Malam itu, malam terakhir di kota kecil ini sebelum kembali berjuang di Kota Pahlawan. Dengan ditemani secangkir teh telur dan tentunya seorang teman yang menemani. Bukan gebetan, karena pastinya dia bukan perempuan. Seorang teman lama yang baru pulang dari mengikuti konferensi perminyakan di Doha, Qatar. Kebetulan dia adalah mahasiswa jurusan perminyakan di salah satu kampus swasta di Riau.
Di malam yang cukup sejuk itu, kami berdiskusi mengenai banyak hal. Perkuliahan, masa depan, hingga kontribusi kecil yang akan diberikan untuk Kampar ini. Hal yang mungkin terasa sedikit berat, apalagi ini malam minggu. Kita punya pilihan bagaimana menjalani malam minggu dengan kreatif dan produktif bukan?
Bukan sekali dua kali memang saya melakukan ini. Dengan teman yang berbeda, tempat yang sama dan pastinya juga dengan teh telur yang menemani. Tepatnya liburan semester lalu, saya bersama teman lain juga berdiskusi sehat. Membicarakan apa hal kecil yang bisa kita perbuat. Bahkan bukan hanya di tempat yang dikatakan “taman kota” ini. Bersama anak perantauan saat meet up di Jogja, kami pun membicarakan hal ini. Hanya saja bukan dengan teh telur. Melainkan susu sapi murni. Sepertinya teh telur memang cukup sulit dijumpai selain kampung halaman ini.
Cukup beralasan memang tema diskusi yang sering kami bicarakan. Di tengah ketidakpedulian banyak anak muda terhadap bangsanya, kita butuh menghidupkan cahaya, bukan malah mengutuk kegelapan. Tidak mudah memang. Karena sifat ketidakpedulian atau bahkan kepesimisan banyak anak muda akan sangat mempengaruhi perjuangan kita. Hal ini terasa sekali ketika beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan saudara dan kebetulan alumni yang sekolah yang sama. Entah karena faktor apa, berbagai alasan dia berikan. Tidak ada kuasa, tidak ada uang. Tapi tentu saja alasan itu lantas tidak bisa diterima. Karena ketika ditanya ide, dia tidak bisa memberikan ide dan solusi yang diberikan. Untunglah budaya diskusi membuat pikirannya tersentuh untuk kembali ke jalan yang seharusnya. Semoga.
Sebagai anak muda yang belajar di perantauan, izinkan saya berbagi 5 pesan dan perenungan untuk kita sesama anak muda. Sesama anak muda yang peduli dan menghidupkan kembali cahaya harapan untuk kejayaan bangsa ini.
Pertama. Bepergianlah, jangan biarkan dirimu kecil.
Pada dasarnya ini adalah sebuah keharusan untuk dilakukan. Telah dicontohkan oleh para nabi jauh sebelum kita dilahirkan. Bepergian dari Mekah ke Madinah, Syam, Thaif dan berbagai kota lainnya. Membawa misi perdagangan dan penyebaran agama. Begitu pula yang dilakukan oleh penjajah bangsa ini. Karena dengan bepergianlah mereka mampu meraih misinya. Gold, glory,dan gospel.
Anak muda bepergianlah. Izinkan dengan bepergian dan melakukan perjalanan dirimu membesarkan pikiran. Karena ada banyak hal besar yang perlu kita ketahui, yang butuh kita maknai. Sehingga diri ini tersadar bahwa apa yang selama ini kita lakukan masihlah sangat kecil. Kuliah di luar kota, konferensi di luar negeri, atau lakukan trip untuk pergi dari kampung halaman yang menjebak dengan kenyamanan.
Percayalah, seiring berjalannya waktu kamu akan merasakan perubahan. Bahkan ketika kembali ke kampung halaman kamu akan merasakan ketimpangan dan kegelisahan, begitu kecilnya pemikiran teman sekampung kita selama ini. Lantas apa yang harus kita lakukan?
Kedua. Tumbuhkan kepedulian dan berikan perubahan.
Ada tiga golongan pemuda. Pertama, mereka yang peduli bernilai satu. Kehadiran mereka memberikan pengaruh positif bagi sekitar. Kedua, mereka yang apatis bernilai nol. Ada atau tidak adanya mereka tidak ada bedanya. Ketiga, mereka yang pesimis bernilai minus satu. Kehadiran mereka memberikan pengaruh negatif bagi sekitar.
Mengambil kesimpulan dari analisa diatas, masalah paling besar bukanlah dengan banyaknya anak muda yang apatis. Melainkan mereka yang pesimis karena mampu mempengaruhi orang lain untuk pesimis. Karena mereka yang apatis tidak akan berpengaruh apa-apa. Tapi tentu saja kita masih punya pilihan untuk menjadi anak muda yang peduli kan?
