Pemilihan presiden yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali memang ditunggu-tunggu. Banyak hal menarik yang bisa kita amati. Walaupun di satu sisi, kontestasinya tidak selalu menarik. Pesertanya ya itu lagi itu lagi.
Saya pribadi tidak sepenuhnya berpendapat bahwa dua pasangan capres dan cawapres yang maju adalah anak negeri terbaik di negeri ini. Memang secara kapasitas boleh saja kita katakan mereka mampu (atau dimampu-mampukan). Tapi jangan lupa, ada sistem yang memaksa anak negeri yang punya kapasitas jauh lebih baik, tapi tidak bisa maju. Salah satunya karena Presidential Tresshold.
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Joko Widodo berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno. Apakah mereka anak negeri terbaik yang layak maju di pemilihan presiden 2019? Secara sistem, ya. Tapi secara kapasitas, harusnya banyak anak negeri yang berada pada konstetasi 5 tahunan ini.
***
3 Juru Bicara Muda
2019 bertepatan dengan pemilhan presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Apakah secara sistem ini baik? Entahlah, saya tidak punya kapasitas yang baik untuk menjawab itu. Katanya sih untuk menghemat biaya, katanya. Tapi entahlah.
Bagi saya yang menarik bukan hanya pemilihan presiden, wapres, dan anggota DPR, DPR dan DPRD saja. Juru bicara bagi saya juga menarik untuk diangkat. FYI, saya adalah pemilih 02 saat itu. Jejak digitalnya masih ada di Instagram saya. Cek saja.
Di pasangan 02, ada 3 juru bicara muda yang berkesan bagi saya. Faldo Maldini, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Gamal Albinsaid. Secara kapasitas, bagi saya mereka memang layak menjadi juru bicara. Baik itu dari sisi kontribusi, aktivitas, dan kemampuan public speaking.
Faldo Maldini yang saat itu menjadi bagian dari PAN pernah merintis gerakan Pulang Kampuang yang mengajak anak muda Sumatera Barat untuk pulang dan membangun daerah. Dahnil Anzar Simanjuntak pernah menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Secara posisi yang strategis, tentu banyak hal yang seharusnya sudah dia lakukan. Gamal Albinsaid dengan kontribusinya di bidang kesehatan. Prestasinya sudah bertaburan. Indonesia Medika adalah salah satu bentuk nyatanya.
Secara kontribusi dan aktivitas, boleh dikatakan mereka bukan karbitan. Sudah ada yang mereka lakukan untuk negeri ini. Kemampuan public speaking? Oh, jangan ditanya. Bahkan boleh dikatakan, kemampuan public speaking mereka jauh lebih baik dibandingkan dua pasang capres-cawapres yang maju. Ya namanya aja juru bicara.
Memang, perjalanan kehidupan ini tidak singkat sebatas pemilihan presiden saja. Karena nyatanya, satu per satu mereka mulai melanjutkan pilihan dengan konsekuensi tersendiri.
Saat proses panjang pemilihan belum benar-benar usai, Faldo Maldini pernah mengatakan di Youtube-nya bahwa 02 tidak akan menang di MK. Videonya sih masuk akal. Ya wajar-wajar saja. Tapi secara etika tim kampanye? Entahlah. Lebih jauh lagi, Faldo Maldini bahkan berpindah haluan dari PAN menjadi DPW PSI Sumbar. Entahlah apa maksudnya. Mungkin sebagai pendongkrak suara agar bisa maju di Pilgub Sumbar saat itu. Walaupun pada akhirnya mundur selangkah dengan menjadi bakal calon Bupati Pesisir Selatan. Maju lagi di Pilgub Sumbar, dan akhirnya tidak benar-benar ikut dalam kompetisi kepala daerah. Walaupun saya bukan orang Sumbar, menurut keawaman saya berpindah ke PSI adalah keputusan besar yang mungkin dicibir banyak orang. Jangankan PSI, PDI Perjuangan saja tidak diterima. Apa kaitannya? Ya kalau kata netizen sih, PSI itu adalah PDIP U-23. Atau ada juga plesetannya, PSI Perjuangan.
Bagaimana dengan Dahnil Anzar Simanjuntak? Saya tidak banyak kenal dengan beliau. Berbeda dengan Faldo Maldini dan Gamal Albinsaid, saya tidak pernah bertatap muka langsung. Tapi yang menarik bagi saya adalah kemampuan public speakingnya unik sekali. Tenang dan bernas. Bagaimana dengan kabarnya terkini? Jika sebelumnya menjadi tim pemenangan juru bicara Prabowo Sandi, usai pilpres dia ditunjuk langsung sebagai juru bicara Prabowo Subianto dan resmi sebagai kader Partai Gerindra. Bahkan sempat ada rencana maju dalam pemilihan Walikota Medan, walaupun tidak jadi. Ya mungkin karena Gerindra sudah mendukung menantu Jokowi. Kini, dia berada dalam barisan koalisi sebagai staf ahli setelah Prabowo Subianto menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Gamal Albinsaid? Sama seperti dua nama sebelumnya. Usai pilpres, dia pun turut meramaikan kontestasi pemilihan kepala daerah. Gamal maju sebagai bakal calon Walikota Surabaya, yang nasibnya pun sama dengan dua nama sebelumnya. Gagal maju. Entah karena apa pertimbangannya. Tapi menariknya, di Surabaya hanya ada dua pasang yang maju. PDIP versus non PDIP. Begitulah lelucon yang saya temukan. Kini, Gamal yang sebelumnya tidak masuk dalam struktural partai mana pun, secara resmi menjadi Ketua DPP Bidang Kepemudaaan satu-satunya partai yang menegaskan sikap sebagai oposisi terhadap pemerintah, PKS.
Bagaimana dengan juru bicara 01? Jangan ditanya. Kursi empuk, keamanan, dan kenyamanan tentu saja sudah didapatkan walau mungkin tidak merata semuanya. Saya tidak perlu menjabarkan satu per satu karena seperti yang saya katakan tadi bahwa saya adalah pemilih 02. Maka info yang paling banyak saya tahu ya 02 dong. Tapi jika ditanya, apa sih alasan milih Prabowo Sandi? Jawaban saya sederhana. Ikut arahan ulama. Bukan mencari yang sempurna, tapi pilih mudarat yang paling sedikit. Narasi yang saya gunakan di Instagram pun tidak menghina 01 walaupun banyak sekali celah yang bisa diangkat. Sebagai bukti, coba saja jejak digitalnya di sini. Belum saya hapus.
Bagaimana dengan partai? Saya sudah tegaskan di jejak digital sebelumnya. Saya tidak mencari partai malaikat. Tapi partai yang tetap membersamai umat bukan hanya di rutinitas 5 tahunan, tapi juga dalam keseharian bermasyarakat. Bahkan boleh dikatakan, saya memilih 02 karena partai tersebut menitipkan suara ke 02. Sederhana sekali ya? Ya walaupun hasilnya lebih kurang sama dengan Pilkada DKI Jakarta. Sudah habis-habisan, tapi tetap diabaikan.
Entahlah, bagaimana nasib partai ini ke depan. Semoga terus amanah bersama rakyat. Padahal ada partai yang mengaku pilihan wong cilik, tapi suaranya terbesar, begitu pun korupsinya. Begitu tegas bersuara saat kalah di pilpres 2004 dan 2009 karena katanya mewakili rakyat. Tapi diam anyep saat berkuasa padahal menyengsarakan rakyat. Ya begitulah kita, tertipu lagi dan lagi.
Dari Oposisi Jadi Koalisi
Pilpres 2014 dan 2019 ini memang menarik. Calon presiden yang maju itu lagi itu lagi. Sama seperti pilpres 2004 dan 2009. SBY dan Megawati beradu dalam dua pemilihan. Tapi menariknya, efek dua pilpres pertama yang dipilih langsung oleh rakyat tidak sama dengan dua pilpres terakhir. Dulu sepertinya tidak ada pemisahan ekstrim kubu cebong dan kampret. Tapi kenapa sekarang masih begitu terasa ya. Ada yang berpendapat karena pemisahan ini memang dirawat oleh yang berkepentingan. Bahkan ada yang mengatakan ini dimulai sejak pilkada DKI Jakarta yang memajukan Jokowi Ahok. Jasmev adalah salah satu mesinnya. Katanya sih begitu.
Tapi bisakah pemisahan kubu ekstrim ini dihapuskan? Mungkin bisa saja. Bagaimana caranya? Bergabung dengan koalisi?
Bergabung dengan koalisi sudah dilakukan oleh Prabowo maupun Sandi. Diawali oleh Prabowo Subianto yang menjadi Menteri Pertahanan dan disusul oleh Sandiaga Uno yang menjadi Menteri Pariwisata dalam kabinet reshuffle pengganti Wishnutama.
Bagaimana reaksi pendukung 02 mendapat kabar ini? Jangan ditanya. Kolom pendapat di berbagai social media sudah bisa menjadi bukti. Dan saya, kenapa menulis di blog ini karena ingin mengutarakan pendapat juga. Karena menurut saya tidak akan cukup lega jika hanya menyampaikan pendapat dalam beberapa kalimat di kolom komentar social media.
Mari kita lihat track record capres 02, Prabowo Subianto. Saya tidak perlu bahas dalam bentuk kinerjanya sebagai Menteri Pertahanan karena saya bukan pengamat kebijakan publik yang baik. Tapi mari kita ingat kembali dengan 3 janji saja.
Dulu, Prabowo Subianto pernah berjanji akan timbul tenggelam bersama rakyat sambil bentak-bentak meja. Nyatanya, apa yang beliau lakukan saat Omnibus Law alias UU Cilaka ditolak secara masif oleh rakyat?
Dulu, Prabowo Subianto pernah mengatakan akan mencabut korupsi sampai ke akar-akarnya. Jika ada kader Gerindra yang terlibat korupsi, akan dimasukkan penjara langsung. Tapi nyatanya, apa yang beliau lakukan saat Menteri KKP Eddy Prabowo terlibat korupsi benih lobster?
