Rabu, 20.21, handphone saya berbunyi :
“Ky nonton Mata Najwa sekarang”
Ternyata sang ibunda menelpon dari rumah. Saya sudah duduk manis di depan tivi malam itu. Sambil menunggu satu dari dua tayangan yang saya sukai di channel ini. Satu lagi, Kick Andy.
Memang, ibu saya sesekali mengingatkan untuk menonton Mata Najwa. Dan kali ini beliau mengingatkan lagi. Mungkin karena temanya yang menarik, “Darah Muda Daerah.” Mungkin ini karena ketika Idul Fitri lalu saya sempat melontarkan sebuah pernyataan dan foto seperti dibawah ini :
Entahlah. Awalnya itu hanya iseng saja. Apalagi Idul Fitri adalah momen bagi banyak orang untuk pencitraan. Menempel foto dimana-mana agar dikenal banyak orang. Bedanya, saya hanya mempublish di social media. Alhasil sampai sekarang menjadi foto dengan likes terbanyak di Facebook. Rencananya sih pengen dicetak dan ditempel di tempat umum. Tapi belum jadi. Mungkin idul fitri selanjutnya. Ya mungkin.
Semua kejadian selalu ada alasan. Dan saya pun sempat berpikir, kenapa pikiran tersebut muncul. Saya yakin ini bukan kebetulan. Apakah ini sebuah panggilan?
Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan untuk meyakinkan sebuah keputusan. Apalagi dengan tayangan “Darah Muda Daerah” kemarin. Saya masih terus berpikir untuk mengambil sebuah keputusan.
Saya teringat dengan pesan Pak Boediono kemarin :
“Memang politik itu abu-abu. Tapi memiliki potensi memberikan perubahan yang luar biasa.”
Banyak sekali orang yang anti dengan politik. Tentu dengan berbagai alasannya. Saya pribadi bukanlah orang yang anti dengan politik. Hanya saja ketertarikannya tidak terlalu tinggi dibandingkan passion saya di menulis untuk perubahan. Tapi bagaimana mungkin menjadi bupati jika tidak masuk politik?
Masih melanjutkan pesan Pak Boediono :
“Jika tidak mau masuk partai politik, silahkan masuk di lembaga swadaya masyarakat yang ada kaitannya dengan hal tersebut”
Saya menangkap pesan dari beliau lebih kompleks. Bukan hanya partai politik ataupun lembaga. Melainkan bergabung dengan orang-orang yang memiliki tujuan sama. Apakah itu organisasi, komunitas, yayasan atau apapun namanya. Nah kenapa?
Zumi Zola, gubernur terpilih provinsi Jambi di umur 35 tahun -yang sebelumnya menjabat menjadi Bupati Tanjung Jabung Timur di umur 31 tahun- pernah menjadi artis di sinetron dan layar lebar Indonesia. Sebuah pesan yang saya tangkap ketika ditanya oleh Najwa adalah, jika kita sudah terkenal, maka semuanya akan lebih mudah. Lantas apa kaitannya dengan bergabung dengan orang-orang yang memiliki tujuan sama? Apakah numpang terkenal dengan mereka?
Tentu bukan jawaban yang bijak jika itu jawaban yang kita miliki. Karena ada jawaban yang lebih bijak, ideal, dan powerful. Together Everyone Achieve More. Ketika kita bersama, pencapaian yang didapatkan akan lebih besar. Dan juga pastinya PENGARUH yang ditularkan juga lebih besar. Dan seharusnya itulah yang bisa dilakukan anak muda sekarang.
Social media, membuat siapapun terkenal tanpa memandang lokasi. Seperti halnya 7 anak muda yang terkenal dari social media ini. Dengan dikenal, mereka mampu memberikan pengaruh. Nah pertanyaan selanjutnya, pengaruh seperti apa yang diberikan? Positif atau negatif? Optimis atau pesimis? Membangun atau mengeluh?
“Ada 3 golongan manusia. Mereka yang optimis memiliki nilai satu. Kehadiran mereka memberikan pengaruh positif terhadap orang lain. Mereka yang apatis bernilai nol. Ada atau tidak adanya mereka tidak memberikan pengaruh apa-apa. Dan mereka yang pesimis bernilai minus satu. Kehadiran mereka hanya memberikan pengaruh negatif terhadap orang lain.”
