Cerita perjalanan ini akan saya mulai dari Masjid Jogokariyan. Salah satu masjid favorit yang saya datangi jika singgah ke Jogja. Mungkin bukan hanya saya saja. Tapi juga sebagian masyarakat yang tahu tentang sejarah dan kontribusi masjid ini. Salah satu yang terbaru adalah di event Muslim United yang “digagalkan”, Masjid Jogokariyan siap hadir untuk menjadi pengganti venue-nya.
Masjid Jogokariyan memang berkesan. Pun sama dengan perjalanan kali ini. Seolah-olah Allah ingin menyampaikan pesan kepada kami, pengurus #IndonesiaTanpaJIL yang menyimak khutbah Jumat. Dr Okrisal Eka Putra, Lc, M.Ag dalam khutbahnya menyampaikan pesan yang berkaitan tentang ghazwul fikr (perang pemikiran). 3T yang beliau sampaikan adalah:
Tasykik : menimbulkan keraguan. Contoh : apakah hanya Islam agama yang paling benar? Bagaimana dengan orang kafir yang berbuat baik? Boleh dong masuk surga.
Tahrif : Menafsirkan sesukanya. Contoh : jilbab itu tidak wajib. Yang wajib adalah berpakaian sopan.
Talbis : mencampur aduk yang haq dan batil. Contoh : tidak masalah pemimpin kafir yang penting tidak korupsi.
Masih banyak strategi lain dari perang pemikiran. Perbanyak saja membaca, niscaya kita akan melihat bahwa musuh Islam itu nyata. Entah apa maksudnya, konten khutbah ini sangat berkaitan dengan peran dakwah Indonesia Tanpa JIL. Semoga inilah tanda Allah meridhoi pertemuan ini, Silatnas ITJ 4.0. Kepada ITJ Jogja, terima kasih sudah menjadi tuan rumah yang istimewa.
***
“Bahayanya, banyak yang hijrah tapi pengen in frame”
Kutipan ini saya catat dari Randi Iqbal. Dulunya adalah Koordinator Chapter ITJ Depok yang kemudian melanjutkan dakwahnya dengan mendirikan Ghuroba Youth Crew, komunitas hijrah anak muda di Depok. Tidak perlu bandingkan dengan komunitas hijrah di kota lain. Karena hadirnya gerakan dakwah, apapun istilahnya, bukanlah untuk saling membandingkan mana yang lebih baik. Melainkan sebuah upaya bagaimana cara kita menebarkan manfaat terbaik.
Talkshow pembuka malam ini mengundang para tetua ITJ. Selain Randi Iqbal ada juga Gatse dan Ade Chandra sebagai mantan korpus ITJ plus Anila Gusfani dari perspektif perempuan yang aktif di ITJ sejak dulu.
Dari Uni Anil, sapaan akrab Anila Gusfani, saya menangkap pesan mendalam.
“Kita di sini bukan nyari info kajian atau referensi bacaan. Kita di sini mau perang. Makanya ayo upgrade diri dengan banyak baca.”
Benar bahwa komunitas dakwah adalah tempat yang nyaman untuk saling mengingatkan. Tapi tidak semua komunitas punya tujuan spesifik yang sama. Dengan perbedaan nama, tentu beda pula tujuannya. Walaupun pada dasarnya tujuan utama kita adalah menabung amal menuju surga. Tapi sekali lagi, peran-peran yang kita hadirkan untuk umat dari setiap gerakan pasti berbeda. Indonesia Tanpa JIL tidak akan sama dengan Indonesia Tanpa Pacaran, Punk Muslim, Shift Pemuda Hijrah, Peduli Jilbab atau gerakan-gerakan dakwah lain. Tidak akan sama. Maka sekali lagi, tak perlu saling membandingkan mana yang paling mulia. Pilih saja mana yang paling sesuai dengan hatimu dan cocok kontribusinya dengan peran terbaikmu.
