Di malam takbiran, akhirnya kami mengambil sebuah keputusan penting. Proses dalam durasi singkat ini akan lebih baik jika dicukupkan sampai di sini.
Ini adalah kisah seorang manusia. Semoga kamu bisa menangkap maknanya.
***
Momen Sedih?
Coba bayangkan momen berikut.
Di akhir Ramadan, kamu harus menghentikan proses baik dengan seseorang.
Di malam takbiran, kamu hanya di rumah saja, tidak keluar rumah.
Di lebaran, kamu tidak bisa pulang ke kampung halaman.
Ada banyak momen yang membuat seseorang bersedih. Bagi sebagian orang, contoh momen tadi mungkin saja menyedihkan. Bayangkan saja jika:
Kamu sudah berjuang begitu gigih, tapi hasilnya tidak sesuai harapan dan terhenti akhir Ramadan. Bukankah Allah mengabulkan doa setiap hamba, apalagi di bulan Ramadan? Lantas kenapa hanya mempertemukan dua sosok manusia saja tidak Allah kabulkan?
Kamu ingin menghidupkan sunnah dengan mengumandangkan takbir. Tapi kondisi memaksamu untuk di rumah. Jalanan tidak seramai biasanya. Hanya menikmati ruang kamar yang sepi. Bukankah mudah bagi Allah untuk mengangkat wabah dari bumi ciptaan-Nya?
Kamu ingin bertemu dengan keluarga di lebaran. Tapi kondisi memaksamu untuk tidak pulang ke kampung halaman. Kamu kesal juga karena pemerintah yang tidak tegas dan banyaknya masyarakat yang tidak taat, sedangkan kamu terpaksa terhenti di rantauan. Kamu pun berpikir, “Allah tidak adil. Mereka bisa bersama keluarga, kenapa aku tidak?”
Banyak momen yang membuat kita berprasangka. Prasangka itu tak jarang membuat kita sedih. Wajarkah?
Hubungan yang tidak berlanjut, tertahan di perantauan dan lebaran tanpa keluarga. Siapa coba yang tidak sedih? Bukankah kesedihan itu manusiawi?
***
Ramadan Edisi Pandemi
Kita baru saja melewati Ramadan edisi pandemi. Ramadan yang dinggap tidak ideal. Bagaimana cara kita menghadapinya? Ya hadapilah sebaik-baiknya. Karena Ramadan ini begitu berbeda, maka tidak salah jika kamu mencoba untuk mulai mengingat kembali momen Ramadan tahun ini. Mengevaluasi diri agar kelak di Ramadan tahun depan bisa meraih Ramadan yang lebih baik.
Salah satu momen terbaik bagi saya di Ramadan ini adalah di awalnya. Sebuah ketukan pintu kamar dan ajakan dari penjaga kos.
“Mas, ayo shalat berjamaah di bawah.”
Saya beruntung punya penjaga kos yang dekat dengan agama. Dia bukanlah orang yang sempurna, tapi ajakan sederhana ini memberikan kesan begitu mendalam di tahun ini dan cerita kehidupan selanjutnya. Kenapa? Karena tanpa ajakan ini, tidak akan banyak hikmah yang saya dan teman kosan lain dapatkan.
Saya baru pindah kos per Februari. Seperti halnya anak kosan lain, pertemuan antar penghuni kos hanya sewajarnya saja. Sebutuhnya saja. Tapi di kondisi pandemi ini, membuat kami terpaksa lebih banyak waktu di kos saja. Momentumnya adalah di Ramadan ini. Karena dengan ajakan shalat berjamaah ini, muncul momen baik lainnya.
Sahur dan buka puasa bersama.
Shalat berjamaah subuh, isya, dan tarawih.
Dan, pembacaan buku usai shalat berjamaah.
Saya akan ceritakan satu per satu.
Boleh dikatakan, momen sahur dan buka puasa adalah momen pendekatan antar penghuni kos. Memang tidak semua anak kos yang bisa masak. Ada satu yang paling jago dan biasanya dialah yang menjadi “koki utama”. Ibadahnya biasa saja. Gondrong, anak band pula. Tapi hatinya tidak keras. Bahkan dia turut serta menyimak dan berbagi nasihat dari Kitab Al-Hikam. Semoga Allah lembutkan hatinya selalu. Semoga lelahnya dalam membuatkan masakan sahur dan buka puasa Allah berikan pahala berlipatganda. Begitulah pesan nabi yang sering kita dengarkan. Setiap orang pasti punya peran dalam agama ini. Peran untuk bermanfaat, peran untuk menyempurnakan amal.
