Ada yang masih ingat dengan pesan dari khatib salat id kemarin? Tidak harus semuanya. Setidaknya sebutkan apa pesan menarik yang didapatkan? Bisa?
Beruntung jika ada pesan menarik yang masih bisa dipetik. Namun jika ada yang menjawab, “Tidak ada, membosankan”, tidak salah juga. Karena bisa jadi memang itulah yang dirasakan saat menyimak khutbah Iduladha. Bagaimana dengan saya? Saya akan berada di titik tengah. Loh, maksudnya gimana?
Jika harus bicara jujur dan kritis dalam menilai, penilaian saya atas khatib Iduladha tahun ini adalah membosankan. Saya pun memvalidasi setidaknya kepada tiga orang lainnya. Lebih kurang jawaban mereka sama. Bahkan saya merasa rugi. Lebih baik salat di lapangan dekat rumah. Saya tahu siapa khatibnya dan yakin pasti akan ada insight berharga. Namun berhubung saya harus menemani “ibu negara”, saya pun ikut ke masjid tempat biasa kami salat id.
Kenapa membosankan? Saya akan nilai dari beberapa hal.
Pertama, konten. Konten yang beliau sampaikan adalah perkara umum. Ditulis dengan sudut pandang yang biasa. Penulisannya deskriptif. Bahkan ada beberapa hal yang saya sebagai orang awam baru tahu dan di luar nalar, bahkan kesannya terlalu melebih-lebihkan. Saya tidak perlu sebutkan pesan spesifiknya apa. Tapi semoga paham maksudnya apa. Intinya, pesan yang disampaikan tidak “khas lokal” sebagaimana penceramah lainnya dari daerah ini.
Kedua, penyampaian konten. Khatib membaca kata demi kata dari teks yang sudah disiapkan. Terlihat dari gestur tubuhnya. Kesan pembawaannya terburu-buru. Bahkan intonasinya dengan pola suara naik turun yang sama.
Dari dua penilaian ini saja tentu sudah terbayang membosankan seperti apa. Untungnya saya tidak tertidur. Bahkan saya menyimak dengan seksama berharap ada sesuatu yang bisa dibawa pulang.
Building interest. Inilah salah satu teknik bagi pendengar dan pembelajar agar bisa dapat sesuatu. Walaupun jujur saja tidak mudah, bahkan tidak semua kesempatan hal tersebut bisa saya lakukan. Apa contoh pesan berharga yang didapat? Salah satunya adalah mengucapkan tahlil bisa membersihkan hati. Sudah tahu, pesannya umum, tapi semoga bisa jadi pengingat.
Namun, jika saya melihat dari sisi yang lain, sebenarnya ada hal lain yang membuat pelaksanaan salat id hari itu terasa membosankan. Bahkan boleh dikatakan salah satu yang membosankan selama saya salat iid di sini. Apa saja?
Pertama, kata pengantar dari pejabat yang sama saja. Membaca teks, tak ada energi, sudut pandang biasa saja. Kedua, khatibnya “pesanan” dari kelompok tertentu. Selama ini saya tidak pernah melihat beliau mengisi kajian di masjid ini. Ditambah lagi dengan fakta bahwa pejabatnya belum lama dilantik. Karena biasanya masjid ini jika menyiapkan khatib salat id biasanya punya standar tersendiri. Bahkan jika terpaksa pengurus yang menjadi khatib, kualitas penyampaiannya di atas rata-rata saat dirinya berceramah biasa. Awalnya saya beraumsi. Namun ketika memvalidasi latar belakang khatibnya dengan salah satu orang yang saya percaya, ternyata asumsi saya masuk akal.
Mengenai perkara ini memang masalah kompleks. Tentang ulama, penceramah, atau tokoh agama yang dekat dengan penguasa. Bolehkah? Boleh saja. Namun jangan sampai terseret. Sikap seseorang yang punya ilmu harusnya berbeda dengan orang awam. Ada prinsip yang harus dipegang. Bukan hanya asal bapak senang.
Ada salah satu pesan menarik yang saya dapat dari kajian. Saya lupa pesan awalnya didapat dari siapa. Lebih kurang pesannya seperti ini:
“Penguasa dekat dengan ulama itu harus. Ulama dekat dengan penguasa itu boleh. Namun jangan pernah ulama ‘dekat-dekat’ dengan penguasa.”
Paham ya maksudnya? Ada izzah yang harus dijaga bagi seorang ulama.
Kembali lagi ke khatib salat id.
Salat id adalah momentum. Maka bagi khatib, bahkan pengurus masjid yang bertugas, harusnya bisa menyiapkan materi yang di atas rata-rata. Menyiapkan teks tentu boleh. Namun membaca kata demi kata tentu bukan cara yang terbaik.
Siapkan materi sebaik mungkin. Materi yang membahas masalah umat terkini. Bukan hanya pesan itu lagi-itu lagi yang bahkan mencari aman. Yang penting honor terbayarkan. Atau bahkan pesanan kepentingan pihak tertentu. Jangan sampai.
Bayangkan, salat id adalah momen umat Islam berkumpul di satu titik. Momen yang hanya terjadi dua kali dalam setahun. Momen yang jumlah orang berkumpul melebihi salat fardu bahkan salat Jumat. Maka, layakkah seorang khatib menyiapkan pesan yang biasa-biasa saja?
Ramaikan masjid jangan hanya ketika salat eid, tapi salat wajib.
Bahayanya pergaulan bebas generasi muda, serta peran penting orang tua dan guru.
Korupsi, sekulerisme, liberalisme adalah musuh kita bersama.
Adakah pernah khatib salat eid yang pernah mengangkat topik tersebut? Seumur-umur saya hidup, saya belum pernah mendengarnya saat mendengar khutbah salat id. Entahlah di tempat lainnya.
Baca juga:
Tokoh Publik Jangan Anti Kritik
4 Pilar Utama Manajemen Masjid Berdaya
Menjelang Akhir Ramadan, Berdakwahlah ke Luar Masjid
Kepada para khatib. Mohon dengan sangat jangan berbangga dengan gelar yang dimiliki atau usia yang sudah “matang”. Karena bagaimanapun setiap kita pasti punya celah untuk memperbaiki diri. Maka terimalah nasihat jika memang hal tersebut baik dan benar.
Kepada para panitia. Mohon jangan tertipu dengan gelar. Karena tidak selamanya gelar akademis bisa cocok dengan mimbar salat id.
Kepada pengurus masjid. Berhati-hatilah dengan pesan-pesan kepentingan tertentu. Karena ada di beberapa daerah, pengurus sempat kecolongan karena yang menjadi khatib ajarannya menyimpang. Bukan sebatas liberal, tapi syiah.
Kepada kita semua. Semoga kita bisa menjadi manusia yang kritis, tapi tetap menggali mutiara hikmah di setiap kesempatannya.