Indonesia Tanpa JIL saja dari namanya sudah mencerminkan “perang”. Lebih tepatnya adalah perang pemikiran. Lawan utamanya adalah Jaringan Islam Liberal yang menyuarakan narasi sesat seperti sekuler, pluralisme, dan liberalisme yang biasa disingkat dengan SEPILIS. Anak-anak pemikirannya pun sudah banyak beredar. Tokohnya pun juga dengan mudah ditemukan. Walaupun kini, 8 tahun ITJ lahir, Jaringan Islam Liberal tidak lagi eksis dengan nama yang serupa. Tapi jangan senang dulu. Nama boleh berubah, tapi gerakan mereka tetap ada. Kini mereka berlindung dibalik-balik nama semu. Tidak percaya? Baca saja di halaman “tentang kami” di IslamLib.com dan menu lainnya di web tersebut. Ada banyak kejanggalan yang akan kamu temukan.
Kelihatan, mereka (dan lawan Islam lainnya) seperti terstuktur rapi. Tapi tenang saja, jangan merasa inferior dengan gerakan mereka. Sejatinya mereka sudah kalah. Tapi kembali, jangan senang dulu. Teruslah berjuang. Perbanyak ilmu. Ngaji lagi. Buku yang ditulis oleh para aktivis Indonesia Tanpa JIL bisa kamu baca. Beberapa di antaranya adalah karya dari Ustadz Akmal Sjfaril seperti Islam Liberal 101 dan Ideologi Delusional.
Dari Gatse, saya menangkap pesan menarik.
“Jangan bandingkan tokoh JIL dengan tokoh Islam. Jangan juga lawan mereka di social media dengan jawaban-jawaban ala ilmiah.”
Apa maksud pesan ini?
Pertama, sesungguhnya tidak sebanding kita membandingkan tokoh Islam dengan para penyebar Islam Liberal. Karena ya memang tidak sebanding saja. Bahkan bisa dikatakan tidak beradab. Bagaimana bisa kita membandingkan dua hal yang tujuannya saja sudah berbeda. Yang satu merusak Islam, yang satu memperjuangkan Islam.
Kedua, tak perlu lawan mereka dengan jawaban ilmiah di social media. Kenapa? Apakah kita tidak bisa menjawab? Bukan semata-mata karena itu. Karena sesungguhnya narasi sesat mereka tidak bisa dibalas dengan komprehensif dalam 140 karakter di Twitter. Lawan saja seadanya dan secukupnya. Bahkan sesekali lawan saja dengan lucu-lucuan. Jangan jadikan mereka seolah-olah orang yang pintar, padahal sejatinya bukan.
Masih dari Gatse, saya mengemas ulang pesannya.
“Mereka dikasih ganjaran uang, wajar gerakannya cepat. Tapi kita dikasih ganjaran surga, tapi masih malas-malasan.”
***
Dulu pas tahun 2017, saya pernah ikutan Future Leader Summit di Semarang. Singkatnya, di conference tersebut ada beberapa pembagian cluster. Digital, education development, science technology, urban environment, tourism, dan creative industry. Tujuan pembagian cluster tersebut agar setiap peserta yang hadir bisa mendapatkan hal sesuai dengan kebutuhannya dan kelak berkontribusi sebaik-baiknya di bidang yang dia pilih.
Baca juga : Antara FIM dan FLS, Jalan atau Tujuan?
Di Silatnas ITJ 4.0 ini pun sama. Ada focus group discussion yang dibagi dengan 4 divisi utama di Indonesia Tanpa JIL. Networking, kaderisasi, riset, dan creative campaign. Saya memilih cluster riset.
Pembuka yang apik dari Ustadz Akmal Sjafril di FGD cluster riset.
Di Sekolah Pemikiran Islam, ada riset sederhana dari peserta. Mengambil dari nasihat Umar bin Khattab tentang ayah yang durhaka kepada anak. Sejatinya ada 3 hak anak atas ayahnya. Mencarikan ibu yang baik, memberi nama yang baik, dan mengajarkan Quran. Riset ini mengambil data dari sebuah perusahaan dengan responden ayah muda di bawah 40 tahun. Dan hasilnya adalah sebagian besar baru terpenuhi hak atas nama yang baik. Sedangkan dua lain masih terlupakan.
Apa insight dari prolog ini?
Pertama, coba perhatikan asal mula penelitian ini. Mengambil kegelisahan dari nasihat Umar bin Khattab (dalil) yang bisa jadi itu termasuk concern si penulis. Kedua, mulai saja dari yang sederhana.
Kita harus mengubah cara pandang terhadap riset bahwa sesungguhnya riset itu tidak harus dilakukan oleh orang yang pintar-pintar banget. Mulai dari kegelisahan, bangun kemauan, ya udah jalankan.
Di pertemuan rutin alumni Sekolah Pemikiran Islam volume 19, Ustadz Akmal Sjafril membawakan sebuah topik menarik yang bisa berhasil dikemas dengan sederhana. Topiknya adalah, Selalu Ada yang Belum Digali : Mengubah Perspektif tentang Penelitian. Selengkapnya saya bahas di sini.
Apa intinya?
Belajarlah untuk mulai meneliti. Walaupun mungkin track record-mu bukanlah sebagai peneliti, jangan antipati dengan penelitian. Tetaplah belajar. Maka ini menjadi catatan penting dalam dakwah agar terkoneksi dengan lembaga riset. INSISTS contohnya. Karena di luar sana, musuh Islam berhasil merangkul “objek” mereka dengan kebenaran semu. Sedangkan banyak dari kita yang terhenti pada dakwah untuk menghakimi, belum merangkul.
Hadirkan pendampingan. Tingkatkan penelitian. Sampaikan dengan narasi yang cerdas nan mengagumkan. Ini peran penting yang menjadi senjata perang pemikiran.
***
Tempat penginapan kami tidak jauh dari tempat wisata bernama Tlogo Muncar. Sederhananya, ini adalah air terjun. Tapi entah karena alasan apa, debit air saat itu kecil. Air yang turun dari tebing atas tidak sederas air terjun pada umumnya. Tapi tidak masalah. Pemandangannya tetap indah. Ditambah dengan orang-orang yang membersamai membuat perjalanan ini penuh hikmah.
Di perjalanan ini, walau sambil bercanda penuh tawa, pengajian seadanya pun tetap ada. Diskusi penuh hikmah. Salah satu topik yang sempat dipantik oleh gurunda Ustadz Akmal Sjafil adalah tentang persoalan dakwah kekinian. Tak perlu lah saya tuliskan semuanya di sini. Tapi kamu bisa membaca kembali tulisan saya tentang 2019 Tahun Politik, 2020 Tahun Dakwah (?) Terkhusus di tabel yang berisikan konten, da’i, dan mad’u.
***
Ngozi a.k.a Ngobrol Bergizi adalah salah satu konten dakwah kreatif dari Indonesia Tanpa JIL. Talkshow santai tapi membahas hal-hal bergizi terkhusus dakwah. Sejauh ini sudah berjalan beberapa video. Dan malam itu, Ngozi live dengan menghadirkan tamu dari 11 ITJ Chapter yang hadir. Mulai dari Malang, Surabaya, Semarang, Jogja, Solo, Bandung, Depok, Bekasi, Bogor, Jakarta, dan paling jauh dari Samarinda. Setiap dari perwakilan chapter yang hadir berbagi perpsektif pengalaman dan pesan mereka untuk ITJ. Tentu, setiap chapter memiliki kesan dan pengalaman yang berbeda. Apalagi setiap chapter pasti punya “budaya” dan “masalah” sendiri. Teringat akan kalimat di diskusi cluster.
“Masalah Jawa bukan berarti masalah Sumatera. Tetap harus ada concern local tanpa mengabaikan nasional.”
Maksudnya apa? Ambil contoh Islam Liberal yang berkedok Islam Nusantara. Isu ini hanya berlaku di Jawa saja. Di luar Jawa seperti Sulawesi dan Sumatera tidak akan laku. Apalagi Islam Nusantara yang terkesan Jawa-sentris. Lagi pula untuk apa ada dimuncul-munculan Islam kedaerahan.
Banyak yang bernarasi jangan ikut-ikut Arab, eh tapi malah ikut-ikut barat. Terus pas ada isu putri kerajaan Arab tidak berjilbab, malah dibela-belain. Lah katanya jangan ikut-ikut Arab. Tapi kok bela-bela jilbab tidak wajib. Mari budayakan khas nusantara dengan kebaya. Begitu katanya. Nah hayo, bingung sendiri kan?