Muncul pertanyaan, bagaimana menjadi peduli? Sederhana. Kepedulian biasanya bermula dari kegelisahan. Kegelisahan dari ketidakteraturan, maka diri ini bergerak untuk meluruskan dan membuatnya teratur. Kegelisahan melihat hal yang salah membuatnya untuk melurusan dan melakukan hal yang benar.
Mulai dari kepedulian kecil. Karena hal besar tentu dimulai dari hal kecil. Melihat sampah berserakan, lalu mengutipnya dan membuang ke tong sampah. Melihat air kran yang bertetesan, lalu menutupnya.
Dan zaman sekarang ini, kepedulian kecil pun bisa menjadi besar dengan adanya teknologi. Saat itu, pembicara tamu di salah satu mata kuliah pernah mengatakan hal yang menarik :
“Mengeluh di Indonesia seperti suatu ibadah baru. Bahkan bisa dikatakan melebihi ibadah 5 waktu. Tentu saja mengeluh saja tidaklah cukup. Karena kebiasaan mengeluh ini bisa menjadi sebuah peluang besar. Dengan mengeluh kita tergerak untuk mencari solusinya. From complain, create something.”
Lihatlah ada banyak teknologi yang menyebarkan kepedulian dan solusi. Sebut saja Good News From Indonesia. Sebuah portal online yang menyibukkan diri untuk menebarkan berita baik dari Indonesia. Tanpa terikat oleh kepentingan dan pastinya tidak memegang prinsip bad news is good news dari media mainstream lain.
Tumbuhkanlah kepedulian dan perubahan dari hal kecil. Lalu perlahan naik kelas untuk memberikan kepedulian yang lebih besar dari kegelisahan sosial. Karena kita punya pilihan bijak. Daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan cahaya. Masing-masing kita punya pilihan. Hanya saja seringkali kita memilih untuk tidak mengambil pilihan.
Ketiga. Kembalilah ke kampung halaman.
Bagi sebagian orang memang berat untuk meninggalkan kampung halaman. Dan bagi sebagian lain malah sebaliknya, berat untuk kembali kampung halaman. Tentu banyak alasan yang bisa dijadikan pembenaran. Misalkan, kehidupan di kampung halaman itu tidak memuaskan. Atau bahkan alasan ironis lain, tidak dianggap di kampung halaman.
Untuk kasus kedua, mungkin bisa jadi dilema bagi sebagian besar orang. Dan itu memang terjadi bagi banyak “pahlawan tanpa pengakuan” di Indonesia. Ambil contoh saja presiden Habibie. Di Jerman sungguh dipuji, sedangkan di negeri sendiri terabaikan. Contoh lainnya adalah Ricky Elson. Di Jepang sudah mapan, lalu ditarik ke negeri sendiri. Tapi entah bagaimana kelicikan oknum, jasanya terbuang. Tidak dipakai lagi.
Melihat pengalaman tersebut, tentu bisa jadi pembenaran yang kuat bagi sebagian orang untuk tidak kembali ke kampung halaman. Tapi coba kita renungkan lebih dalam. Apakah semua pengalaman tersebut pasti akan berlaku bagi semua orang? Saya berkeyakinan tidak. Karena sungguh, jauh di dalam hati nurani ini masih ada niat besar untuk berkontribusi. Dan itu memang terjadi. Ricky Elson yang jasanya disia-siakan oleh pemerintah tetap bertahan di Indonesia. Memilih berkarya di daerah terpencil Indonesia timur untuk mengembangkan tenaga listik tenaga angin. Walaupun terkadang idealisme yang kita perjuangkan akan bertabrakan dengan realita kehidupan. Tapi bukan berarti kita menyerah. Mungkin lebih tepatnya idealisme terkompromikan. Berat memang, tapi kita masih tetap dalam tujuan besar yang sama. Berkontribusi untuk Indonesia.
“Ini adalah perjuangan yang panjang. Maka saya tak heran melihat pendiri sekolah ini mempunyai visi yang jauh di depan. Diseleksi dari ribuan peserta untuk mendapatkan 100 orang terpilih dari berbagai daerah. SMAN Plus Propinsi Riau didirikan untuk mencetak generasi masa depan Riau. Yang kelak kembali ke daerah dan bersama membangun Tanah Melayu Riau” – Alumni SMAN Plus Riau
Keempat. Sinergi kontribusi antara ide, kuasa, dan uang.
Idealisme yang diperjuangkan tanpa kemapanan finansial akan menyedihkan kedepannya. Percayalah. Saya ingat bagaimana kisah dua pemuda yang dulunya sama-sama pemuda aktivis memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan. Hingga di satu titik, pemuda yang satu “menyerah” dan menjilat ludah sendiri. Dengan alasan yang mengesalkan :
“Ini dunia nyata. Gak usah banyak mimpi”.
