Dilema Pemikiran Anak Perantau tentang Pilkada dan Kembali ke Daerah

“Jen bapilih jo yang lamo le ndak. Tigo bupati awak. Ughang yang elok babolo, bukan yang buruak babolo”

Kenalkan, yang sedang berorasi ini adalah Ketua DPRD Kampar. Orang biasa memangggil Onga Fikri. Begitulah panggilan akrabnya. Ketika melewati jalanan kota di sore hari, pemandangan menarik ini terlihat. Saya sempatkan singgah sebentar untuk melihat dan memaknai apa yang terjadi.

Bukan hal yang aneh pemandangan orasi ini terlihat. Apalagi tanggal 15 Februari 2017 adalah pilkada serentak. Termasuk kampung halaman tercinta, Kabupaten Kampar.

Ohya, kalau ada yang bingung. Bahasa ocu di paragraph awal artinya adalah:

“Jangan dipilih juga yang lama. Bupati kita ada tiga. Seharusnya orang baik yang diberdayakan, bukan yang buruk malah terpaksa diberdayakan.”

Kabupaten ini memang sedang dilanda masalah. Termasuk bupatinya. Tak beda jauh dari Indonesia. Terbentuknya rezim dan dinasti. Bedanya disini, yang menjadi pengurus dinasti bukan hanya teman dan rekan. Tapi juga keluarga. Anak dan istri jadi anggota DPRD. Dan di pilkada ini, anaknya menjadi calon bupati. Gile aje.

Di sini pilihannya bukan “nggak masalah kafir yang penting nggak korupsi” seperti halnya Jakarta. Yang terjadi malah lebih parah. Berkedok jubah dan korupsi sanak keluarga.

Tiga bupati bermakna 3 tokoh keluarga yang berada di pucuk pimpinan secara nyata. Ayah, ibu, dan anak. Baju jubah yang digunakan pun menjadi pemanis buatan bahwa inilah bupati yang agamis. Munafik. Dan mengherankan lagi, Islamic Centre yang menjadi ikon kabupaten bergelar Serambi Mekah ini menjadi kezaliman yang terlembaga. Takmir masjid dan imam besar seolah takluk dalam cengkraman bupati berjubah. Bupati korupsi dipuji, anak yang menjadi calon bupati diberikan wadah kampanye terselubung di masjid, anggaran tak lagi transparan. Apakah ini semangat menjadi pejuang kebaikan. Pasrah dengan pembenaran bahwa pemimpin adalah cerminan masyarakat. Lalu tokoh agama pun dengan terlihat bijak menggambarkan “bersabar saja. Asalkan tidak mengganggu ibadah”.

Belum lagi permainan tukar ganti pejabat pemerintahan seperti transaksi jual beli. Tanya saja pada seluruh pejabat pemerintah sekarang, berapa yang disetorkan untuk sebuah jabatan? Ini bukan fitnah, tapi fakta. Tapi anehnya, kenapa KPK dan pihak yang berwewenang melihat seperti tak ada masalah?

Apa faktanya?

Sedikit saja secara teknis. Seharusnya yang menjadi pejabat pemerintahan (kecuali non bupati dan wakil) secara akademis adalah alumni IPDN ataupun PNS berpengalaman. Bukan lulusan SMK. Lah nyatanya tak satupun alumni IPDN dipakai di sini. Semua sudah diganti dengan yang mau membeli. Alhasil mereka yang berkualitas dan mengerti pemerintahan “kabur” ke kota dan propinsi.  Nyatanya di sana mereka terpakai.

Secercah harapan rezim ini hancur muncul. 11 Desember 2016, bupati Kampar diganti karena sudah habis masa periodenya. Pergantian bupati diwarnai oleh sorak sorai anggota DPRD dan undangan yang hadir. Karena secara teknis tak boleh ada kekosongan jabatan, maka alumni IPDN yang “dibuang” oleh Bupati Berjubah diutus oleh propinsi untuk kembali. Menjadi pelaksana tugas sementara hingga 17 Februari. Semoga saja, ada perubahan nyata untuk Kampar kedepannya. Orang yang tepat mengurus hal yang tepat.

“Kamu anak muda hanya sebagai pengamat. Jadi apa yang bisa kamu lakukan?”

Saatnya kembali ke daerah?

Ini sungguh dilema bagi anak perantau. Karena bagi anak perantau, kembali ke daerah bermakna dua hasil yang berbeda. Kembali untuk berkontribusi dan memberi perubahan atau kembali untuk menyerah dan terwarnai dengan keadaaan.

