Momen Sumpah Pemuda : Antara Sampah Pemuda atau Sumpah Berkarya

“Mahasiswa, mana aksimu! Jangan sampai Badan Eksekutif Mahasiswa kalah dengan Barisan Emak-emak Militan.”

Sontak saja, berbagai api motivasi bermunculan. Ada yang bereaksi, ada yang antipati, dan ada juga yang seperti biasa menjalani.

Saya bisa merasakan bagaimana tersindirnya mahasiswa ketika dibandingkan dengan Barisan Emak-emak Militan. Apalagi para mahasiswa aktivis. Harga diri mereka terasa diinjak-injak saat dibanding-bandingkan. Baik dengan Barisan Emak-emak Militan ataupun para aktivis 98.

Mari saya berbagi opini. Bukan sebagai praktisi aksi lapangan, tapi sebagai sosok Rezky Firmansyah. Manusia biasa, yang (semoga) punya jutaan solusi untuk Indonesia.

Berlanjut lagi. Sindiran dari emak-emak seperti membakar aksi mahasiswa untuk bergerak. Setelah “tidur” sekian lama, akhirnya ledakan-ledakan aksi bermunculan. Puncaknya boleh dikatakan 20 Oktober 2017. Barisan mahasiswa turun ke lapangan untuk beraksi. Sidang rakyat, begitulah para mahasiswa menyebutkannya. Saya pribadi sih fine-fine saja. Apalagi jika mengingat kembali pesan Pak Presiden Jokowi,

“Saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Apapun… apapun… pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi kalau enggak ada demo itu keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong di mana-mana ‘tolong saya didemo’. Pasti saya suruh masuk”

Video ini sudah viral dimana-mana. Cari saja di Youtube. Waktu persisnya adalah ketika masih menjabat sebagai walikota sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tapi apakah karena pesan tersebut disampaikan jauh-jauh hari tak berlaku lagi hari ini? Silakan nilai saja sendiri. Karena apapun yang sudah kita sebutkan, tak akan bisa ditarik kembali. Pendengar akan masih ingat. Kuingat, kucatat. Begitulah sebagian orang berkata.

Saya pribadi tentu menilai ada ketidaksesuaian antara perkataan Pak Presiden Jokowi dengan permintaannya. Terbukti, 2 aksi terbesar dalam setahun belakangan tidak dihadiri oleh beliau. Aksi 411 misalkan tak dihadiri beliau. Eh malah yang terjadi kerusuhan oleh “penjaga keamanan”. Aksi 2010 yang baru terjadi beberapa hari yang lalu juga tak dihadiri. Tapi yang terjadi, lagi-lagi, kerusuhan oleh “penjaga keamanan”. Alhasil, para mahasiswa pun “ditersangkakan”. Panjang umur pejuangan, berakhir di istana atau penjara. Begitulah slogan yang sering didengungkan.

Tentu saja ini bertolak belakang dengan tiga kasus kontroversial.

Pertama, demo yang mengiringi aksi 1 juta lilin berakhir sampai jam berapa? Pagar pembatas dirusak nggak? Kok nggak ditangkap?

Kedua, penyerangan kantor Mendagri pun rusuh. Tapi kok nggak ditangkap?

Ketiga, pembacokan Hermansyah. Ditangkap sih. Tapi kok disambut dengan ramah. Tidak seperti Ustadz Alfian Tanjung yang sampai diborgol karena membahas isu PKI?

Ayo, ada apa coba?

“Kalau kalian kira di Indonesia sedang baik-baik saja, saya tekankan, kami tekankan, negeri ini sedang tidak baik-baik saja”

Video respon dari mahasiswa IPB yang rekannya ditangkap “penjaga keamanan” ini pun menarik untuk diangkat. Memangnya benar ya, negara ini tidak baik-baik saja?

Ayolah, kita memang harus akui negeri ini tidak sedang baik-baik saja. 3 tahun Pak Presiden Jokowi sudah berbuat apa? Banyak dong. Tapi mari kita kritisi. Ada banyak “cacat” yang terjadi. Terutama di aksi lapangan. Pemerintah anti-kritik. Itulah yang kerap disebutkan.

24 Februari 2017, saya berdiskusi dengan Bagus Tito Wibisono. Koordinator Pusat BEM SI 2016. Pertemuan pertama kami ketika event training ketua OSIS 2011 lalu. 6 tahun berselang, kami pun bertemu lagi. Dengan “kepentingan yang berbeda”.

“Gus, kalau aku pribadi berpendapat bahwa seharusnya mahasiswa adalah pemberi solusi. S.PSI, Sarjana Pemberi Solusi. Tidak melulu harus turun aksi.”

