Saat mengalami hal yang tidak menyenangkan, pernahkah bertanya “Ya Allah, kenapa harus saya?”
Hal yang tidak menyenangkan itu bisa berbagai macam. Bisa jadi trauma yang mendalam, sedangkan banyak teman lain hidupnya sehat-sehat saja. Bisa juga kegagalan untuk berjodoh berkali-kali, sedangkan teman lain hanya di percobaan pertama langsung jadi. Atau yang terbaru, kenapa harus diri ini yang tertahan di perantauan, tidak pulang kampung sedangkan yang lain bisa upload foto berasma keluarga di masa lebaran.
Banyak. Ada banyak hal yang tidak menyenangkan dalam hidup. Dan jika diri bertanya “Ya Allah, kenapa harus saya?” maka itu bukanlah kesalahan. Bukankah hanya kepada Allah tempat kita mengadu? Ya kita mengadu, bukan menyalahkan Allah Yang Maha Tahu.
Belakangan ini, Allah izinkan saya untuk mengikuti #MatrikulasiNAKIndonesia. Sejauh ini, sudah ada 3 tulisan yang saya post di blog, Silakan baca tulisan lainnya di bawah ini:
- Ramadan adalah Pertarungan Hati
- Kegagalan Terbesar Seorang Muslim
- Ayat Favorit di Ramadan, Terkabulnya Doa dengan Indah
Tulisan kali ini saya akan menceritakan ulang makna yang saya dapatkan dari kajian Ustadz Nouman Ali Khan dari 3 ayat berikut: QS At-Taghabun ayat 11, QS Al-Qashash ayat 10, dan QS Al-Hajj ayat 11. Ayat yang semoga terinternalisasi dalam diri dalam bentuk cerita.
***
Musibah yang Tertarget, Begitu Spesifik kepada Hamba
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS At-Taghabun : 11)
Video pertama bisa kamu tonton di sini. Menceritakan tentang musibah yang tertarget. Izinkan saya berbagi perspektifnya.
Setiap kata dalam ayat Al-Quran pasti ada maknanya tersendiri. Tak terkecuali di ayat ini. Kata “ashaba” adalah salah satu yang menarik. Kenapa? Karena maknanya adalah tepat sasaran, tertargetkan. Maka apa-apa yang terjadi pada diri kita, termasuk musibah yang dianggap tidak menyenangkan itu memang sudah spesifik Allah berikan kepada seorang hamba. Kepada kamu, saya, atau dia. Ya, masing-masing dari kita.
Semua yang terjadi tentu atas izin Allah. Allah Maha Tahu kenapa suatu hal diberikan kepada kita. Salah satunya agar iman kita teruji dan Allah memberikan hadiah berupa petunjuk kepada hati.
Perhatikan baik-baik. Bukan petunjuk dalam hidup, tapi petunjuk kepada hati. Penggunaan kata ini begitu mendalam. Allah menggunakan kata yahdi qalbihi (Dia akan bimbing hatinya), bukan yahdihi (Dia akan membimbingnya). Hati kita yang dibimbing, begitu mendalam. Karena hatilah yang akan merasakan dan menentukan kehidupan kita.
Saat kecewa, hati yang merasa. Saat bahagia, hati juga yang merasa. Maka jika Allah membimbing hati kita, bukankah itu hadiah yang luar biasa? Maka penting bagi kita untuk mendahulukan prasangka baik kepada Allah bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi kepada kita pasti ada maksud yang ingin Allah ajarkan. Jika belum tahu, maka cari tahu dengan berpikir seraya berzikir. Jika mentok juga, kenapa tidak minta kepada Allah agar diberi tahu?
***
Hati yang Lapang untuk Melepas
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَٰرِغًا ۖ إِن كَادَتْ لَتُبْدِى بِهِۦ لَوْلَآ أَن رَّبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar ia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah). (QS Al-Qashash : 10)
Video kedua menadabburi kisah ibu Nabi Musa A.S yang melepaskan bayi kecilnya di sungai agar terhindar dari pembunuhan anak laki-laki secara massal oleh rezim Firaun. Dia melepaskan ketidakpastian, tapi dengan hati yang beriman.
Lagi-lagi, pemilihan kata dalam Al-Quran begitu menarik. Ada dua kata yang diartikan “hati” di ayat ini, yaitu “fuad” dan “qalbiha”. Fuad dimaknakan hati yang bergejolak, sedangkan qalbiha dimaknakan dengan hati yang tenang. Allah begitu mudah untuk membolak-balikkan kondisi hati seorang hamba.
Bicara tentang trauma, saya sulit untuk bercerita pengalaman. Saya menemukan banyak teman yang punya cerita sedih yang mendalam yang itu menjadi trauma dan cerita kehidupan baginya. Sejujurnya, saya sulit untuk berempati karena tidak punya pengalaman serupa. Di sisi lain, mereka yang punya trauma mendalam adalah sosok yang Allah pilihkan dengan tertarget sehingga potensi tumbuh imannya begitu besar.
Lalu haruskah iri dengan mereka yang Allah berikan “hadiah” berupa trauma yang menjadi potensi bertumbuhnya iman? Tidak perlu. Karena di sisi lain, Allah pasti memilih secara tertarget juga mereka yang tidak mengalami hal serupa. Setiap dari kita punya perjalanan hatinya masing-masing.
Bicara tentang perjalanan hati, saya tidak bisa menceritakan trauma. Tapi saya juga punya cerita yang Allah hadirkan begitu personal bagi seorang Rezky Firmansyah. Belajar tentang melepas, belajar tentang keikhlasan. Perihal ini, saya patut berterima kasih kepada ayah yang mengajarkannya tanpa sadar. Saya akan ceritakan saja beberapa perjalanan hati lahirnya sebuah karya.