Dulu, Prabowo Subianto pernah berjanji akan membawa HRS pulang dari Saudi. Tapi nyatanya, apa yang beliau lakukan saat kriminalisasi semakin menjadi-jadi? Mulai dari Laskar FPI yang tewas dibunuh, kriminilisasi, hingga dimasukkan ke penjara oleh penguasa. Adakah sedikit saja komentar dari beliau?
Ah, ternyata itu hanya janji. Baru aja jadi menteri, belum jadi presiden.
Bagaimana dengan Sandiaga Uno?
Saya lampirkan saja pendapat beliau yang diliput oleh Tempo.
“Oposisi itu betul-betul dibutuhkan. Dan saya sangat betul-betul terhormat dapat kesempatan untuk menjadi oposisi dan terus mengontrol mengawasi kinerja pemerintah memberikan masukan,” ujar Sandiaga Uno di Kemang Village, Jakarta pada Sabtu, 13 Juli 2019.
Saya juga masih ingat dengan janji beliau bahwa terlepas apa pun hasil di pilpres 2019, beliau akan berjanji menghadirkan Rumah Siap Kerja di setiap kota. Lagi-lagi, jejak digitalnya masih ada.
Ohya, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah, seingat saya beliau tidak ada berkomentar apa pun saat penolakan masif oleh rakyat tentang Omnibus Law alias UU Cilaka. Saat itu, beliau masih berada sebagai oposisi.
Berkontribusi Sebagai Koalisi?
Dulu tegaskan jadi oposisi, kini masuk dalam pemerintahan Jokowi. Salahkah?
Seperti halnya tiga juru bicara muda yang saya sampaikan di awal. Secara kapasitas, mereka tidak perlu diragukan. Begitu pula dengan Sandiaga Uno. Tapi secara pilihan politik, tentu saja ini sangat mengecewakan pemilihnya. Secara etika politik, wajar saja beliau sangat dikritik.
Mari ulang pertanyaan tadi. Apakah benar kubu ekstrim cebong dan kampret bisa dipersatukan dan didamaikan hanya dengan capres yang didukung masuk koalisi? Tidak sesederhana itu. Karena jika hanya itu, yang menguntungkan tentu saja yang terlibat janji politik. Tapi bagaimana dengan rakyat awam yang tidak punya apa-apa dan sudah berdarah-darah?
Bagi saya, solusinya sederhana. Dari penguasa sendiri, coba hentikan ternak buzzerRP. Apa-apa yang menjadi propaganda rezim, diangkat dan disebarkan seluas-luasnya. Tapi apa-apa yang menjadi kritikan kepada rezim penguasa, dibabat habis. Contoh paling terdekat dengan propaganda media HRS dan FPI. Pada masa tertentu, segala hal yang mendukung HRS dan FPI diturunkan secara sistem. Tapi segala hal yang menghina HRS dan FPI, diangkat. Ini hanya contoh loh ya. Banyak kasus lain yang tidak angkat. Misalkan, bagaimana update korupsi bansos, benih lobster, kejaksaan yang terbakar, kerugian pertamina, korupsi Jiwasraya, Asabri, dan masih banyak lagi.
Jika memang kubu cebong dan kampret ingin dipersatukan, hentikan ternak buzzeRP dan tegakkan keadilan seadil-adilnya.
Sebagai catatan, Prabowo Sandi maju dengan dukungan uang rakyat. Sumbangan rakyat yang dikumpulkan dalam plastik dan spanduk karung goni. Lantas jika mereka berpindah dalam koalisi dengan berbagai alasan pembenaran, wajar saja rakyat kecewa.
***
Dislclaimer, saya bukan fanboy Prabowo Sandi. Saya sudah utarakan di atas kenapa saya memilih pasangan ini saat pilpres kemarin. Dan kenapa saya menulis artikel ini karena ada keresahan yang harus dituangkan.
Momen pilpres 2019 ini sebenarnya mengajarkan kita pelajaran sederhana bahwa berharap kepada manusia itu secukupnya saja. Karena jika berharap secara berlebihan, wajar saja kecewa pun akan berlebihan. Apalagi tidak sedikit di antara mereka yang berdarah, dibungkam, bahkan dipenjara.
Saya jadi teringat dengan pesan Ustadz Abdul Shomad. Berharap kepada manusia, kecewa. Berharap kepada harta, binasa. Cukuplah berharap kepada Allah semata.
Kini, Prabowo Sandi sudah berada di kursi koalisi. Apakah ini baik atau buruk? Apakah ini berarti mendukung rakyat atau menjadi pengkhianat rakyat? Entahlah. Mari lihat saja apa yang akan mereka lakukan. Setidaknya 3 janji Prabowo yang belum juga terealisasi bisa menjadi dasar pertimbangan.
Pilpres memang sudah usai. Lebih dari setahun bahkan. Lalu, apa yang harus kita ucapkan kepada Prabowo Sandi yang merapat menjadi koalisi? Selamat berjuang atau selamat tinggal?