“Untuk apa sih dokter spesialis jadi politisi? Fokus saja pada bidangnya.”
Seseorang menyampaikan pendapat saat melihat baliho caleg dengan gelar Sp.OG. Betul juga sih pendapatnya. Fokus saja pada bidang yang digeluti. Apalagi dokter spesialis adalah profesi dengan keahlian dan pendidikan khusus. Tidak semua orang mampu mencapai titik tersebut. Namun pada saat itu saya berpikir hal sederhana yang boleh saja dikritisi.
“Enggak masalah. Bisa jadi dia hadir untuk mewakili suara profesinya di politik dan kebijakan publik.”
Jawaban saya ada benarnya juga. Karena di setiap tingkat, baik daerah atau nasional, pasti ada komisi yang membidangi kesehatan. Di tingkat daerah ada 3-5 komisi. Tergantung peraturan daerah masing-masing. Beberapa bidang di antaranya: perekonomian, pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan, hukum dan pemerintahan. Di tingkat nasional lebih banyak lagi. Sampai 11 komisi dengan perannya masing-masing. Namun, walaupun begitu, tentu saja yang dibutuhkan bukan hanya keahlian dan keilmuan spesifik. Misalkan dokter harus di bidang kesehatan. Karena nyatanya, yang mengurus kesehatan belum tentu berlatar belakang kesehatan. Setidaknya, pemahaman tentang pemerintahan, perundang-undangan, dan hukum harus dimiliki juga. Walaupun bukan melalui pendidikan formal.
Ada yang lebih penting dari keilmuan dan keahlian. Apa itu? Keberpihakan.
Apakah kelak dokter spesialis ketika masuk ke politik akan berpihak pada kebijakan kesehatan? Idealnya iya, tapi belum tentu. Pun begitu dengan yang bukan dari latar belakang kesehatan. Apakah besar kemungkinan berpihak pada kesehatan? Tidak bisa dipastikan juga. Namun seharusnya iya. Karena itulah amanah yang harus dijalankan.
Marshel Widianto, Calon Wakil Walikota Tangsel?
Mari berpindah dari dokter spesialis ke artis dan pelawak. Bagaimana dengan fenomena artis dan pelawak masuk ke bidang politik?
Marshel Widianto adalah satu dari sekian banyak tokoh yang bisa dijadikan studi kasus. Namun yang pasti, Marshel bukanlah pelawak pertama yang masuk ke ranah politik dan menjadi politisi. Yang membedakan beliau dengan kebanyakan artis atau pelawak lain adalah posisi yang ditargetkan bukanlah calon legislatif, melainkan bidang eksekutif. Tepatnya, Calon Wakil Walikota Tangsel. Berpasangan dengan Riza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta pada masanya. Partai mana yang mengusung? Gerindra sebagai pengusung utama. PSI sebagai partai (yang katanya) anak muda tak ketinggalan. Demokrat dan Nasdem menyusul.
Siapa sih Marshel Widianto? Cari sendiri saja siapa beliau. Namun yang jelas, kata politisi Gerindra Habiburokhman, Marshel adalah anak muda yang cerdas dan punya wawasan luas. Orang sama yang mengatakan bahwa film dokumenter Dirty Vote adalah fitnah.
Bagi yang enggan mencari tahu siapa dan bagaimana latar belakang Marshel Widianto, setidaknya bisa tonton monolog dari Pandji Pragiwaksono yang berjudul, YTH PARTAI GERINDRA. 18 menit, tapi sangat penting untuk ditonton agar memahami kasus ini lebih komprehensif. Di video tersebut menekankan bukan hanya pada sosok, tapi sistem di partai politik. Karena itulah judulnya YTH PARTAI GERINDRA, bukan YTH MARSHEL WIDIANTO. Tonton deh.
Sebenarnya wajar saja jika banyak orang yang menolak pencalonan Marshel. Bukan hanya karena sosok Marshel dengan berbagai latar belakang yang tidak relevan. Dampak secara tak langsung dari pencalonan ini adalah banyak anak bangsa yang mimpinya hancur. Capek-capek kuliah tata kota dan ilmu pemerintahan, tapi yang maju malah pelawak. Namun, fakta yang tidak banyak orang ketahui adalah siapa calon lainnya. Walikota dan wakil walikota petahana yang kembali maju adalah Benyamin Davnie dan Pilar Saga. Apa masalahnya? Pilar Saga merupakan anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah. Ratu Tatu adalah adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan kakak ipar Airin. Singkatnya, Pilar adalah keponakan Ratu Atut dan Airin. Isu yang dekat dengan calon ini adalah korupsi dan politik dinasti.
Pertarungan dinasti politik bukan hanya terjadi di 2024 saja. Pada tahun 2020 lalu masih di Tangerang Selatan, Benyawin Davnie dan Pilar Saga yang merupakan keponakan dari Ratu Atut berhadapan dengan calon yang juga kerabat dari pejabat. Putri dari Wapres Ma’ruf Amin Siti Nurazizah yang berpasangan dengan Ruhamaben, serta pasangan Muhamad-Rahayu Saraswati yang merupakan putri dari Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Jika dihadapi dengan dua opsi problematik seperti ini, lantas harus pilih siapa?
