Saat Jamaah Masjid Berkata, “Bagaimana Jika Kami Tidak Dihargai?”

Pertanyaan ini diajukan oleh anak muda di sesi diskusi. Ternyata usianya masih setingkat SMA. Saya pastikan itu di luar forum diskusi. Tapi pertanyaan ini menarik sekali. Fenomena yang sering kita lihat dan rasakan. Takmir masjid tak jarang berkata kepada anak muda yang ingin menghadirkan kebaikan dan perubahan dengan kalimat,

“Kamu bisa apa? Kamu baru lahir kemarin.”

Kesal sekali saat respon seperti itu didapatkan. Memang kalangan tua banyak pengalaman. Tapi bukan berarti segala pengalamannya menjadi kebenaran, bukan? Sedangkan anak muda, memang masih minim pengalaman. Tapi di tangan anak mudalah adanya harapan perubahan.

Tidak. Saya tidak ingin mengadu domba antara kalangan muda dan kalangan tua. Bukankah kita bisa bertemu, saling terbuka, diskusi, dan berkolaborasi?

***

Ahad, 17 Oktober 2021. Berlokasi di Hotel Al Madinah, IKADI Kampar dan Komunitas Cinta Sedekah mengadakan Sharing Session “Pemuda Aktif, Masjid Bergerak”. Saya diberikan kesempatan sebagai moderator saat itu. Tulisan ini saya hadirkan sebagai notulen yang semoga bisa diambil manfaatnya.

Pembicara pertama adalah Ustadz Jhon Afrizal. Saya sudah kenal beliau sejak lama. Sejak ayah masih hidup, mereka berteman dekat. Dan saat mendapat kesempatan untuk memoderatori, momen ini berkesan sekali. Beliau bercerita berbagai pengalamannya. Mulai dari menjadi takmir di Islamic Center, masjid lain yang tak terhitung entah berapa, yayasan, hingga komunitas swadaya.

Menjadi penggerak memang tidak mudah. Apalagi jika ingin menghadirkan perubahan dan menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, banyak di antara kita yang nyaman menjadi apa adanya. Ya sudah, jalani saja sebagaimana mestinnya. Padahal menjalani apa adanya itulah yang membuat orang bosan dan tak bertumbuh. Hanya di situ-situ saja.

Pernah suatu hari saat menjadi takmir di suatu masjid beliau memberikan saran untuk memberikan pelayanan bagi musafir. Setidaknya dispenser dan makanan. Saran ini ditolak oleh takmir lainnya. Alasannya klise. Coba tebak apa?

“Uangnya dari mana?”

Singkat saja beliau menjawab,

“Dari Allah.”

Alhasil, beliau bergerak saja secara mandiri. Mencari bantuan ke jamaah lain. Pak A bisa donasi apa? Bu B bisa donasi apa? Singkat cerita, pelayanan untuk musafir pun bisa diselenggarakan. Berbagai ucapan terima kasih pun disampaikan oleh musafir ke takmir. Dan coba tebak, apa keajaiban yang terjadi? Yang semulanya infak per pekan hanya 2 juta, bisa melonjak jadi 17 juta! Masyaallah! Kenapa bisa? Tentu itu semua kuasa Allah. Bukti dari keajaiban sedekah. Tapi dari sisi logikanya kita melihat hal sederhana. Saat seseorang merasakan manfaat, maka dia bersedia memberikan lebih.

Begitu pula dengan pelayanan dari takmir masjid. Wajar saja jumlah jamaah segitu-segitu aja. Wajar saja infaknya segitu-gitu aja. Toh uang kasnya ditahan di rekening bank. Padahal masjid bukan bank. Harusnya uang itu didistribusikan seluas-seluasnya. Karena apabila umat merasakan manfaat, kelak mereka pun tidak segan-segan memberikan lebih.

Paradigma inilah yang harusnya harus kita benahi bersama. Termasuk persoalan rokok. Saya pribadi orang yang sangat anti dengan rokok. Apalagi dengan perokok yang zalim. Tidak memperhatikan kenyamanan orang di sekitarnya. Mirisnya, tidak sedikit masjid yang menyediakan asbak rokok. Dalihnya sederhana aja. Jamaah di sini sulit diajak ke masjid kalau tidak merokok. Tapi mari kita gunakan logika sederhana.

Saya sudah menulis salah satu buku berjudul Kita adalah Korban bersama Komnas Pengendalian Tembakau. Untuk membacanya, silakan download di sini.