Merenungkan pesan diatas, tak masalah sebenarnya menjadi manusia yang apatis. Toh minimal tidak memberikan pengaruh negatif sama orang lain. Tapi apakah sehina itu diri kita? Kita memiliki pilihan untuk peduli. Peduli membangun dari hal kecil. Apakah itu sulit? Paling tidak jika kamu pesimis jangan hanya mengeluh. Complain, but create something. Itu lebih memberdayakan. Misalkan kamu tidak suka dengan sistem pendidikan, maka buatlah sistem pendidikan yang menurutmu layak untuk diduplikasi. Pendidikan berdasarkan kecerdasan bisa menjadi solusi. Atau juga bisa dengan home schooling lalu dikejar dengan ujian paket. Ya tentu semua ada konsekuensi. Hidup adalah pilihan bukan?
Kemarin, Pak Rhenald Kasali juga sempat hadir dan memberikan pesan yang bermakna :
“Anak muda itu memiliki gagasan, tapi tidak mendapatkan kesempatan.”
Benarkah? Saya pribadi juga merasakan hal ini. Dan saya percaya, kamu pun juga merasakan. Mungkin selama ini jika kita memiliki idealisme yang tinggi tetapi ketika dihadapi dengan realita maka terpaksa berhenti. Pesimis dan menebarkan rasa pesimis ke orang lain.
“Sudahlah jangan sok idealis. Aku dulu udah merasakan kok. Ketika ide dan inovasi yang kita berikan ke perusahaan kita yang masih muda tidak dianggap. Kamu bisa apa? Kami lebih dahulu merasakan. Ya seperti itulah jawaban para senior”
Masuk akal. Sangat masuk akal. Tapi ada sebuah pertanyaan. Sudah sejauh apa kita memperjuangkan sebuah ide dan gagasan? Apakah hanya sekali menawarkan lalu menyerah dan berhenti?
Yang kita butuhkan adalah sinergi antara ide, kuasa, dan uang. Jika hanya memiliki ide tanpa kuasa dan uang, maka sampaikan idemu di crowdfunding seperti kitabisa.co.id. Ide yang bisa memberikan solusi nyata. Maka crowdfunding tersebut akan membantu untuk mengumpulkan dana tersebut. Jika hanya memiliki kuasa tanpa ide dan uang, maka ajaklah orang lain untuk berkumpul dan bertukar pikiran. Pemerintah sangat butuh melakukan ini dengan mengumpulkan banyak anak muda yang memiliki banyak ide briliannya. Dan jika kamu hanya memiliki uang tanpa ide dan kuasa, maka kontribusikan uangmu ke lembaga, yayasan, atau instansi yang mampu memberikan dampak dan perubahan sosial. Tapi jika kamu tidak memiliki salah satunya, maka cobalah renungkan dalam diri. Begitu apatiskah kita dengan kejayaan bangsa ini?
(Dikutip dari 5 Pesan dan Renungan, dari dan untuk Anak Perantauan)
Disini saya tidak akan membicarakan tentang memperjuangkan idealisme mati-matian. Kamu bisa bertanya hal tersebut dengan para aktivis yang sudah merasakan. Hanya saja kali ini izinkan saya untuk mengubah pemikiran tentang arti sebuah kontribusi. Apa yang akan kita berikan untuk negeri ini?
Jujur, saya adalah anak daerah yang merantau di Kota Pahlawan. Jika kamu pernah mendengar kota Serambi Mekah, itulah asal saya. Ya Bangkinang, Kabupaten Kampar. Sebuah kegelisahan yang sangat saya rasakan kali ini. Sosok berjubah mencerminkan pemimpin yang adil dan merakyat. Tapi lihat saja apa yang dilakukan terhadap masyarakat. Posisi strategis mengharuskan setoran ke kantong pribadi. Proyek pemerintah diharuskan dikerjakan di perusahan keluarga dan kolega. Dan terbaru, mengusung sosok muda untuk Kampar lebih baik. Dan itu adalah anaknya.
