Sore itu di Gathering National TurunTangan, seorang pembicara yang berprofesi sebagai guru berpesan. Insigtnya begini.
“Relawan itu terus menerus berbuat baik. Hingga tanpa sadar dia menjadi pahlawan.”
Zahra Fajardini namanya. Kepala sekolah di SD Nizamia Andalusia School sejak 2008. Profil lengkapnya bisa cari di Google. Karena saya tak ingin terlalu memperkenalkan sosoknya, tapi tentang pesannya.
Relawan adalah pahlawan. Benarkah?
Jujur saja, saya selalu salut dengan mereka yang memilih jalur kerelawan sebagai jalan kontribusi kebaikannya. Muda dan tua, saya salut dengan mereka. Banyak jalan yang bisa ditempuh. Mulai dari terjun ke bencana, mengajar ke pedalaman, hingga menjadi relawan dalam kegiatan sosial. Investasi waktu, tenaga, dan pikiran mereka layak bahkan sangat layak diapresiasi.
Tapi di satu sisi, kadang saya ilfil dengan sosok relawan. Karena tidak sedikit dari mereka yang kacau dalam hidupnya. Aktivitasnya baik sih, tapi dengan dirinya sendiri belum selesai. Contoh :
- Kuliah berantakan, pembenarannya kuliah itu di dunia nyata
- Keluarga inti nggak terurus, pembenarannya orang banyak lebih penting
- Datang telatan, pembenarannya banyak urusan
- Merokok, pembenarannya “resikonya urusan diri sendiri”
Bisa jadi kamu punya kegelisahan tersendiri tentang mereka. Coba saja dibikin daftarnya sendiri. Kamu bisa punya daftar khusus tuh.
Bukan, ini bukan salah relawannya. Yang salah adalah pelakunya. Relawan bagi saya adalah pilihan hidup yang mulia. Dan saya salut dengan pilihan hidup mereka.
“Relawan bukan topeng pelindung pembenaran. Tapi pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.”
Karena banyak faktanya, mereka yang menjadi relawan begitu. Mencari pembenaran atas kesalahan yang mereka lakukan. Kesalahannya berulang-ulang pula. Lantas apakah dibiarkan begitu saja karena terlalu banyak kebaikan yang sudah dilakukan? Hmmm.
Melipatgandakan Dampak Kerelawanan
“Relawan bukan tujuan, baru persimpangan.”
Subhan Husein – Indonesia Mengajar
Kalimat ini bagi saya penuh makna. Apalagi bagi mereka yang terjun di Indonesia Mengajar akan merasakan bahwa keputusan mereka mengajar selama setahun di pedalaman atau pinggiran bukanlah tujuan, tapi baru persimpangan. Dan terbukti, usai episode hidup mereka di Indonesia Mengajar, tidak sedikit yang melanjutkan untuk membuat proyek kebaikan baru. Contohnya saja, Sabang Merauke yang didirikan oleh Ayu Sartika Dewi. Ada lagi Kebun Kumara oleh Siti Soraya Cassandra. Apa itu? Cari deh di Google.
Nah ini PR. Bagaimana pengalaman kerelawanan bisa menghadirkan proyek kebaikan selanjutnya? Termasuk konferensi, seminar, forum pemuda atau apa pun yang memberikan pengalaman dan pertemuan. Jadi, kita nggak hanya terjebak dalam euforia hari H saja. Tapi mikirnya adalah “bikin apa nih selanjutnya?”
Guru adalah Relawan (?)
Salah satu peran dalam kegiatan kerelawanan adalah menjadi guru. Bagi mereka yang memilih peran sebagai guru, saya secara personal menambah rasa salut. Tentu bukan hanya sekedar pilihan atas keterpaksaan ya. Tapi pilihan yang diambil secara penuh kesadaran. Saya punya banyak teman yang seperti ini. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang bukan jurusan keguruan. Tapi pengalaman membuat mereka belajar tentang menjadi pengajar. Menjadi guru kehidupan.
Reny W. Indriadi, Direktur SDM dari Sekolah Cikal memberikan insight menarik tentang guru. Di Sekolah Cikal, ada 4K yang menjadi concern bagi seorang guru. Guru dengan KEMERDEKAAN yang tahu arah dan kenapa dia mengajar, KOMPETENSI serta bagaimana aplikasinya, mampu menghadirkan KOLABORASI, dan memberikan arah KARIR bagi anak didik serta dirinya.
Nah, hal semacam ini banyak tidak dimiliki oleh sekolah lain. Karena itulah pentingnya manajemen sekolah. Padahal kualitas negeri ditentukan oleh kualitas guru. Dan kualitas sekolah ditentukan oleh kualitas kepala sekolah. Terhubung dan tersambung. Kompleks. Nah, bukankah mereka yang mau bersusah dan berlelah dalam kemajuan pendidikan adalah perjuangan yang luar biasa? Tentu sekali lagi, bagi mereka yang punya visi bukan hanya karir dan harta semata.
Baca Juga :
Guru Mulia Karena Karya
(Bukan) Guru Tanpa Karya
Influencer Ngomong Pendidikan, Bisa Apa?
Novel Baswedan Tentang Kerelawanan
Di Inspiring Talks “Dedikasi Untuk Negeri” yang dilaksakan oleh TurunTangan kemarin, Novel Baswedan turut hadir. Ada analogi menarik yang dia sampaikan.
“Ada sebuah mobil pick up yang kosong dan ada yang membawa beban. Mobil pick up yang kosong mungkin jalannya bisa lebih cepat dan manuvernya lebih bebas. Sedangkan mobil pick up yang membawa beban jalannya lebih lambat dan manuvernya terbatas. Tapi sadarkah kita, mobil pick up mana yang kelak akan mendapatkan bayaran di akhir? Begitulah kehidupan yang akan dinilai di akhir kelak.”
Pesan-pesan Novel Baswedan secara personal memberikan banyak pencerahan bagi saya hari itu. Kata-katanya padat dan berisi. Memberikan fakta yang menggelisahkan tapi juga membawakan optimisme.
“ini memang kekhawatiran kita. Tapi kita harus tetap optimis dan berjuang.”
“Pembuat takdir kita bukan orang jahat, tapi Allah yang Maha Baik.”
Yang saya salut darinya bukan hanya dari pesannya saja. Bahkan ketika waktu shalat Magrib tiba, dia meminta izin untuk shalat duluan. Respect! Beginilah sosok relawan, pejuang, dan pahlawan.
Tentang ketakutan, dia juga berpesan.
“Ketakutan adalah suatu yang wajar. Tapi jika dengan ketakutan kita semakin dekat dengan Tuhan, lantas gimana? Bukan hal yang jelek bukan?”
Saya jadi sadar, kenapa sosoknya begitu berani dalam memberantas korupsi. Kalau saja ada yang menuduh kasus penyiraman aiar keras padanya adalah rekayasa, ya cukup senyumin aja.
“Berjuang untuk orang banyak atau menjadi relawan itu sejatinya bukan membantu orang lain. Tapi membantu diri sendiri. Kongkritnya adalah membantuk karakter diri untuk menjadi baik dan terus berbuat baik.”
–Novel Baswedan
Kembali dengan menjadi relawan. Sesekali saya pernah turun ke lapangan. Hanya sedikit. Tidak sebanding dengan mereka yang terlalu baik dan banyak amalannya. Dan bisa jadi, ada banyak orang yang seperti saya. Karena itu, izinkan kami membantu. Berikan kami peluang kebaikan apa yang bisa kami lakukan, sesuai kemampuan kami. Dan tentunya, apa yang bisa kami pertanggungjawabkan. Karena tidak sedikit relawan newbie yang turun karena euforia saja. Atau karena ada batu dibalik udang (eh gimana). Banyak terjadi. Dan itu layak dikritisi dan diperbaiki.
Untukmu yang sudah terjun langsung di dunia kerelawanan, lanjutkan. Semoga oleh Allah Yang Maha Baik, niatmu diluruskan, jalannya dilapangkan, dan manfaatnya diluaskan. Untukmu yang tidak memilih langsung relawan sebagai jalan, semoga ada banyak pilihan kebaikan lain yang dilakukan. Hingga kelak di tujuan akhir, kita bisa saling mengingatkan. Tujuan akhir, kampung akhirat, surga yang kita harapkan.
Jadi, apakah relawan adalah pahlawan?