Coba pergi ke mal deh. Pernah melihat orang merokok sembarangan? Tidak ada. Bandingkan di masjid. Mana yang lebih mulia mal atau masjid? Nyatanya, kita lebih “memuliakan mal” dengan taat tidak merokok daripada di masjid.

Ohya, Ustadz Jhon Afrizal baru saja menyelesaikan naskah buku berjudul “Semua Berawal dari Masjid”. Saat mendengar kabar ini, saya bahagia sekali. Akhirnya, satu per satu bertambah juga penulis di Kampar ini.

***

Lanjut pembicara kedua dan ketiga. Hendra dan Ahmad Usman dari Komunitas Cinta Sedekah. Merekalah yang mengatur distribusi donasi berupa beras kepada dhuafa. Berdasarkan ceritanya, sekitar 30an karung beras didistribusikan per bulan. Hanya saja angka ini tidak merata. Kadang naik, kadang turun. Di berbagai daerah pun tidak sama rata. Misal di Bangkinang stoknya aman, di Salo stoknya kurang. Inilah tantangan dakwah di masyarakat. Memastikan bantuan tersampaikan tetap stabil, tepat waktu dan tepat sasaran.

Komunitas Cinta Sedekah bukanlah gerakan yang berbasis dari masjid. Komunitas ini hadir karena sering berkumpul dan bersdiskusi. Kemudian muncullah ide, proyek kebaikan apa yang bisa dihadirkan? Donasi beras adalah salah satunya.

Sedekah beras ini harusnya bisa dijadikan program tetap oleh masjid sekitar. Coba saja takmir masjid mendata ada berapa warganya yang kurang mampu. Saya coba hitungan kasarnya aja ya.

Anggaplah ada 10 KK dengan anggota 5 orang per keluarga. Berarti total ada 50 orang.

Perkiraan porsi per makan, 100 gram. Makan 3x sehari, berarti 300 gram x 50 orang = 15 kg / hari. Dikali 30 hari (per bulan) = 450 kg

Perkiraan harga beras per kg Rp 10.000. Totalkan 450 kg beras x Rp 10.000 = Rp 4.500.000

Mengumpulkan donasi warga sebesar Rp 4.500.000 per bulan harusnya bukanlah tantangan yang sulit. Apalagi jika jelas manfaatnya. Ada dokumentasinya, ada penerima manfaatnya. Dan bersyukur jika itu bisa menjadi wasilah dakwah bagi mereka. Tidak usah pilih-pilih penerima manfaat bahwa yang harus dapat bantuan harus yang sudah datang ke masjid. Tidak perlu. Itulah tugas masjid. Menyentuh mereka yang belum datang ke masjid. Donasi seperti ini adalah salah satu ikhtiarnya.

Pernah suatu hari, Ustadz Diat Kardiat selaku pembina Komunitas Cinta Sedekah mendapatkan pengalaman berkesan saat membantu warga yang membutuhkan. Saya tidak tahu pasti, apakah beliau langsung yang memberikan atau mendengar cerita dari saudara yang mengantarkan. Saat itu, ada seorang warga yang memang sedang butuh beras untuk makan sehari-hari. Bantuan pun datang. Penerima tersebut menangis terharu dan mendoakan yang tulus. Bukankah itu hal yang indah? Karena sesungguhnya yang paling kita butuhkan bukanlah harta yang bertambah secara jumlah, tapi doa tulus yang entah bagaimana caranya Allah mengabulkan.

Tentang beliau ini, saya juga punya pengalaman yang cukup personal. Sebagai perantau dari Garut ke Kampar, dan kini akan kembali lagi ke Garut, pembawaan Sunda beliau masih khas sekali. Pembawaan yang lembut dan nasihat yang teduh. Saya pernah menulis sebelumnya di Instagram. Baca di sini.

***

Pembicara terakhir adalah Ustadz Jarlisman. Pendiri dan penggerak dari Komunitas Kampar Berbagi. Komunitas yang hadir dari gowes lalu berubah menjadi komunitas sosial. Agenda utamanya adalah bantuan berupa sumur bor dan listrik kepada warga dhuafa. Hingga kini sudah menyalurkan 86 sumur dan 19 listrik. Termasuk membangun 6 rumah layak huni dan 2 perahu dakwah untuk pelosok Kampar.

Saya baru kenal beliau di tahun ini sejak pulang ke kampung halaman di masa pandemi. Ditelisik lebih dalam, ternyata beliau teman dari masa sekolah dengan Ustadz Syamsuatir. Pernah saya ceritakan di Instagram. Sama-sama penggerak Komunitas Kampar Berbagi. Berkah sekali pertemanan mereka. Lebih jauh, ternyata beliau adalah anggota ibu saya dulu di kantor. Hanya beda daerah saja. Entahlah, titik demi titik kebaikan itu Allah hubungkan dengan cara yang tak diduga.

Beliau berbagi pengalaman bahwa jika ingin merasakan dakwah, jangan hanya di kota, tapi juga di pedalaman desa. Berdasarkan pengalaman beliau, ada sekitar 20 desa di Kampar yang tidak mendapat sentuhan dakwah berupa kajian rutin. Pun ada, itu hanya khutbah Jumat sekali sepekan. Itu pun orang yang sama dengan topik yang sama.

Apakah ini masalah atau peluang dakwah? Apakah ini tanggung jawab pemerintah atau ulama? Atau mungkin, ini tanggung jawab kita semua. Jika memang kita tidak bisa turun ke desa, setidaknya donasi yang diberikan kepada penggerak dakwah di daerah bisa menjadi perpanjangan tangan amal kita semua. Kita hanya perlu terhubung agar bisa bermanfaat lebih luas. Sesederhana itu. Bukan malah berusaha untuk menjadi lebih baik sendiri. Atau mementingan untuk menjadi kelompok yang berkontribusi nomor satu. Tidak perlu.

Ada satu cerita menarik dari pengalaman beliau yang berkesan saya dengarkan. Beliau bercerita bahwa semasa kuliah sekaligus menjadi gharim masjid. Mendengar kata gharim masjid, seringkali orang melihat dengan pandangan merendahkan. Kacamata negatif. Tentu ini menjadi bahan kritikan bersama. Satu sisi, banyak takmir masjid yang mencari gharim hanya untuk menjaga masjid sehingga kualitas yang didapatkan hanya sebatas itu saja. Tapi coba perspektifnya diubah. Mencari gharim bukan hanya sebatas penjaga, tapi manajer masjid. Lebih jauh, menjadi CEO Masjid. Insyaallah, menjadi lebih makmur. Salah satu ikhtiar untuk hal tersebut sudah dilaukukan oleh @marbotpride

Nah, ada kalimat menarik dari beliau.

“Jangan malu menjadi gharim masjid. Karena saat itu kita dekat dengan masjid. Bayangkan, 4 tahun menjadi gharim masjid, tidakkah ada satu pun doa yang Allah kabulkan untuk kita?”

***

Sesi materi selesai. Dilanjutkan dengan diskusi oleh para peserta yang datang dari berbagai daerah. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan pembuka tadi.

“Apa yang harus kami lakukan saat ingin berbuat kami tidak dihargai?”

Beberapa jawaban dari pemateri ini semoga bisa menjadi pencerahan. Saya coba simpulkan dengan bahasa sendiri.

Pertama, datangi pengurus. Adakan diskusi dari hati ke hati. Masalahnya ada apa? Apakah memang karena masih muda dan tidak layak mendapat kesempatan? Atau ada masalah tersendiri yang menjadi kacamata kuda bagi takmir masjid. Contohnya saja, imam yang sudah tua, bacaan sudah tidak tepat lagi. Dengan dalih sudah senior dan berpegalaman, apakah pantas hal tersebut dibudayakan? Nah, coba pikirkan siapa kelak yang menanggung dosa dari bacaan yang tidak lagi tepat?

Kedua, lakukan bagian yang tidak bisa. Karena faktanya, tidak semua hal bisa dilakukan oleh takmir masjid. Media sosial, digital, dan desain grafis misalkan. Takmir masjid dengan usia tua tidak akan mudah memahami hal tersebut. Maka tawarkan bantuan yang mereka tidak bisa lakukan. Ingat bahwa Allah itu tidak menilai peran kita sebagai, tapi bagaimana kualitas peran kita saat diberikan kesempatan. Jadi, mau ditempatkan di mana saja mah bebas. Yang penting berkualitas dan diridhoi Allah.

Ketiga, berbuat saja, sekecil apa pun itu. Walau hanya menyapu masjid. Walau hanya membersihkan tempat wudhu. Jika memang itu ikhlas dan konsisten dilakukan, percayalah kelak suatu hari nanti mereka akan melihat dan menyentuh hatinya. Intinya, jangan mundur dan jangan keluar. Tetaplah dekat dengan masjid.

“Saat kita ingin mengadakan kegiatan berbasis masjid, bagaimana mendapatkan danaya? Dari siapa? Bagaimana cara meyakinan mereka? Karena seringkali penampilan kita sudah dipandang sebelah mata.”

Jika ini diajukan oleh takmir masjid, tentu bukan hal yang sulit. Takmir bisa langsung mengambil dari uang kas. Tapi bagaimana jika itu dari anak muda yang tidak punya akses ke sana?

Pertama, tawarkan ke takmir masjid. Kegiatan seperti apa yang dihadirkan? Memang, tidak pasti diberikan kucuran dana. Tapi setidaknya disampaikan terlebih dahulu. Tunjukkan rencana kegiatan seperti apa.

Kedua, usaha sendiri. Kumpulkan uang dari dana pribadi dan orang-orang sekitar. Tidak harus hanya dari tetangga sekitar sebenarnya. Apalagi di zaman digital. Kita bisa membantu orang dari mana saja tanpa memandang batas fisik. Gunakan social media. Setelah terkumpul berapa saja, tawarkan lagi ke takmir. Sampaikan “Pak, uang kami baru segini. Apakah bisa dibantu untuk melengkapinya?”

Ketiga, infak keliling setiap pekan. Sekilas mungkin semacam iuran RT. Tapi jika dilaksanakan oleh masjid dengan tujuan dan manfaat yang jelas, cara ini bisa dilakukan. Merangkul warga yang belum datang ke masjid. Sambil berdakwah untuk mengajak ke masjid, semoga bisa jadi wasilah.

Keempat, celengan rumah. Masjid bisa menyediakan celengan di rumah warga. Di periode tertentu, celengan tersebut setorkan ke masjid untuk kegiatan tertentu. Cara ini bisa menjadi pendidikan juga ke keluarga untuk membiasakan sedekah dari rumah. Bisa juga memanfaatkan kesempatan sedekah subuh.

Kelima, optimalisasi potensi jamaah. Jika ada sumber daya yang dibutuhkan dan hal tersebut memang ada di jamaah, maka optimalkan potensi jamaah. Misalkan konsumsi. Ada jamaah yang buka usaha kue atau catering. Belilah kue dari mereka langsung. Jamaah merasa diuntungkan, masjid pun juga terbantu. Untuk urusan harga, ya itu bisa dinegosiasikan tersendiri.

***

Sebagai penutup.

Berkah harta di tangan orang berilmu. Bukan ilmu S1, S2, atau S3. Tapi ilmu bahwa mereka mengetahui. Mereka mengatahui apa manfaat dari sedekah. Bahwa sedekah itu menabung amal menuju surga. Karena nyatanya, banyak orang yang tidak tahu ilmu sesederhana itu. Banyak di antara mereka yang memandang bahwa sedekah itu berarti berkurang.

Jangan tanyakan saya dapat apa saat berbuat baik. Biarkan Allah yang membantu kita. Karena barangsiapa yang menolong agama Allah, maka kelak Allah akan menolong kita. Coba tadabburi QS Muhamad ayat 7.

Uang masjid harusnya bukan hanya sebatas uang pembangunan, tapi memakmurkan masjid. Masjid pun harusnya bukan hanya menenangkan, tapi juga mengenyangkan. Dapur masjid adalah salah satu ide kreatif yang bisa dihadirkan. Di beberapa masjid, ide tersebut sudah ada. Untuk memulainya di masjid sekitar, kita bisa menghadirkan gerakan sarapan bersama, atau makan siang Jumat berkah usai sholat Jumat. Atau berbagi makanan ke warga sekitar.

***

Saya Rezky Firmansyah, saat ini sedang menyusun naskah buku bertema Ide Dakwah Kreatif dari Masjid. Seperti judulnya, isinya adalah kumpulan ide dakwah kreatif yang bersumber dari masjid. Harapannya, buku ini bisa didistribusikan ke para pembaca terutama takmir masjid sehingga bisa menduplikasi berbagai idenya.  Tinggal contek aja. Tidak usah bingung lagi harus berbuat apa. Program apa yang bisa dihadirkan.

Bagi kamu yang mau punya ide kreatif silakan tinggalkan jawabannya di bit.ly/BankIdeKreatifMasjid

Dari Masjid, Kita Bangkit!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *