“Status sebagai mahasiswa adalah amanah bagi rakyat Indonesia.”
Ungkapan semacam ini bagi para aktivis pasti tak terdengar asing. Disampaikan baik ketika diskusi ataupun ketika aksi. Ucapan keseharian ataupun di lapangan. Hampir selalu diingatkan. Dan saya pun setuju, mahasiswa adalah amanah bagi rakyat Indonesia. Tapi, amanah yang seperti apa?
Perguruan tinggi umumnya terbagi menjadi 2, Perguruan Tinggi Negeri atau Perguruan Tinggi Swasta. Perbedaannya apa, kamu pasti bisa mengira-ngira. Tapi yang paling kelihatan perbedaannya adalah biaya. Coba tebak, kenapa PTN biayanya lebih murah dibandingkan PTS? Karena ada subsidi dari pemerintah. Lalu darimana subsidi itu berasal? Dari pajak. Pajak dari siapa? Dari rakyat Indonesia. See? Itu alur gampangnya aja.
Perguruan Tinggi Negeri mendapatkan bantuan operasional yang biasa disebut Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Biaya tersebut diambil dari Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN). Dan nyatanya pada RAPBN 2016, Kemenristek Dikti mengajukan usulan BOPTN sebesar Rp3,763 triliun. Mengalami penurunan dari tahun 2015 yang mencapai Rp4,5 triliun.
Dalam pelaksanaannya digunakan untuk apa saja? Dalam Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Negeri 2014, ada 14 sasaran penggunaan :
- Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
- Biaya Pemeliharaan
- Tambahan Bahan Praktikum/Kuliah
- Bahan Pustaka
- Pengadaan Buku Teks, Jurnal Nasional dan Internasional
- Penjaminan Mutu
- Kegiatan Kemahasiswaan
- Langganan Daya dan Jasa
- Kegiatan Penunjang
- Pengembangan ICT dalam Pembelajaran
- Honor Dosen dan Tenaga Kependidikan Non PNS
- Dosen Tamu
- Pengadaan Sarana Prasarana sSederhana
- Kegiatan Prioritas Lain dalam Rencana Strategi Perguruan Tinggi Masing-Masing.
Lalu ada berapa mahasiswa yang merasakan “kemudahan” tersebut? Data SNMPTN 2016 menunjukkan ada 645.208 calon mahasiswa yang mendaftar. Sementara kuota kursi yang tersedia sebanyak 123.000. Itu berarti hanya 19% mahasiswa yang akan mendapatkan kesempatan berupa kemudahan. Memasuki fase dari pelajar menjadi “Mahasiswa Bersubsidi”.
Well, mari kita bercerita.
Saya bukanlah mahasiswa perguruan tinggi negeri. Bukan karena saya ingin menolak mendapatkan kemudahan itu. Bukan pula karena saya terlalu bodoh untuk mengikuti tes yang hanya menerima 19% dari calon pendaftar. Ada banyak kisah unik yang mengawali itu semua. Tapi setidaknya, saya pernah merasakan hutang dan subsidi itu ketika SMA.
Selama 3 tahun saya ditempa di SMAN Plus Propinsi Riau. Salah satu sekolah terbaik untuk putera daerah di negeri ini. Setiap tahunnya ada 1000 pendaftar dan hanya diterima 100 siswa. Dan itu berarti hanya 10% yang “beruntung” mendapatkan kursi sekolah gratis selama 3 tahun. 100 orang terpilih itu diambil dari berbagai daerah di propinsi Riau. Bolehlah dikatakan sekolah ini miniatur Propinsi Riau. 1 orang menyingkirkan 10 orang lainnya. Kejam? Ah tidak juga. Ini amanah.
Sebenarnya bersekolah di SMAN Plus Propinsi Riau atau sekolah sejenis tidak serta merta gratis 100%. Saat saya sekolah dulu, tepatnya 2009-2012, yang digratiskan adalah SPP, asrama, dan biaya makan sehari-hari. Setiap bulannya tetap membayar sekitar Rp 81.000 untuk alokasi dana uang komite dan iuran OSIS.
Kalau dihitung-hitung nih, 3 tahun tinggal di asrama gratis plus makan 3 kali sehari, ya lumayan lah ya. Jika analoginya tinggal di wisma dengan biaya Rp 100.000 per hari, maka selama 3 tahun berarti :
Rp 100.000 x 330 hari x 3 tahun = Rp 99.000.000
Angka 330 diambil dari potongan hari libur dan tidak tinggal di asrama. Mendekati 100 juta bung. Jika diputar untuk modal usaha ataupun mahar nikah, ya bisalah ya.
Biaya segitu lebih kurang hampir sama untuk kuliah selama 4 tahun. Lebih kurang bukan berarti sama loh ya. Saya hanya ingin mencari persamaan, kita sama-sama berhutang dengan negeri ini.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk membayar hutang bagi “Mahasiswa Bersubsidi” ini?
