Kemarin malam terjadi diskusi hangat di sebuah grup tentang Aksi Super Damai 212. Saya pun langsung personal chat ke seorang mentor untuk mendapatkan nasehat.
“Kakak tidak tertarik menulis tentang 212?”
“Tidak. Untuk apa?”
“Untuk menunjukkan keberpihakan. Kan kakak penulis.”
“Sampai saat ini saya belum punya alasan kenapa saya harus menulis 212. Karena sudah banyak yang mengulas dan sesuai apa kata hati saya.”
“Iya juga sih. Lagipula kan kakak udah memberikan keberpihakan dengan langsung turun ke jalan. Nah saya yang nggak sempat turun ke jalan ingin menunjukkan keberpihakan dengan tulisan.”
“Hidayah itu datang langsung dari Allah. Tulisan adalah salah satu perantaranya. Saya nggak setuju aja kalau penilaian peduli atau nggak peduli diukur dari tulisan 212. Dan yang nulis 212 juga tidak boleh merasa bisa mencerahkan, karena kalau tidak ada nikmat Allah, kita semua nggak bisa menulis.”
JLEB! Pesan mentor saya ini mengena ke hati. Pas banget dengan kondisi terkini. Saya pun bertaya kembali ke dalam hati, untuk apa saya menulis 212?
Saya memang bukan golongan yang ikut-ikutan dalam aksi ini. Saya sudah memperhatikan dari sebelum-sebelumnya. Hanya saja Aksi Bela Islam I dan Aksi Bela Islam II di 411 adalah momentumnya. Bahkan di tulisan 411 yang berjudul Tentang 4 November dan Seterusnya untuk Negeri Ini, Semoga Allah Meridhoi, tulisan saya sempat viral. Nah nah nah. Mulai mikir nih. Mulai ada rasa bangga dalam diri. Sebenarnya untuk apa kamu menulis?
Viralnya tulisan pertama pun membuat saya terus menulis. Saya lanjutkan kembali ke Mencari Keadilan dan Menggali Nasionalisme di 4 November. Responnya biasa aja. Tapi saya tetap aja menulis edisi ketiga, Berbuat Baik Apa Lagi Setelah Aksi Damai 4 November. Tetap biasa aja. Akhirnya saya hentikan di postingan keempat yang khas ala Passion Writer, Akhirnya Terbongkar! 7 Inspirasi Menulis dari Hasil Menggali Makna Aksi Damai 4 November. Masih biasa aja. Lalu saya hentikan menulis tentang 4 November dan melanjutkan menulis yang lainnya.
Setelah diskusi dengan mentor ini, saya benar-benar kembali berpikir, untuk apa saya menulis 212? Ingin dapatkan like, comment, dan share? Ingin show off? Ingin dapatkan momentum hits?
Memang tak salah lagi bahwa momentum 212 ini akan menjadi momen viralnya berbagai tokoh personal. Saya pun juga sempat berpikir dengan salah satu tulisan teman yang setahu saya bukan penulis tapi dengan momentum dan tulisannya tentang “Surat untuk Kapolri” bisa viral. Bahkan ditulis kembali di media online lainnya. Mentor saya yang lain pun karena tulisannya juga sempat diundang TV One dalam dua acara yang sama.
Tidak bisa dipungkiri, niat show off itu pasti ada. Memang kita beralih sebagai aksi bela agama dan menunjukkan keberpihakan. Tapi jika bertanya dalam hati, dominan untuk dipuji dan show off bisa jadi lebih besar. Bukan hanya tulisan sebenarnya. Aksi turun ke jalan pun juga bisa. Lihatlah di berbagai social media berbagai postingan foto dan video. Memang di satu sisi itu adalah perang bagi team cyber. Tapi kembali lagi, tanya dalam hati. Ini untuk ilahi atau ingin dipuji?
Datang jauh-jauh dari berbagai daerah, omongnya tak santun dengan kata kata “Bakar Ahok, Gantung Ahok”. Lalu apa bedanya dengan ucapan Ahok? Kebatilan dilawan dengan kebatilan.
Baca Juga :
Jangan Habiskan Energimu untuk 212
Tanya lagi dalam hati. Untuk apa kamu berada dalam aksi ini. Benar karena panggilan iman, atau berharap pujian? Berharap mendapatkan pemberat timbangan kebaikan, atau dikenang oleh rekan-rekan? Tanya lagi pada hati.
Niat memang sulit dilacak. Tapi disanalah kita harus lebih memperbaiki niat.