bisa dirangkul dengan kajian biasa. Tapi bagaimana dengan millennials? Bagaimana dengan mereka yang hobinya nonton konser berbayar? Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa bertahan untuk duduk, diam, dan mendengar. Celah inilah yang kemudian diisi oleh gelombang hijrah dari berbagai kota.
Hjrah Fest adalah salah satu jawaban.
“Memangnya seperti apa sih Hijrah Fest? Kamu kok excited banget?”
Ketik saja “Hijrah Fest” di Google dan baca testimoni panjang yang ditulis salah seorang pengunjung dan sudah dipublikasikan via Republika. Setidaknya itu bisa menjadi jawaban.
Jadi, pantaskah Hijrah Fest ini dituduh sebagai Syubhat Fest? Ah, sudahlah. Mungkin kamu kurang piknik.
Kebangkitan Islam itu pasti, ada atau tidak adanya kita. Pertanyaannya adalah, apakah ada peran kita dalam kebangkitan Islam itu? – Pesan Guru