Saya punya dua kasus yang berbeda untuk hal ini. Satu almamater beda angkatan. Dua orang senior yang sama sama dari daerah yang sama.

Kasus pertama. Di perantauan, dia sudah bisa mandiri. Bisa beli sepeda motor sendiri, menghidupi diri sendiri, dan baru tahun ini sudah punya istri. Segalanya dia lakukan dari wirausaha. Hingga lulus kuliah, dia pun bekerja di perusahaan. Anehnya, semangatnya mulai berkurang. Bisa jadi karena faktor lingkungan yang seringkali dilanda karyawan baru, “kamu masih baru disini, tak usah banyak ngasi saran.” Aneh. Bukankah tenaga baru dibutuhkan untuk mencari energi baru?

Kisahnya belum selesai. Hingga akhirnya dia disuruh pulang ke kampung halaman untuk membantu orang tua menjaga toko. Idealisme dan mimpi semakin terkikis. Pernah suatu hari seorang ustadz bertanya “jadi apa yang bisa kamu lakukan untuk masjid ini?”. Dengan nada pesimis, dia menjawab “kita nih apalah ustad. Tak dipandang”. Idealisme terkikis ketika perantau belum siap kembali.

Kasus kedua berbeda. Seorang yang sudah saya anggap abang sendiri. Kami beda 10 tahun dan dia sudah punya anak dua. Juga mendesak saya agar segera menikah. Tapi bukan itu poin utamanya.

Lulusan luar negeri hingga S3. Sudah konferensi ke berbagai negara. Tapi tetap saja kembali ke daerah sebagai dosen. Ketika pulang ke kampung halaman, saya selalu menyempatkan waktu untuk singgah ke rumahnya. Berdiskusi banyak hal. Mencari solusi untuk Kampar lebih baik. Hampir setiap liburan selalu ada social project yang kami lakukan bersama. Semoga kedepan lebih banyak anak muda Kampar yang bisa tersinergi. Idealisme diperjuangkan ketika perantau kembali ke kampung halaman.

Dua kasus yang berbeda. Jika saya ditanya berada di posisi yang mana, hingga saat ini saya belum bisa menjawabnya. Memang kuliah sudah usai. Tapi abang memberikan saran “Tetaplah terus merantau, nanti baru kembali lagi.”

Saran ini sampai sekarang masih saya iyakan. Karena bisa apa saya di kampung halaman? Bekerja sebagai PNS? Itu bukan tujuan yang saya rencanakan. Jadi pengusaha di kampung halaman? Abang berpesan jadi kontraktor jika mau. Tapi tetap saja itu bukan pilihan saya. Mungkin merantau masih jadi pilihan yang tepat hingga saat ini. Pergi merantau hingga saat yang tepat kembali untuk berkontribusi. Hingga mungkin nanti menemukan pendamping hati yang satu kampung halaman. Eleh.

Kembali lagi ke pilkada Bupati. Jadi saya milih siapa?

Pilihan ini tentu saja masih tanda tanya besar. Yang jelas, 1 nama sudah diblacklist dari pilihan. 4 lagi masih pertimbangan. Ya pengennya ada satu tambahan nama, Rezky Firmansyah. Tapi mungkin belum saatnya. Bisa jadi 2037. Berjalan bertahap. Untuk 2017 semoga saja Rezky Firmansyah dan pasangan sudah ada di buku nikah. Nah.

Masalah, masalah, masalah. Kenapa selalu saja ada masalah? Tapi benarkan masalah itu selalu ada?

Saya jadi teringat dengan pesan seorang guru.

“Masalah itu sebenarnya bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah salah dalam mengatasi masalah”.

Paham maksudnya?

Lalu melihat kondisi Indonesia dan kampung halaman terkini apa yang bisa dilakukan?

Lakukanlah semampumu. Jangan hanya banyak mengeluh dan kritik tanpa aksi. Tapi jadilah pemuda yang kritis tapi juga solutif. Ya ini PR besar kita bersama. Bagi pemuda terutama. Tapi kemajuan sebuah bangsa termasuk kampung halaman ini bukan hanya di tangan pemuda. Tapi juga golongan tua yang sadar bahwa umur tak lagi panjang, maka tak usah banyak tingkah. Dan juga golongan ulama yang tegas dalam berpihak mana yang benar, mana yang jadi pembenaran.

“Karena aku butuh kamu untuk menjadi kita. Kita yang peduli dan tumbuh bersama untuk Indonesia lebih baik.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *