Akhir pekan itu saya berkunjung ke Kebun Al-quran, Depok.
“Kebun Al-quran? Maksudnya gimana tuh? Kebun yang di dalamnya ada pohon Al-quran?”
Menarik nama yang diberikan untuk lokasi ini. Kalau kamu ketik di Google Maps, nama lainnya yang akan kamu temukan adalah Start Up Centre. Sekolah kehidupan yang membumikan Al-quran bukan hanya sebagai bacaan, tapi solusi untuk kehidupan. Agriquran dan I-Grow adalah beberapa hasil nyatanya.
***
Namanya Muhaimin Iqbal. Ini adalah pertemuan kedua saya setelah terakhir kali bertemu di akhir 2018. Saat itu di Masjid Balaikota Depok, saya membersamai sebagai moderator di mabit yang dilaksakan oleh Shafa Community. Kali ini, saya hanya sebagai penyimak saja. Dan seperti biasanya, nasihat yang beliau sampaikan selalu mencerahkan. Berbicara tentang kehidupan, khususnya pertanian dengan worldview Islam dan tadabbur Al-Quran.
Coba deh kamu ketik nama Muhaimin Iqbal di Google, lalu baca tulisan di blognya geraidinar.com. Bisa juga ketik nama Muhaimin Iqbal di Youtube, lalu dengar kajian yang disampaikannya. Insyaallah, kamu akan dapatkan insight dan perspektif yang berbeda.
***
“Bacaan kita sama, tapi basyirah kita berbeda”
Saya datang telat saat itu. Kalimat ini adalah salah satu kalimat menarik yang saya tangkap saat belum seberapa lama saya duduk. Apa maksudnya bacaan dan basyirah?
Sekarang kita baca Al-quran. Dulu, para ulama juga sama-sama membaca Al-quran? Tapi kenapa hasilnya berbeda? Ya, itulah yang dimaksud basyirah, penglihatan yang mendalam. Ulama dahulu Allah izinkan mampu melihat solusi dari Al-quran. Tapi kita, hanya sebagai bacaan.
Coba baca pelan-pelan QS An-Nuur ayat 35, apa yang kamu pahami dari ayat tersebut?
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS An-Nuur : 35)
Sekarang lanjut baca QS Yusuf ayat 111. Baca baik-baik.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf : 111)
Bahwa Al-quran bukanlah cerita yang dibuat-buat. Al-quran menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Tapi nyatanya, seringkali kalimat “menjelaskan segala sesuatu” kita ragukan bukan?
“Ah, Al-quran mah kitab masa lalu. Nggak mungkin menjelaskan masalah masa sekarang.”
Kalimat senada seperti itu seringkali disampaikan. Mungkin tidak secara sadar oleh kita karena masih ada secuil iman dalam hati kita. Tapi musuh Islam sering menyampaikan dengan narasi seperti tadi. Kenapa? Karena selain itulah “misi” mereka, sekaligus menjadi kritikan membangun bagi kita. Karena kita sebagai Muslim belum menggali sebenar-benarnya solusi dari Al-quran sehingga gagap ketika menyampaikan kepada sesama.
Kembali lagi ke QS An-Nuur ayat 35. Mungkin bagi kita ayat tersebut hanya sekedar informasi tambahan. Tapi bagi seorang ulama masa dahulu bernama Syeikh Amir Hasan yang diberi gelar Sunan Nyamplungan (anak dari Sunan Muria), ayat tersebut mampu dipahaminya sebagai sebuah solusi. Hingga ditemukanlah minyak dari biji nyamplung yang kualitasnya tidak jauh beda dengan minyak zaitun.
Begitulah kisah singkat yang disampaikan oleh Ustadz Muhaimin Iqbal. Saya tidak begitu menyarankan untuk membaca kisah Sunan Nyamplungan di internet secara bebas karena bias makna. Tapi setidaknya, penyampaian dari Ustadz Muhaimin Iqbal bagi saya pribadi cukup memberikan insight. Kembali seperti kutipan awal tadi. Bacaan kita sama, tapi basyirah kita berbeda.
***
Naga gulung kelapa. Pesan bermakna dari Sunda. Maknanya lebih kurang begini.
Seperti kera yang tidak tahu cara membuka kelapa. Begitulah kita dengan Al-quran saat ingin menyelesaikan masalah kehidupan.
Kera tahu kelapa bisa dia makan, tapi dia tidak tahu bagaimana cara membukanya. Kita tahu Al-quran adalah solusi kehidupan, tapi kita tidak tahu bagaimana cara membacanya sebagai solusi kehidupan. Inilah tantangan bagi kita. Membumikan Al-quran sebagai solusi kehidupan.
Ustadz Muhaimin Iqbal melalui “laboratorium” bernama Kebun Al-quran sedang berikhtiar atas upaya tersebut. Bagaimana dengan kita? Apa usaha kita? Akankah sama dengan kera dan kelapa?