Melihat kasus yang terjadi, tentu saja saya yang bukan apa-apa tidak bisa melakukan perubahan yang besar. Tapi bukan berarti saya tidak bisa apa-apa. Bukankah kita masih punya tangan untuk berdoa dan hati dan pikiran untuk berpikir jernih? Janganlah berputus asa, dan teruslah berbuat yang terbaik.
Melihat ini, saya jadi teringat penuturan dari Sutan Riska Tuanku Kerajaan. Bupati Dharmasraya yang menjadi bupati termuda di umur 25 tahun. Beliau mengatakan ada rasa ketakutan untuk maju ke depan. Tapi panggilan yang membuat dirinya maju ke depan.
Begitu pulalah seharusnya yang kita lakukan. Kita seringkali takut terhadap hal yang seharusnya belum terjadi. Sebuah kehancuran negeri, korupsi yang menggerogoti, dan Tuhan yang dianggap tidak ada kuasa lagi. Kita menakutkan hal tersebut. Lantas apa yang kita lakukan sekarang? Diam di tempat tidak memberikan perubahan. Lantas lakukan perubahan sekecil apapun yang kita bisa.
“Daripada mengutuk kegelapan dan saling menyalahkan, lebih baik menyalakan cahaya”
Kita punya pilihan, apa yang harus kita lakukan. Dan kita bukanlah sehina babi dan kera yang hanya bisa hidup dan bekerja di hutan. Kita adalah manusia, ciptaan Tuhan yang sempurna. Seharusnya pun kita bisa menjadi lebah, yang hanya memberikan kebaikan bagi banyak orang. Tidakkah kita pernah berpikir?
Kontribusi bukan soal status. Tapi panggilan hati. Jikalau panggilan untuk berkontribusi itu murni dari hati, kita tidak akan terlalu memusingkan status dan jabatan. Seperti halnya Mochamad Nur Arifin yang menjadi wakil bupati termuda (Trenggalek, 25 tahun). Rencana awalnya, dialah yang maju menjadi bupati. Akan tetapi Emil Dardak (31 tahun) hadir dan menyempurnakan pasangan tersebut. Finding right partner. Itulah yang kita butuhkan sekarang untuk menguatkan pengaruh dan kontribusi.
Lantas, setelah membaca tulisan ini mungkin kamu akan bertanya
“Rez, jadi kamu beneran akan jadi bupati 2036?”
“Bukan tentang menjadi siapa. Tapi membawa nilai apa. Bukan bupati yang dikejar. Tapi sebuah pengaruh yang besar. Aku butuh kamu untuk menjadi kita. Kita yang peduli terhadap kemajuan bangsa dan kejayaan umat ini”
Saya tutup dengan epilog dari Mata Najwa edisi “Darah Muda Daerah” kemarin :
Politik adalah lautan pragmatisme
Kompromi demi kompromi bisa melelehkan idealisme
Mencari jalan tengah sering tak terhindarkan
Konsep yang serba ideal sering ditepikan
Di hadapan kekuasaan semua bisa serupa
Tak pandang usia maupun muda
Banyak anak muda yang tumbang karena korupsi
Mereka lupakan visi dan hanyut pada nikmat duniawi
Kita mungkin bosan dengan muka yang itu-itu saja
Tapi yang muda juga harus kasih bukti yang jelas dan nyata
Usia muda adalah modal agar tangan terus terkepal
Untuk arungi medan politik yang terjal
Boleh boleh saja berkompromi dengan situasi
Pancangkan saja garis batas yang tak boleh dilewati
Agar kekuasaan tak meninabobokan
Agar cita cita tak kandas sejak semula
Sebab umur bisa tak berarti di medan kekuasaan
Jika sejak muda sudah lancung dari tujuan
– – – – – – – – – – – – –
Bupati 2036? Akankah?
Keep writing, always inspiring!
Rezky Firmansyah
Penulis Buku Tersebar di 5 Benua
Founder Passion Writing Academy
One thought on “Darah Muda Daerah, Bupati 2036 (?)”