Shalat berjamaah menjadi obat rindu yang begitu bermakna. Mereka yang biasanya shalat berjamaah di masjid dan terpaksa shalat di rumah pasti merasakan. Ada yang kurang jika hanya shalat sendirian. Walaupun Allah tetap akan memberikan pahala. Lalu bayangkan, Ramadan datang dan obat rindu pun datang? Nikmat mana lagi yang kamu dustakan wahai manusia?
Pembacaan buku dan kajian tak kalah berkesan. Usai shalat berjamaah dan doa, sepertinya ada sesuatu yang kurang jika balik kanan bubar jalan. Maka muncullah ide “gimana kalau kita kultum, baca buku gitu?” Ide ini pun disambut baik. Terhitung, ada 3 buku yang kami baca secara bergantian atau dipimpin seseorang. Pertama, Wujudkan Ramadhan Terbaikmu karya Ustadz Akmal Sjafril habis dibaca dalam 10 hari usai tarawih. Kedua, Kitab Al-Hikam yang dibaca secara bergantian usai shalat Subuh menamatkan 22 judul. Ketiga, pembacaan 9 dari 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam usai shalat Tarawih yang semoga membuat lebih mengenali Rasulullah S.A.W.
Tiga nikmat yang dihitung dari banyaknya nikmat tak terhitung di Ramadan ini dimulai dari sebuah ketukan pintu dan ajakan sederhana.
“Mas, ayo shalat berjamaah di bawah.”
Semoga dengan bertambahnya kebaikan demi kebaikan dari ajakan sederhana, mampu menjadi amal ibadah baginya.
Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
(QS Al-Ashr 1-3)
Entah sadar atau tanpa sadar, sang penjaga kos telah mengamalkan ayat yang mulia. Mengerjakan kebajikan dan menasihati kebenaran dan kesabaran. Barakallah.
***
Momen Pendekatan dengan Al-Quran
Di pertengahan Ramadan, saya telponan dengan Mama di rumah. Hingga pada satu percakapan, muncullah beberapa kalimat:
“Mama nanya tuh ke Bu Hasnaini jamaah masjid udah berapa juz baca Al-Quran. Udah banyak ternyata. Wah nggak boleh nih ketinggalan.”
Kalimat ini hanya penggalan saja. Sebuah penggalan cerita antara dirinya dengan sesama jamaah masjid yang saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan. Berpacu untuk terus menambah amalan. Bacaan Al-Quran di Ramadan adalah hal kongkritnya. Perbincangan singkat ini membuat saya menancap gas bacaan Al-Quran Ramadan ini. Alhamdulillah, bisa lebih banyak dibandingkan bulan biasanya. Di shalat tarawih bahkan, bersama jamaah anak kosan di malam-malam akhir bisa menyelesaikan hingga setengah juz per malam. Angka ini bagi sebagian orang mungkin biasa saja. Tapi bagi saya, ini begitu bermakna. Ini bukan tentang diri sendiri, tapi membersamai.
Bukan hanya membaca secara kuantitas, tapi perlahan saya juga mencoba untuk meningkatkan kualitas. Salah satunya dengan ikut matrikuliasi Nouman Ali Khan Indonesia. Berikut adalah beberapa tulisan yang pernah saya posting.
- Ramadan adalah Pertarungan Hati
- Kegagalan Terbesar Seorang Muslim
- Ayat Favorit di Ramadan, Terkabulnya Doa dengan Indah
Dari momen telponan dengan Mama di rumah, ada lesson learn yang begitu berharga. Apa itu? Pentingnya perencanaan di awal. Perencanaan yang benar-benar direncanakan.
Di awal Ramadan, sebenarnya saya punya rencana apa saja yang ingin dicapai di Ramadan tahun ini. Tapi rencana itu hanya sebatas di pikiran saja. Tidak diseriuskan. Hingga akhirnya pencapaiannya tidak sesuai dengan harapan. Beruntung ada momen yang memantik semangat. Setidaknya pencapaiannya tidak jelek-jelek banget lah. Nah ini jadi pelajaran penting untuk tahun berikutnya. Merencanakan pencapaian Ramadan yang realistis. Menulis evaluasi seperti yang saya tuliskan kali ini semoga menjadi bagian ikhtiar dari hal tersebut. Semoga Allah izinkan kita kembali bertemu dengan Ramadan tahun depan dengan kondisi yang jauh lebih baik.
***
Kajian Online #dirumahaja
Ramadan edisi pandemi memang berbeda, istimewa, dan tidak biasa. Kamu pun pasti bisa merasakaannya. Dalam beribadah pun kita ditantang untuk “memaksa” diri agar tidak kendor. Setidaknya ada standar minimal yang harus kita capai.