Contoh lain, kenapa R.A Kartini begitu diagung-agungkan, tapi nama Rahmah El-Yunisiah hilang ditelan zaman? Hayo kenapa? Masih ada lagi. Kenapa Pramoedya Ananta Toer begitu terkenal tapi nama Buya Hamka hanya dikenal sebagai novelis? Nah, nah penasaran kan? Hal begini-gini nih yang dibahas di Indonesia Tanpa JIL dan Sekolah Pemikiran Islam.
Kembali ke talkshow ITJ Chapter tadi. Dari setiap chapter, saya mendapatkan insight yang menarik. Walaupun tidak semuanya tertulis. Tapi ya kembali, setiap chapter punya “budaya” dan “masalah” sendiri. Misalkan ITJ Malang yang didominasi anggotanya adalah akademisi, maka aktivitas utamanya adalah kajian ilmiah dan bedah buku. Tentu tidak bisa disamakan dengan ITJ Samarinda yang sempat vakum dan baru aktif kembali. Beberapa kalimat menarik yang sempat saya catat dan kemas menjadi insight adalah :
“Umur usia kita tidak sama dengan umur perjuangan. Lantas sejauh ini, berapa umur perjuangan kita?”
– ITJ Tangerang
“Argumen terkuat kita adalah istiqomah. Ada yang pergi, ada yang datang. Ada yang menyeberang dan berlawanan. Ada yang nyinyir tapi ada juga yang luluh. Maka istiqomahlah dalam dakwah.”
– ITJ Bandung
“Semoga kita bisa terus maju dan berkembang. Karena banyak gerakan dakwah yang sempat besar tapi perlahan hilang.”
– ITJ Bekasi
“Jangan mencari-cari alasan untuk bingung di jalan dakwah yang mana. Karena peluang dakwah itu masih terbuka lebar. Tinggal kita mau ambil peran di mana.”
– ITJ Depok
Pesan-pesan yang saya tulis ulang tadi diambil dari 4 chapter berbeda. Entah mereka masih ingat atau tidak, tapi bagi saya ini pesan yang berkesan. Umur perjuangan, istiqomah, maju berkembang, dan peluang dakwah.
***
Silatnas ITJ 4.0 memutuskan Randi Iqbal sebagai koordinator pusat ITJ setelah sebelumnya dipimpin oleh Ustadz Akmal Sjafil. Sosok murid yang menggantikan sosok guru. Dua sosok yang pastinya punya pendekatan yang berbeda dan tidak perlu disama-samakan. Tapi yang sama-sama saya yakini adalah, komitmen mereka dalam dakwah ini. Semoga Allah senantiasa meluruskan niat, melapangkan hati, menguatkan pundak, dan menggerakkan kaki dalam dakwah ini.
Jika ada banyak pilihan kesibukan, semoga dakwah adalah salah satunya. Jika ada banyak jalan jalan menuju surga, semoga dakwah adalah pilihannya. Dan jika ada banyak pertemuan, semoga dakwah adalah pertemuan terbaiknya. Jika suatu saat nanti kita dipanggil kembali oleh Allah apa sekiranya yang memantaskan kita untuk masuk ke dalam surga, semoga Indonesia Tanpa JIL adalah jawabannya.
***
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul atas dasar kecintaan hanya kepada-Mu, bersua atas dasar ketaatan kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (di jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syari’at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya,
Ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu.
Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amiin.
(Saya sarankan, dengarkan doa rabithah ini dengan untaian lirik Izzatul Islam – Doa Rabithah.)
***
Dari Jogokariyan, kembali ke titik Jogokariyan. Semoga Masjid ini mampu menularkan spirit dakwah keumatan. Termasuk kepada kami, Indonesia Tanpa JIL, dan juga kepada kamu yang membaca tulisan ini.
“Lu berada di jalan dakwah bukan berarti lu orang yang sempurna.”
Randi Iqbal, Koordinator Pusat Indonesia Tanpa JIL
*Untukmu yang ingin update terkait Indonesia Tanpa JIL, bisa follow IG @TanpaJIL. Sedangkan jika kamu ingin bergabung dengan ITJ Chapter, silakan follow saja ITJ chapter terkait dan tanya info selengkapnya.