Internet dan anak muda. Dua kata yang tidak dapat terpisahkan. Saling berkaitan satu sama lain. Banyak ouput dari kolaborasi dua kata ini. Karya, gagasan, buku, pergerakan, dan komunitas adalah sedikit dari banyak yang dapat dihasilkan. Di tulisan ini saya akan membahas dua output, gagasan dan komunitas.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah buku yang sangat tebal. Disusun, ditulis, dan dilaunching dengan cara yang unik. Mengumpulkan 33 gagasan trainer yang ditulis hanya dalam 1 hari, dan dilaunching dalam festival serentak di 20 kota. Sebuah mahakarya, SuksesMulia is My Life.
Berbeda dengan buku lainnya, selain 3 keunikan utama diatas, setiap gagasan yang ditulis mempunyai satu tujuan besar yang sama, menuju peradaban SuksesMulia. Salah satu gagasan yang menarik perhatian saya adalah tulisan karya Fauzi Rachmanto, The Circle Principle.
Circle Principle adalah sebuah konsep yang membahas bagaimana caranya sebuah komunitas mampu memberikan perubahan positif bagi para anggota ataupun lingkungan sekitar. Ada 3 poin utama dari The Circle Principle ini. Centrality, connectedness, dan contribution. Mari kita mulai.
Pertama, centrality. Bermakna sebuah tujuan bersama yang dicapai dari komunitas tersebut. Mungkin jika ditulis dalam satu kata hal ini bermakna visi. Visi bermakna sebuah tujuan besar yang ingin dicapai, sedangkan misi adalah langkah kecil yang harus dilakukan untuk mencapai visi tersebut. Dalam kenyataannya visi seringkali terabaikan. Disusun dengan asal-asalan, terpampang tanpa diperjuangkan, atau tertulis tanpa diketahui oleh anggota lainnya. Visi seharusnya hal yang diperjuangkan bersama oleh seluruh anggota. Walaupun dalam upaya meraihnya, visi ini seringkali “terkompromikan”.
Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri training leadership bagi pengurus organisasi kampus, leadership 101. Saya hadir bukan sebagai peserta, melainkan scoring. Walaupun selama materi yang tersampaikan saya tetap menempatkan diri sebagai pembelajar, Yang menarik ada di satu sesi mengenai teamwork vs collaboration.
Dalam presentasi, pemateri memberikan contoh 2 film X-Men. X-men (2000) dan The Days of Future Past (2014). Di film X-Men ada dua kubu yang berlawanan, Profesor X dan Magneto. Mereka memiliki tujuan yang berbeda dan saling berlawanan. Akan tetapi di film The Days of Future Past, kubu Profesor X dan Magneto harus bersatu karena memiliki lawan sama dan memberikan ancaman, Sentinels. Mengapa mereka bisa bersatu?
Jawabannya adalah “Mutual Purpose”. Mereka merasa terancam dengan adanya Sentinels yang mempunyai misi untuk menghancurkan meta-human. Ancaman bersama berubah menjadi tujuan bersama. Begitulah Centrality. Merumuskan tujuan bersama dan membuatnya tetap hidup dan diperjuangkan pencapaiannya.
Kedua, connectedness. Kembali lagi ke sumber awal, anak muda dan internet. Dua peran yang tak terpisahkan. Dengan berbagai kreativitas yang mereka miliki, karya kolaborasi mampu dihasilkan walaupun terbentang jarak yang cukup jauh. Tapi mereka tetap bisa connecnted. Kenapa?
Dalam pembentukan komunitas, seringkali connected menjadi permasalahan utama. Masih terjebak dalam membangun keterhubungan anggota secara fisik. Tidak salah memang. Tapi jika hanya mengandalkan hubungan secara fisik tentu akan menjadi PR di kemudian hari. Karena seringkali pertemuan fisik hanya menjadi ajang temu kangen dan tak ada bahasan sama sekali.
Baca juga : Sinergikan Ide Kebaikanmu dengan Komunitas Kebaikan
Lalu apa yang lebih penting dari pertemuan fisik?