Yang biasanya shalat tarawih berjamaah, jangan sampai ketinggalan shalat tarawih sendiri atau bersama keluarga di rumah.
Yang biasanya iktikaf di masjid, jangan sampai ketinggalan iktikaf mandiri di rumah.
Yang biasanya mendengar ceramah usai shalat berjamaah, jangan sampai ketinggalan kajian online.
Memang rasanya tidak sama. Tapi semoga Allah nilai dengan amal yang serupa. Amalan dinilai dari niat kan? Maka jika sebelumnya kita sudah terbiasa dan benar-benar meniatkan untuk melakukan apa yang harusnya kita lakukan, semoga Allah pun memberikan kita pahala sebaik-baiknya. Tidak usah ditanya berapa pahalanya, yang jelas Allah Maha Teliti dengan hitungannya.
Tentang kajian online, ini menjadi fenomena menarik. Karena terbukti, terbatasnya fisik tidak membuat kuantitas kajian menurun drastis. Justru kajian lebih mudah diakses. Nah, tinggal niat yang lurus dan istiqomah saja dalam menjalaninya. Dan tentu, disertai dengan adab menuntut ilmu. Salah satu yang penting untuk dilakukan adalah mendoakan para guru usai kajian berlangsung.
@AhlanRamadhan.id menjadi salah satu kajian favorit yang sering saya ikuti. Diinisiasi oleh anak muda dan berkolaborasi dengan YPM Salman ITB. Tujuannya selain untuk berlomba dalam kebaikan dan memperluas kebermanfaatan, sekaligus menggalang donasi untuk negeri yang ditujukan untuk pembuatan massal Vent-I, ventilalator portabel karya anak bangsa. Bagi kamu yang ingin berdonasi, bisa lihat caranya di sini atau langsung ke Bank Syariah Mandiri 740-044-4409 a.n Rumah Amal Salman dan konfirmasi ke bit.ly/donasiuntuknegeri
30 kelas online dalam 30 hari. Insyaallah, akan ada buku antologi yang kami hasilkan. Karena setiap pertemuan, selalu ada peluang kolaborasi kebaikan. Untukmu yang ingin dapat insight lain dari para “guru kelas” inspiratif, bisa stalking saja akun IG @ahlanramadhan.id
***
Bersedih di Lebaran?
Kembali lagi dengan cerita awal. Bolehkah bersedih di Ramadan dan lebaran di masa pandemi ini?
Kamu pasti pernah membaca atau melihat sekilas nasihat “la tahzan innallaha ma’anna”. Tapi tahukah kamu, itu ada Al-Quran ayat berapa?
Izinkan saya melampirkan terjemahannya. Silakan kamu baca pelan-pelan ya.
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah : 40)
Bacanya pelan-pelan ya. Kaitkan juga dengan kehidupan pribadi. Jika ingin lebih dalam, coba baca tafisrnya di sini.
Berbicara tentang bersedih, saya jadi teringat dengan doa yang sering saya ucapkan.
Pertama, doa yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan, terutama di malam lailatul qadr. Kamu pasti tahu kan?
اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.
Kedua, doa yang terinspirasi dari QS An-Naml ayat 19 dan QS Al-Ahqaf ayat 15.
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. (QS An-Naml : 19)
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ إِحْسَٰنًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS Al-Ahqaf : 15)
Coba perhatikan baik-baik, apa persamaan dua ayat di atas?
Doanya sama. Hanya beda ujung dan awalnya saja. Kalau kamu baca tafsir dan ayat sesudah dan sebelumnya, akan banyak insight yang didapat. Tapi yang ingin saya tekankan adalah, doa ini mengajarkan kita untuk bersyukur. Doa agar diberi ilham, ditunjuki selalu agar menjadi hamba yang bersyukur.
“Lah, bersyukur kok minta doa? Syukur ya syukur aja.”
Nah, ini nih. Doa ini bagi saya berkesan karena saya butuh diajarkan oleh Allah agar selalu bersyukur. Karena sebagai hamba, seringkali saya lupa untuk bersyukur. Tentang contoh momen di awal tadi misalkan. Ada banyak kesedihan yang bisa hadir. Tapi dengan meminta kepada Allah agar senantiasa diberi rasa syukur, mudah saja bagi Allah untuk membolakkan hati manusia sehingga mencari hal yang disyukuri.
Mari bicara tentang jurnal syukur. Izinkan saya menuliskan 10 hal dari banyaknya yang saya syukuri selama Ramadan dan lebaran edisi pandemi ini.