***
Sebagian besar dari kita menyukai cerita. Karena cerita adalah bentuk paling mudah untuk memahamkan suatu pesan. Karena itulah banyak pesan dan tulisan berbentuk cerita lebih disukai dibandingkan dengan tulisan yang kaku. Maka tulislah pesan kebaikan dengan format cerita. Berceritalah.
Kita suka dengan cerita, tapi kenapa tidak suka dengan sejarah?
Betul juga. Kenapa kita tidak suka dengan sejarah? Padahal sejarah adalah cerita. Jawaban dari Edgar Hamas ini masuk akal.
“Sejarah terlanjur disajikan seperti jagung mentah. Dan @Gen.Saladin adalah upaya untuk menyajikan sejarah seperti jasuke, jagung susu keju.”
Edgar Hamas namanya. Akhirnya kami bertemu juga. Setelah dulunya saya hanya membaca tulisan di IG @Gen.Saladin, membaca buku Belajar dari Negeri Para Nabi dan mereviewnya, akhirnya saya bertemu juga dengannya secara lansung. Beliau, calon ulama masa depan.
Dari Ustadz Muhaimin Iqbal, berpindah ke Edgar Hamas. Jika Ustadz Muhaimin Iqbal lebih banyak bercerita tentang pertanian, Edgar Hamas lebih banyak membahas sejarah, peradaban, dan juga ada pertanian.
Atas apa yang dia sampaikan, ada banyak hal yang saya catat. Misalkan tentang seseorang yang kagetan dengan sejarah.
Orang yang tidak paham dengan sejarah maka dia akan kagetan dengan masa sekarang. Contoh sederhana adalah bagaimana melihat Palestina. Kini, kita melihat Palestina sedang terjajah. Orang yang yang tidak paham sejarah akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki peluang untuk berkontribusi membebaskan Palestina. Tapi orang yang paham dengan sejarah tidak begitu. Mereka mengupas sejarah masa lalu bahwa Umar bin Khattab dan Shalahudin Al-Ayyubi juga sama-sama melihat Palestina dalam kondisi terjajah, dan mereka lah yang membebaskan Palestina.
Maka benarlah, penting bagi kita untuk belajar sejarah. Walaupun ya mungkin, sejarah terlanjur disajikan dengan jagung mentah, tapi itulah tantangan bagi kita. Dan di jalan itu pula @Gen.Saladin mengambil perannya. Menyajikan sejarah dengan lebih membumi dan asyik dibaca. Tapi ya kita sebagai pembelajar pun jangan terlalu manja. Jangan sampai karena tidak ada gambar dari sebuah buku jadi enggan membaca. Baca perlahan, bangun kebiasaan, hingga akhirnya ketagihan. Khususnya lagi Sirah Nabawiyah.
Kenapa penting belajar sejarah? Karena dengan mengupas sejarah kita bisa melacak masa depan. Karena imajinasi masa depan kita akan tergantung dengan bayangan masa lalu. Jika kita mampu melihat fenomena kejayaan di masa lalu, maka kita pun bisa menghadirkan kembali kejayaan itu di masa kini dengan menghadirkan sebab-sebab kejayaan. Bukan tiba-tiba plek kejayaan hadir begitu saja. Hadirkan sebab adalah kuncinya. Atas pembahasan ini, buku Model Kebangkitan Umat hasil terjemahan dari Ustadz Asep Sobari bisa menjadi referensi.
Apa kaitannya antara pertanian, sejarah, dan peradaban?
Tentang sejarah pada masa Rasulullah. Pengetahuan bagi kita, jika penduduk Mekah dikenal sebagai pedagang, maka penduduk Madinah adalah petani. Dan kurma Ajwa adalah salah satu produk unggulan yang menjadi bargaining position penduduk Madinah di mata dunia pada masa itu.
Begitu pula dengan zaitun di Alhambra, Spanyol. Walupun kini umat Islam tiada lagi di sana, tapi warisan akan manfaat umat Islam masih dirasakan sampai sekarang.
Tentang sejarah peradaban dan masa depan. Memiliki mindset sebagai petani visioner sungguh memberikan banyak manfaat. Kita menanam saat ini, mungkin tidak akan mendapatkan buahnya langsung. Bisa jadi buah itu dimakan oleh hewan. Bisa juga dicuri oleh sesama manusia. Atau bisa jadi dinikmati saat kita tiada lagi di dunia. Tapi di sanalah pahala akan tetap kita dapatkan. Pahala mengalir dari pertanian yang yang kita tanam.
Begitu pula dengan para pejuang kebaikan yang tiada lelah menebar kebaikan. Mereka paham akan pesan Nabi yang lebih kurang maknanya begini.
“Andai besok kiamat dan di tanganmu ada benih, maka tanamlah.”
Kita mungkin tidak merasakan, tapi generasi masa depan yang merasakan. Al-quran, pertanian, dan peradaban. Sungguh mencerahkan.