Emotional connectedness. Inilah yang paling penting. Baik pertemuan fisik ataupun pertemuan di dunia online sama-sama memberikan peluang terciptanya emotinal connectedness. Pertemuan fisik tentu saja dikarenakan keterikatan dan pertemuan. Sedangkan yang menjadi sumber emotional connectedness dunia online adalah centrality. Purpose apa yang mereka perjuangkan bersama. Sehingga keterbatasan jarak bukanlah menjadi masalah.
Salah satu komunitas yang mampu menerapkan connectedness dengan baik adalah Indovidgram. Sebuah komunitas para Youtuber yang menghasilkan vlog. Dengan memanfaatkan internet, karya dan penyebaran mereka mampu menyebar ke seluruh Indonesia.
Ketiga, contribution. Poin terakhir yang tidak kalah penting. Bagaimana caranya setiap anggota mampu memberikan kontribusi. Bukan hanya menumpang nama. Memang bagi sebagian orang ada rasa kebanggaan ketika hanya menumpang nama di komunitas besar tanpa kontribusi apa-apa. Tapi ada juga anggota yang merasa terabaikan ketika usahanya tidak dibutuhkan oleh komunitas.
Terlepas dari itu semua, ada poin penting yang seharusnya dimiliki oleh komunitas atau wadah apapun yang intinya “ngumpul”. Jangan hanya menjadi wadah untuk saling curhat lalu nyaman. Melainkan menjadi wadah diskusi dan saling menguatkan.
Salahkah curhat di komunitas? Tentu itu hal yang normal. Akan tetapi seringkali curhat disalahartikan. Sehingga kedatangan seseorang itu hanya membawa masalah dan energi negatif. Bukan harapan untuk saling menguatkan. Nah inilah PR komunitas.
Komunitas seperti lingkaran yang dihubungkan dengan titik-titik anggota. Anggaplah ada 10 titik. Sehingga apabila hanya 1 titik yang selalu berbagi, otomatis kapasitasnya akan membesar dan menjauh dari titik tengah. Lalu apa yang terjadi dengan titik lainnya? Ada ketidakseimbangan sehingga lingkaran mulai tidak beraturan bentuknya. Komunitas perlu menciptakan platform kontribusi bagi setiap anggota yang mendorong mereka untuk bertumbuh dan bersinar. Berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Sehingga lambat laut purpose dari komunitas akan diperjuangkan bersama oleh setiap anggota.
Komunitas seperti circle. Awalnya hanya lingkaran kecil lalu berkembang menjadi lingkaran besar. Membawa pengaruh dan perubahan positif. 3C dalam Circle Principle ini mampu menjadi pedoman bagi komunitas yang ingin berkembang. Dari mulanya hanya ajang berkumpul saling curhat dan nyaman menjadi diskusi bergizi dan membawa harapan. Jangan berhenti di lingkaran yang sekarang. Teruslah membesar dan bersama membawa perubahan positif untuk Indonesia lebih baik.
Inspirasi dari buku SuksesMulia is My Life bab 9, The Inner Principle
(www.rezkyfirmansyah.com)
Seringnya pak saya temui, dalam berbagai grup komunitas khususnya di Whatsapp atau Telegram. Yang aktif dan berkontribusi hanya beberapa, entah itu sharing, berkomentar dan lain sebagainya. Sisanya -mungkin mencapai 80% adalah silent reader. Bahkan hanya sekadar ikut grup diskusi tanpa membaca setiap feednya sama sekali.
Parahnya, ada yang masuk grup diskusi itu hanya untuk mencari pasar. Setiap postingnya hanya berbau jualan, produknya dan sejenisnya.
Padahal, tujuan adanya grup-grup itu (termasuk grup facebook dll) adalah ajang komunikasi lebih cepat dan saling bahu membahu berkontribusi membangun komunitas mencapai tujuannya.
Memang banyak yang seperti itu pak. Kembali lagi ke tujuan awal, ada centrality. Untuk mengoptimalkan grup bisa baca tulisan saya yang judulnya productive chatting 🙂