- Alhamdulillah, bisa shalat jamaah bersama anak kosan
- Alhamdulillah, bisa sahur dan buka yang nyaman dan menikmati kebersamaan
- Alhamdulilah, bisa saling menasihati dalam kajian usai shalat
- Alhamdulillah, bisa menyelesaikan dan begitu menikmati buku yang sudah lama dibeli dan baru bisa dibaca kali ini, 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam
- Alhamdulillah, bisa menemukan ide One Day One Content dari #30TokohJahiliyah (Youtube Abdur Arsyad), After Sahur (podcast Ustadz Akmal Sjafril), One Day One Ayat (IG story @ChairulSinaga), 28 Project Tazkiyatn Nafs (feed IG @Afisabila), 30 hari tadabbur ayat (IG @LTQMuyassarah), dan Forgiveness Project (IG @novieokctavia)
- Alhamdulillah, bisa mengisi berbagi sharing session kepenulisan di berbagai platform
- Alhamdulillah, naskah klien yang tertunda cukup lama terselesaikan
- Alhamdulillah, naskah Kita (Ber)Cerita selesai hanya dalam waktu 2 bulan pengalaman
- Alhamdulillah, bisa menyimak berbagai kajian online dan #TakbiranAroundTheWorld melalui streaming Youtube AQL Islamic Center dan merasakan sensasi menembus lintas negara
- Alhamdulillah, bisa lebaran dengan menikmati lontong by anak kosan dan video call dengan keluarga di kampung halaman
Bagaimana dengan kamu? Apa yang kamu syukuri selama Ramadan dan lebaran edisi pandemi? Coba deh jeda sejenak dan memaknai apa yang sudah dialami. Coba tulis 10 hal yang kamu syukuri. Bukan bermaksud untuk menghitung nikmat yang tidak akan pernah terhitung. Tujuannya adalah memaknai pemberian Allah yang begitu personal. Kelak, hati akan merasa lebih lapang dan tidak mudah bersedih. Maknai nikmat Allah yang begitu personal dengan diri kita masing-masing. Sungguh, Allah Maha Penyayang dengan cara-Nya yang begitu indah.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah saya tidak bersedih atas Ramadan dan lebaran edisi pandemi?
Tentu saja ada. Tapi sewajarnya saja. Jangan berlebihan. Kalaulah benar kita memaknai “la tahzan innallaha ma’anna”, kelak kita akan mudah memahami bahwa lebih banyak hal yang kita syukuri dibandingkan yang kita sedihkan.
Tentang 3 momen awal tadi misalkan. Wajarnya saya bersedih. Tapi Allah mengabulkan doa saya agar dimudahkan untuk bersyukur.
Proses saya dengan seseorang boleh saja terhenti di hari terakhir Ramadan. Tapi Alhamdulillah, saya bisa menjadikannya buku Kita (Ber)Cerita.
Takbiran tahun ini hanya di kos saja. Tapi bisa terhibur dengan adanya Ahlan Lebaran dan #TakbiranAroundTheWorld dari AQL Islamic Center. Sungguh, saya merasakan takbiran lintas negara yang begitu indah. Tanpa sadar, air mata pun menetes saat memasuki sesi Spanyol yang di sana ada sosok ibu di Spanyol dan anaknya di Tangerang Selatan.
Lebaran tahun ini untuk pertama kalinya tidak pulang ke kampung halaman. Tapi Alhamdulillah, bisa menjadi khatib Idulfitri untuk pertama kali, menikmati lontong by anak kosan, dan tentu video call dengan keluarga di kampung halaman.
***
Sedih, Sewajarnya Saja
Kawan, sedih itu normal. Tapi sewajarnya saja. Karena di balik kesedihan, ada hikmah yang Allah sediakan.
Tidak perlu iri dengan orang yang bisa lebaran bersama keluarga. Syukuri dan doakanlah mereka.
Tidak perlu iri dengan screenshoot video call lebaran keluarga yang jarak jauh. Syukuri dan doakanlah mereka.
Tidak perlu iri dengan lebaran orang lain. Karena percayalah, kamu bukanlah orang yang paling sedih di lebaran ini.
Kalau kita benar-benar memaknai “la tahzan innalallaha ma’anna”, percayalah itu sudah cukup bagi kita untuk bahagia.
Hasbiyallahu wani’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’mal nashiir.
Semoga Allah ampuni dosa kita, terima amal ibadah kita, sempurnakan cacat ibadah kita, dan dipertemukan dengan Ramadan tahun depan dengan kondisi lebih baik. Aamiin