Cara paling mudah, yang hampir dilakukan oleh semua orang adalah skripsi solusi.
Bagi mahasiswa program strata 1, sebelum sah mendapat amanah sebagai sarjana, pada umumnya mengerjakan skripsi. Skripsinya pun bermacam-macam. Ada tentang pengabdian masyarakat, penelitian, atau based on project business. Saya sendiri mengambil pilihan terakhir.
Idealnya, skripsi adalah solusi. Saya pun jadi teringat dengan pesan seorang dosen. Bu Ivon namanya. Saat itu saya bertanya :
“Bu Ivon, skripsi itu seharusnya bisa jadi solusi kan bu? Tapi kok ribuan bahkan puluhan ribu skripsi tiap tahunnya, hanya sedikit yang menjadi solusi bagi masyarakat?”
“Betul Rez. Skripsi idealnya adalah solusi. Tapi ada yang solusi bersifat internal dan eksternal. Bisa jadi skripsi mereka bersifat internal, makanya tidak bisa diduplikasikan.”
Lebih kurang begitu pesan dosen yang sering saya minta nasehatnya ini. Hingga akhirnya di skripsi yang bisa saya ambil di semester 7, saya membawakan judul “Passionpereneurship, Konsep Entrepreneurship Mengubah Passion Menjadi Bisnis”. Mimpi saya besar. Saya ingin skripsi ini bisa jadi solusi bagi masyarakat awam dan kelak menjadi referensi setelah saya olah menjadi buku populer. Seperti halnya Akmal Sjafril, Founder Indonesia Tanpa JIL yang mengubah tesisnya “Buya Hamka, Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme” menjadi buku populer yang bisa dinikmati orang awam.
Begitu pula dengan teman saya Andika Ramadhan Febriansyah. Mahasiswa sejarah UNJ yang sempat menjadi Wakil Gubernur Fakultas Ilmu Sosial. Dia sudah memulai karir kepenulisannya dengan menuliskan “Gerakan Mahasiswa Pasca Kebijakan NKK/BKK : Dari Tradisi Akademik Sampai Aksi Mahasiswa 1983-1998”. Aktivis banget ya. Memang, ditambah lagi dia adalah founder dari @bangsamahasiswa
Baca Juga :
Skripsi? Skripsweet atau Skripshee*?
Sedang atau Belum Skripsi? Wajib Baca Ini
Memulai Skripsi dengan Idealisme Mencari Solusi
Saya memaklumi, tidak semua skirpsi bisa dijadikan solusi. Tapi percaya dan terbukalah, bahwa kesempatan itu ada. Dengan idealisme dan perjuangan memberikan solusi di akhir masa kuliah, skripsi menjadi solusi bukanlah mimpi di siang bolong. Skripsi solusi adalah mimpi yang layak diperjuangkan.
Tantangan, pasti ada. Saya pun juga. Setelah lulus sidang akhir sempat dikritik tajam oleh dosen pembimbing di mejanya. Sakit banget, tapi tidak berdarah. Sama seperti halnya teman mendekati mantan yang kitanya masih sayang. Sakit, tapi tidak berdarah.
Memang, skripsi menjadi solusi bukanlah satu-satunya cara “Mahasiswa Bersubsidi” untuk membayar hutangnya kepada masyarakat. Ada banyak cara lainnya. Termasuk bagi mahasiswa PTS yang berdalih :
“Aku kan nggak disubsidi oleh pemerintah untuk biaya kuliah. Untuk apa sibuk-sibuk mikirkan masyarakat. Mikirkan diri sendiri, keluarga, dan balikan ke mantan aja belum kelar.”
Ya mungkin kamu bukanlah Mahasiswa Bersubsidi yang dibiayai oleh pemerintah. Tapi tetap, kita semua adalah Rakyat Bersubsidi. Bukankah banyak hal di kehidupan kita dibantu oleh pemerintah. Atau jika masih berdalih, sudah sebuah kepastian bahwa kita bersama adalah Hamba Allah yang Disubsidi.
Well, semaklin meluas ya. Lain kali deh kita diskusikan.
Mungkin kamu juga punya cara? Menjadi mahasiswa pemberi solusi. Silakan isi di kolom komentar ya. Mari kita berdiskusi lalu berkolaborasi. Untuk Indonesia yang lebih baik.
Karena apapun jurusanmu, kelak gelar S.PSI layak disematkan sebagai amanah. Bukan Sarjana Psikologi, melainkan Sarjana Pemberi Solusi untuk Indonesia.
Keep writing, always inspiring!
Sumber : www.rezkyfirmansyah.com
*Tulisan ini menggunakan teknik 3F1M yang saya bahas di program Kelas Artikel program dari Inspirator Academy.