Apa yang terjadi di Tangerang Selatan bisa jadi miniatur untuk pilkada di daerah lainnya. Milih petahana yang kinerjanya wadidaw atau pendatang yang kontroversial. Adakah yang ideal? Tidak ada. Namun setidaknya jangan pernah permisif dengan keadaan. Miliki target yang tinggi walaupun nyatanya tidak ada yang seperti itu. Tidak ada yang ideal, tapi kita harus mengusahakan yang ideal. Setidaknya dengan cara dan proses kita dalam memilih. Video 20 menit dari Pandji Pragiwaksono yang berjudul TANGSEL UNTUK INDONESIA ini semoga bisa menjadi pencerahan.
Catatan tambahan. Saat tulisan ini rilis, Riza Patria mengundurkan diri sebagai calon Walikota Tangsel. Sedangkan Demokrat mengalihkan suara ke Benyamin dan Pilar. Kemudian dengan adanya aturan baru terkait pilkada, PKS yang awalnya mendukung Riza dan Marsel akhirnya mengajukan kadernya sendiri, Ruhama dan Shinta. Lantas, bagaimana nasib Marshel? Entahlah.
Apa yang Sebenarnya Dicari?
Marshel Widianto memang bukan yang pertama. Ada lebih banyak pelawak dan artis lain yang mendahului. Ada yang berhasil menjabat, ada yang gagal. Salah satu faktor yang membuat caleg artis gagal adalah karena bermodalkan popularitas. Namun ketika ditanya visi misi, jawabannya kosong. Contohnya, bisa lihat bagaimana dialog Najwa Shihab dengan Angel Lelga menjelang pileg 2014 lalu. FYI, Angel Lelga sudah 3 kali mengikuti pemilihan legislatif. 2014 bersama PPP di Dapil Jawa Tengah V, 2019 bersama Perindo di Dapil Jawa Barat VII, dan 2024 bersama Perindo di Dapil Jambi.
Ada juga yang berhasil menjabat, tapi belum berhasil dalam kinerja. Cek saja kinerja para artis yang menjabat sebagai kepala daerah atau anggota DPR sebelumnya. Apakah benar janji-janji yang dikampanyekan berhasil terealisasi? Apakah benar keberpihakan pada bidang yang digeluti benar-benar terbukti? Bersyukur jika mereka benar-benar bekerja. Tidak jarang yang terlihat hanya publikasi “biasa” sebagaimana kehidupan dulunya sebagai artis.
Pemilihan legislatif pada 14 Februari 2024 lalu harusnya bisa menjadi studi kasus tambahan untuk kita pikirkan masing-masing. Komeng menang telak di DPD RI Dapil Jawa Barat. Ahmad Dhani dari Gerindra Dapil Jawa Timur I berhasil menyusul istrinya yang lebih dahulu menjabat dari Dapil Jawa Barat XI. Once Mekel dari PDIP bisa mengalahkan Masinton Pasaribu yang merupakan petahana di Dapil DKI II. Eko Patrio yang berhasil mempertahankan kursinya di Dapil DKI I bahkan digadang-gadang menjadi menteri. Sebenarnya, apa yang mereka cari?
Semua orang memang punya hak untuk terlibat dalam politik. Namun, cara berpikir kita sebagai rakyat tentu tidak bisa sepolos itu. Karena bagaimanapun, politisi yang kelak akan menjadi pejabat, baik di ranah legislatif atau eksekutif akan bekerja untuk publik. Mereka akan bekerja untuk melayani rakyat. Maka yang dibutuhkan bukanlah yang populer, tapi yang punya kapasitas.
Sebagai pedoman berpikir untuk selanjutnya, apa dampak positif dan pelawak ataupun artis yang masuk di ranah politik? Apakah benar mereka memberikan perubahan yang berarti atau setidaknya keberpihakan dan keterwakilan dari ranahnya masing-masing?
Unik memang. Banyak pelawak dan artis yang ingin jadi politisi. Sebaliknya, banyak politisi dan pejabat yang kerjanya bukan melayani rakyat, tapi melawak. Atau setidaknya yang berlagak jadi artis. Saat ada pertanyaan dari wartawan dan rakyat, bukannya memberi jawaban yang mencerahkan, tapi malah jawaban yang wadidaw.
Daging mahal, makan bekicot.
Cabe mahal, tanam sendiri.
Listrik naik, cabut meteran
Ya ndak tahu kok tanya saya.
Nggak tahu, saya masih tidur.
Itu hanya segelintir jawaban dari semakin banyaknya jawaban yang wadidaw. Setidaknya, jika tidak bisa memberi jawaban yang mencerahkan, jangan memberi jawaban yang ngawur dong. Apalagi mencari-mencari pembenaran. Atau bahkan lari dari kejaran pertanyaan.
Berat memang jadi pejabat. Bukan hanya kinerjanya yang tidak boleh melawak, pejabat pun harusnya tidak boleh antikritik. Karena sekali lagi, pejabat bekerja untuk rakyat, bukan untuk dirinya dan keluarga saja.
Baca juga:
Tokoh Publik Jangan Antikritik
Belum Cocok Menjadi Politisi