Sedih ketika mendengar alasan seperti ini. Bahkan dengan telinga dan mata kepala saya sendiri mendengar sesama alumni mengatakan :
“Kita gak bisa apa-apa. Kita gak punya kuasa. Gak punya uang.”
Sungguh sedih. Padahal dulunya dia sempat mandiri. Entahlah. Apakah karena faktor benturan finansial atau karena mengecilnya pikiran karena “belum saatnya” kembali ke kampung halaman.
Maka untuk mengatasi alasan yang menyedihkan itu, butuh sinergi antara ide, kuasa, dan uang. Ide tanpa kuasa dan uang hanya akan menjadi angan-angan. Kuasa tanpa ide dan uang akan menjadi kebijakan yang tumpul. Uang tanpa kuasa dan ide akan menjadi hamburan kesia-siaan. Maka butuh sinergi antara ide, kuasa, dan uang.
Contoh nyatanya dapat kita aplikasikan di berbagai crowdfunding di Indonesia. Jika hanya memiliki ide tanpa kuasa dan uang, maka sampaikan idemu di kitabisa.com. Ide yang bisa memberikan solusi nyata. Maka kitabisa.com akan membantu untuk mengumpulkan dana tersebut. Jika hanya memiliki kuasa tanpa ide dan uang, maka ajaklah orang lain untuk berkumpul dan bertukar pikiran. Pemerintah sangat butuh melakukan ini dengan mengumpulkan banyak anak muda yang memiliki banyak ide briliannya. Dan jika kamu hanya memiliki uang tanpa ide dan kuasa, maka kontribusikan uangmu ke lembaga, yayasan, atau instansi yang mampu memberikan dampak dan perubahan sosial. Tapi jika kamu tidak memiliki salah satunya, maka cobalah renungkan dalam diri. Begitu apatiskah kita dengan kejayaan bangsa ini?
Kelima. Jangan putus harapan, percayalah Tuhan bersama kita.
Entah ini benar atau tidak. Tapi sebuah pengakuan mengatakan :
“Peningkatan teknologi berbanding terbalik dengan tingkat tawakkal manusia”
Ya ini mungkin patut kita renungi. Semakin besar diri ini maka seharusnya semakin rendah hati layaknya ilmu padi. Dan juga pastinya semakin besar pengakuan kita terhadap Sang Pencipta. Membesarkan Dia yang besar, bukan membesarkan yang kecil dan mengecilkan Dia yang besar. Itulah pentingnya iman dalam diri setiap manusia. Apapun keyakinan yang kita miliki, seharusnya kita mengakui kerendahan diri ini di mata Tuhan. Ada kekuatan besar dibalik yang besar di dunia ini. Dan itu hanya bisa dirasakan dengan iman.
Ketika kita kelelahan, ingatlah ada Dia tempat kita meminta kekuatan. Ketika kita kebingungan, ingatlah ada Dia tempat bertanya. Ketika seolah-olah tidak ada jalan lagi untuk ditempuh, ingatlah Dia yang membuka semua jalan dan memungkinkan segala yang tidak mungkin. Jangan putus harapan, karena Tuhan bersama kita.
***
Saya percaya bahwa ini bukanlah hal mudah. Kesadaran ini ditemukan dalam perenungan yang panjang. Dan saya, dengan segala kemampuan yang ada tidak hanya diam. Bergerak perlahan untuk sebuah tujuan yang besar.
Bersama Passion Writing Academy saya tuangkan segala gagasan ide untuk perubahan dengan kreativitas dalam tulisan. Dan yang terbaru adalah Parentwriting. Sebuah upaya dan solusi bagaimana mendekatkan orang tua dan anak dengan tulisan. Penyaluran pembelajaran puluhan tahun yang dimiliki oleh orang tua untuk percepatan kehidupan anaknya. Ini bukan hal yang mudah. Tapi saya percaya bahwa banyak ide dan gagasan untuk kemajuan sebuah bangsa dan kejayaan umat. Dan berbakti dengan orang tua bukan hanya doa lima kali sehari. Melainkan juga penyelerasan mimpi dan visi.
***
Percayalah, siapapun kamu sekarang, kita punya kesempatan yang sama. Hanya butuh keberanian untuk maju bersama. Temukanlah mereka yang mampu mendukungmu. Memang, jika kamu ingin berjalan lebih cepat, maka berjalanlah sendiri. Tapi jika kita ingin berjalan lebih jauh, maka berjalanlah bersama.
“Aku butuh kamu untuk menjadi kita. Kita yang peduli akan kemajuan bangsa dan kejayaan umat”
***Rezky Firmansyah. Anak perantauan yang menuangkan pemikiran dan harapan dengan tulisan di rezkyfirmansyah.com
0 thoughts on “5 Pesan dan Renungan, Dari dan Untuk Anak Perantauan”