“Semakin kita menunjukkan hasrat ingin menikah di dunia maya, semakin menunjukkan kita tidak siap untuk benar-benar menikah di dunia nyata”
Pesan menarik saya baca di timeline Facebook. Kebetulan yang nulis adalah salah satu teman saya. Tapi untung saja dia sudah nikah. Nikah muda lagi. Jadi cukup bisa membuktikan apa yang dia tuliskan.
Jika dikatakan setuju atau tidak dengan pesan tadi, saya mah fine-fine aja. Karena memang seharusnya mereka yang siap untuk menikah bisa lebih dewasa dalam bertindak. Ya coba saja kamu perhatikan. Biasanya mereka yang diam-diam akan tiba-tiba saja menyebarkan undangan. Nah bandingkan saja bagi mereka lain yang sibuk mengumbar kemesaraan di dunia maya, nikah menjadi ketakukan bagi mereka. Entahlah apa alasannya.
Dan pertanyaannya sekarang, berada di posisi mana kita sekarang? Ah pertanyaan yang cukup rumit.
Mentor saya pernah memberikan nasehat yang menarik :
“Saya bukan tipe yang dikomporin segera nikah, lalu nikah. Bukan. Dan bukan karena ingin menunda. Tapi bagi saya, menikah pada waktunya”
Saya setuju dengan nasehat ini. Menikah karena pada waktunya. Walaupun jujur saja, api motivasi nikah muda akhir-akhir ini ditiupkan kepada saya. Entah apa maksudnya. Emang darimana kamu nilai saya sudah siap?
Memang frekuensi pertanyaan kapan nikah tidak terlalu tinggi. Mungkin frekuensi pertanyaan lebih tinggi ke kamu, kamu yang sedang membaca tulisan ini. Atau dia, dia yang sedang berdoa. Ataupun mereka, mereka yang usianya sudah dikatakan “cukup”.
Frekuensi tidaklah tinggi. Tapi ada saja cara yang menarik bagaimana api motivasi ini ditiupkan. Misalkan saja akhir pekan lalu. Selesai acara aqiqah, saya bersama 2 abang lain pun pulang bersama. Di perjalanan awal diskusi kami hanyalah soal nama anak dalam agama. Tapi entah kenapa bisa sampai ke pernikahan. Dan korbannya siapa lagi selain saya.
2 abang ini sengaja memutar arah perjalanan dari Kumantan – Kuok – Bangkinang Seberang – Islamic Centre. Jika dihitung waktu sekitar 1 jam. Sebagai penumpang saya hanya bisa menjadi penyimak yang baik.
Salah satu kisah yang menarik adalah keajaiban ketika 2 abang ini berniat serius dalam menikah. Abang yang satunya diterima jadi PNS dan dosen. Sedangkan abang yang satu lagi diterima di Universitas Islam Madinah. Memang 2 abang ini menikah di usia yang berbeda. Yang satu beumur 32 tahun menikah di umur 26 tahun. Yang satu lagi berumur 26 tahun, menikah di umur 22 tahun. Dan saya, umur 22 tahun menikah di umur?
Tanyakan saja pertanyaan itu kepada saya. Karena saya sudah punya 33 jawaban alternatif ketika pertanyaan itu dilemparkan. Kamu juga bisa gunakan salah satu jawaban ini. Tapi belakangan saya punya jawaban yang cukup menjanjikan. Doakan saja sebelum wisuda di bulan May. Bulan May? Yah, maybe yes, maybe no. Udah ah, serius amat nanya yang begituan.
Bagi kamu yang merasakan kegalauan dan kebimbangan karena tiupan api nikah muda, kamu harus percaya bahwa saya pun pernah berada di posisi yang sama. Tapi mungkin saja cara mengatasinya yang berbeda.
Jujur saja saya pernah galau. Karena memang di usia 20an sudah alamiah pertanyaan kapan nikah diterima. Apalagi di grup social media. Jadi tak usahlah risih kalau tema chat grup isinya seringkali soal nikah. Memang udah waktunya. Ya kalau merasa risih, di-off aja dong notificationnya. Gak usah sampai leave grup. Itu aja repot. Baper banget sih. Duh pedas banget ya kritikannya.
Baca juga : Maaf Saya Baper
Kembali lagi. Kita pernah berada di posisi yang sama. Dan saya mengatasinya dengan banyak cara. Berdoa pastinya dan ditambah dengan menulis di blog dan dunia maya yang tetap bermakna. Dan pernah tingkat kegalauan saya dirasa sampai dipuncaknya. Seolah-olah memang sudah terbakar api motivasi nikah muda. Lalu saya diingatkan oleh guru ngaji saya. Panjang banget deh pesannya. Salah satunya ini :
Antum bersihkan hati dulu. Setiap rasa yang muncul belum tentu itu cinta, bisa jadi emosi sesaat. Meski demikian untuk menikah tidak selalu butuh kehadiran cinta. Walau diakui, perasaan cinta berpeluang meningkatkan keawetan pernikahan.
Kalau jodoh, menghindar sekuat apapun akan tetap bertemu. Kalau tidak jodoh, mengejar sekuat apapun akan tetap tidak bertemu. Menyibukkan dengan aktivitas memantaskan diri itu lebih baik. Daripada kuatir melepas dan takut kehilangan.
Ah sejuklah hati ini. Melalui perantara guru ngaji, Allah berikan berbagai solusi. Kita sih sibuk aja dengan kegalauan sendiri. Jangan dipendam sendiri, cobalah diskusi. Terutama kepada Sang Pemilik Hati. Karena mana mungkin bisa menjaga hati jika Sang Pemilik Hati tidak didekati.
Baca Juga : Ketika Rindu Haruskah Kita Bertemu
Saya ditampar oleh pengalaman. Bagaimana mungkin penulis yang seringkali menuliskan tentang kegalauan dan memaknai cinta tak bisa mengatasi hal ini. Memang manusia pasti punya kelemahan. Tapi jalan yang diambil sebagai penulis ini telah menjadi kekuatan. Mohon doanya semoga bisa selalu istiqomah berbagi, menginspirasi, dan juga ehm, menjaga hati.
Baca Juga : 7+1 Cara Menjaga Hati
Wahai anak muda, cobalah sadari kembali. Kenapa kamu masih terjebak dalam galau asmara. Bukankah ada banyak hal besar yang bisa kamu lakukan untuk dunia dan kebaikan agama. Ingat, Soekarno dan bapak bangsa lain tidak memerdekakan Indonesia untuk membuatmu punya pacar dan sibuk dalam hal asmara. Mereka menginginkan anak muda tumbuh sehat tanpa terserang penyakit galau. Gitu.
Renungkan kembali, pacaran bertahun-tahun belum tentu sah menjadi pasangan. Diajak menjadi pasangan wisuda, belum tentu diajak ke KUA. Catat itu. Daripada menyibukkan diri dalam asmara, lebih baik sibukkan diri dalam berbagi kebermanfaatan untuk sesama.
Sekarang mulailah untuk serius. Serius untuk putus. Kalau udah putus ya tak usah minta balikan lagi. Kecuali balikan di pelaminan. Ini kasusnya beda. Jadi udahlah, istiqomah aja. Ya memang tidak mudah. Karena kalau mudah namanya bukan istiqomah, tapi istirahat.
Selamat memantaskan diri. Semangat untuk menjadi bukan hanya mencari. Dan pastinya selamat membaca tulisan lainnya di rezkyfirmansyah.com 😀
Keep writing, always inspiring!
Rezky Firmansyah
Passion Writer
Founder Passion Writing Academy