Buku ke-7 berjudul Jomblo, Mantan, dan Masa Depan yang terbit tahun 2017 awal. Buku ini awal mulanya lahir dari kolaborasi dengan akun social media. Ide darinya, muncullah wacana untuk menulis secara kolaborasi atas nama akun tersebut. Saya pun mengiyakan. Singkat cerita, naskah selesai. Tapi peluang kerjasama terputus. Naskah terpendam dan saya kecewa dan drop. Kecil peluang terbit saat itu jika saya harus mengirim secara mandiri. Butuh waktu lama bagi saya untuk bangkit. Tapi saya tetap saja menulis di platfrom lainnya. Saya tetap menulis dan singkatnya naskah awal tersebut dirombak dan jadilah buku berjudul Jomblo, Mantan, dan Masa Depan yang terbit di Quanta. Seorang rekan yang menggantungkan kerjasama tadi pun mengajak balikan lagi, dan terbitlah buku Penantian Terindah di Wahyu Qalbu. Dua buku terbit dalam waktu yang tidak jauh berbeda melalui penerbit major. Ohya, saat itu saya juga sedang mengerjakan skripsi. Alhamdulillah ala kulli hal.
Buku ke-29 berjudul Ragam Asa untuk Indonesia dan buku ke-30 berjudul 17 Insight Pelatnas FIM 21. Buku ini sedikit banyaknya lahir juga dari rasa kecewa setelah gagal lolos seleksi Forum Indonesia Muda berkali-kali. Hingga akhirnya saya lolos di tahun 2019. Sudah saya ceritakan di tulisan berjudul Antara FIM dan FLS, Jalan atau Tujuan? Di buku ke-30 tersebut ada kutipan di salah satu babnya.
Saya pernah berada pada fase begitu keras menginginkan sesuatu, hingga akhirnya kecewa. Tapi saya juga pernah berada pada fase begitu tenang saat menginginkan sesuatu, hingga akhirnya mendapatkan apa yang diharapkan.
Buku ke-31 berjudul Kita (Ber)Cerita. Baru saja selesai beberapa hari belakangan di masa Ramadan edisi pandemi. Buku ini lahir dari proses memaknai perjalanan rasa yang ujungnya tidak bisa bersama. Di proses yang begitu gigih ini, tentu ada banyak hikmah. Dua titiknya adalah saat di mana saya begitu kuat untuk berjuang dan di saat hati lapang untuk menerima. Saya pernah berdoa agar Allah pertemukan kami dengan cara baik, dan saya juga pernah berdoa agar Allah lapangkan hati jika memang hasilnya tidak bisa bersama. Dan benar, saat hasilnya kami tidak bisa bersama, Allah izinkan hati saya dengan begitu lapang menerima. Padahal sebelumnya, saya begitu gigih untuk memperjuangkan namanya. Maju, terhenti, maju lagi, jeda sejenak, mulai terbuka, hingga akhirnya terhenti. Perjalanan hati yang kompleks, tapi begitu bermakna dan penuh hikmah.
Perjalanan kita tidak akan pernah sama. Perjalanan saya sebagai seorang penulis begitu personal Allah hadikan hingga lahirnya karya demi karya. Begitu pun perjalananmu. Tidak usah dipaksakan sama. Karena setiap dari kita sudah Allah siapkan episode yang spesifik untuk masing-masing di antara kita.
“Kamu mungkin berkata: ‘saya sangat terpukul atas apa yang terjadi dalam hidup saya dan tidak mungkin bisa kembali ke kehidupan saya’. Tapi keimananmu kepada Allah cukup untuk membuatmu kembali pada hidupmu.”
It’s words! Kutipan Ustadz Nouman Ali Khan di Youtube ini benar-benar mencerahkan. Karena cukuplah hadirnya Allah dalam hati, maka harusnya hati kita tenang. Seharusnya begitu. Lantas kenapa begitu sulit? Bisa jadi karena Allah belum melapangkan hati kita. Allah belum mengizinkan karena bisa jadi diri belum meminta kepada Allah agar dilapangkan hati ini.
Kalaulah dibuat proses singkatnya, maka lebih kurang seperti ini:
Hati yang tersakiti > perlahan pulih > hingga akhirnya jernih.
***
Jangan Merugi Karena Beriman di Tepi
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS Al-Hajj : 11)
Video ketiga menceritakan tentang orang yang paling merugi karena beriman di tepi. Apa itu beriman di tepi? Cukup jelas dalam ayat tersebut. Saat dapat hal baik, maka diri dengan mudah beriman. Tapi jika mendapat musibah, hati dengan mudah berpaling. Dan Allah menegaskan itulah kerugian yang nyata, di dunia dan akhirat. Semoga itu bukan kita.
Hadirnya musibah dan bagaimana cara kita meresponnya adalah ujian iman. Apakah kita semakin beriman atau malah berpaling. Dan kita juga harus dengan lapang hati menerima bahwa setiap dari kita punya ujiannya masing-masing. Tidak usah membandingkan siapa yang paling menderita atau yang paling kuat. Karena Allah Maha Tahu dengan begitu spesifik untuk setiap hamba-Nya. Sepertinya lebaran yang terpaksa tidak pulang kampung, apakah benar dirimu yang paling pantas merasa bersedih?
Ujian keimanan setiap dari kita pasti berbeda, maka tidak usah dipaksakan sama. Kita hanya perlu untuk bercerita, terbuka, dan memetik makna.
#MatrikulasiNAKIndonesia.