Awal tahun ini ada resolusi yang saya yakini. Menikah. Kini sudah bulan ketiga. Lalu bagaimana kabar hati? Sudahkah menemukan dia yang klik di hati.
Jujur saja. Sejak pertengahan Februari, resolusi tadi tidak lagi menjadi motivasi. Hanya resolusi yang tertulis di atas kertas tanpa perjuangan keras. Bahkan tak sepenuhnya ikhlas. Biarkan saja itu hanya kumpulan kata. Seolah seperti itulah hati berkata.
Ada apa dengan hati?
Menikah adalah menyempurnakan separuh agama tidak diragukan lagi. Tapi pertanyaannya adalah, apakah benar kita sudah memahami pesan ini? Atau hanya sekadar teori?
Bulan Maret ini misalkan. Saya sudah mendapatkan kabar gembira dari 2 orang teman dekat. Bulan Mei mereka akan menyempurnakan separuh agama. Syukur tiada henti pun terucapkan. Alhamdulillah, akhirnya mereka menikah.
“Lalu kamu kapan nikah?”
Saya sudah bisa menebak pertanyaan ini akan dilontarkan. Belakangan, jawaban saya tak lepas dari,
“Coming soon”
“Doakan ya”
“Entahlah”
Tak lagi sama dengan jawaban sebelumnya yang dengan yakin menjawab,
“Insya Allah sebelum wisuda”
Ada apa dengan hati?
Beberapa Minggu sebelum buku Jomblo Mantan dan Masa Depan launching bersama Kongkow Nulis di Gramedia Pekanbaru, saya mengakhiri suatu proses yang cukup serius. Proses yang saya anggap taaruf berhenti. Kami, saya dan dia menyetujui agar proses ini tidak dilanjutkan lagi. Lah kenapa?
Mari flashback sejenak. Motivasi nikah muda ataupun menikah secara umum seperti menyempurnakan agama terkadang berhasil pada sebagian orang di kondisi tertentu. Itu pun sempat saya alami. Di lebaran tahun lalu misalkan, saya sempat dibakar dengan motivasi nikah muda oleh dua orang yang saya anggap seperti abang sendiri. Tapi saya tak bergeming sama sekali. Motivasi itu tak masuk ke hati.
Hingga suatu titik, ketika bertemu dengan seorang perempuan, hati ini berkata “mungkin sudah saatnya dan dialah orangnya”. Butuh sekian bulan untuk meyakinkan niat ini. Hingga akhirnya, awal Januari saya pun serius dengan niat ini. Menyampaikan maksud dengan Sang Bunda dan juga dengan dia. Tentu tak lupa doa yang lebih kepada Dia.
Kami saling berkenalan kembali melalui chatting. Berkenalan kembali? Ya, memang. Karena kebetulan kami sudah saling kenal dulunya.
Jujur saja, mungkin ini DP dari janji Allah. Ketika sudah ada niat, jalan dan semangat itu akan terbuka. Benar adanya. Semangat saya menjemput rezeki dan berkarya semakin menjadi-jadi. Semesta seolah-olah mendukung seluruh tubuh ini untuk tidak diam. Bergerak secara aktif. Saya benar-benar bisa merasakannya.
Tapi momen kegagalan proses ini berhasil merubah itu semua. Yang awalnya semangat begitu menjadi-jadi, kini tak terasa lagi. Yang awalnya motivasi begitu membara, kita tak lagi ada. Yang awalnya diri ini begitu bergerak aktif, kini perlahan mulai pasif. Kenapa?
Saya pun bertanya, apakah niat menikahinya adalah karena Dia?
Pertanyaan dan perenungan ini benar-benar menampar secara halus. Menyindir diri ini yang seolah-olah siap, tapi ketika dihadapi kegagalan malah menjadi gagap. Gagal move on?
Kegagalan dengan nama ini memang membuka pintu lain. Seorang teman menawarkan nama perempuan yang dianggap sudah siap. Sejenak merenung dan berpikir, tapi apakah benar saya sudah siap? Hingga akhirnya nama itu tak disambut. Sejenak masih terdiam pada titik sebelumnya. Menyiapkan langkah baru yang diawali dengan meluruskan niat.
Baca Juga :
Untukmu yang Ada di Masa Depanku, Apa yang Membuat Kita Bersatu?
Kenapa Harus Menikah dan Memilihmu?
Kini, resolusi itu tidak terlalu diperjuangkan lagi. Ada prioritas lain yang layak untuk diperjuangkan.
Untukmu yang sama-sama meyetujui ketidaklanjutan ini, terima kasih. Karena denganmu saya belajar apa itu niat yang lurus. Apakah niat menikahimu karena Allah atau hanya karena dirimu. Bukankah jika benar niat menikahi karena Allah, siapapun yang hadir akan diterima? Tapi mengapa setelah kegagalan denganmu, niat itu tidak lagi ada?
Sekali lagi, terima kasih. Karena denganmu, saya mendapatkan banyak hikmah. Semoga segala kebaikan Allah berikan padamu dan juga kepada diri ini yang menuliskan hikmah pertemuan denganmu.