“Aku setuju. Tapi tak selamanya mahasiswa memberikan solusi. Kita sudah membayar pemerintah dengan pajak dan seterusnya. Seharusnya kita kritisi mereka untuk mencari solusi negeri ini. Karena tak seluruh masalah negeri bisa diselesaikan oleh mahasiswa.”

Dua pendapat yang berbeda, tapi memiliki irisan kebaikan. Kita sama-sama menyetujui bahwa mahasiswa adalah pemberi solusi, bukan pencaci maki. Dengan berbagai cara yang kita pilih. Mengisi celah kebaikan, bukan hanya diam di zona nyaman. Dengan penelitian, aksi, prestasi, dan jutaan cara lain jika kita memang berniat mencari.

Rezky - Bagus

Saya jelas berbeda dengan Bagus dan mungkin kamu, para aktivis kampus. Seumur-umur, saya hanya turun aksi lapangan sekali. Saat kelas 4 SD. Kami mendemo bupati yang menghina guru di sebuah rapat. Akhirnya beliau turun jabatan. Eh lucunya, 1 periode diganti bupati baru, periode selanjutnya naik lagi. Duh lucunya negeri ini.

Bupati Berjubah, begitulah saya menyebutnya. Fisik yang agamis tak sesuai dengan skandal korupsi yang hingga sekarang tak diungkit-ungkit oleh yang bertanggung jawab. Kini, beliau sudah habis masa periodenya. Sudah diganti dengan bupati yang baru. Untuk yang baru, semoga amanah. Untuk yang lama, semoga segera ditangkap.*eh

Begini. Mengenai mahasiswa yang ditangkap, pendapat saya hampir sama (bukan serupa) dengan kalimat awal videonya. “Negeri ini sedang tidak baik-baik saja”.

Pemerintah anti-kritik bisa menjadi jawaban. Karena memang yang diundang ke istana adalah orang-orang yang “istimewa.“ Sering kan kita melihat anak muda berprestasi diundang ke istana? Terutama yang punya massa seperti youtuber, selebgram, dan artis social media lainnya. Coba tebak, kenapa?

“Tujuannya kan baik. Agar mereka bisa memberikna pengaruh yang positif dengan masyarakat.”

Pengaruh yang positif ya? Oke sih. Pertanyaannya sekarang, positif yang seperti apa? Positif yang mendukung pemerintah, mengkritik pemerintah, atau menutup-nutupi bobroknya pemerintah?

Mendukung pemerintah? It’s okay. Saya setuju. Tapi mendukung tentu harus ada independensi. Good News From Indonesia adalah salah satunya. Saya dukung ini.

Mengkritik pemerintah? Sepertinya ini masih jadi tanda tanya besar. Karena terbukti, yang mengkritik seringkali tercyduk.

Menutup-nutupi bobroknya pemerintah? Nah ini yang harus dikritisi.

Saya berada pada garis netral. Rakyat harus mengawal yang benar dan mana yang salah. Kalau salah, ya kritisi dong, jangan ditutup-tutupi. Kalau benar, ayo dukung. Independen dalam berbicara. Jangan hanya karena ada maunya saja kita berpihak.

Persoalan independen dalam berbicara memang masih menjadi PR bagi kita. Terutama para aktivis. Karena buktinya, banyak yang dulunya berani dan lantang berbicara, eh saat berada di titik tertentu, malah diam dan menciut.

Para aktivis mahasiswa. Mari kita lihat, sampai berapa tahun akan berani dan lantang. Apakah sampai lulus kuliah, mencari kerja, berkeluarga, atau memang selamanya. Semoga saja selamanya. Karena buktinya sedikit yang memang bertahan untuk independen.

Mari saya sebutkan satu nama. Masih ingat dengan Iwan Fals? Ingat seberapa kritisnya dia masa dahulu? Tapi lihatlah beberapa tahun sekarang. Menciut. Ada apa dengan Anda bung? Padahal saya dari masa sekolah dulu sudah menikmati lagu Anda.

Catat loh, idealisme dan kritisnya Iwan Fals saja bisa terbeli. Apalagi “hanya” sosok aktivis mahasiswa yang koar-koar di lapangan. Idealismu akan benar-benar diuji. Sampai sejauh apa?

Well, sungguh saya tak membenci unjuk rasa. Apalagi sampai mengharamkan unjuk rasa seperti kelompok sebelah. Tapi saya tak juga membenarkan unjuk rasa sebebas-bebasnya. Ada batas-batas yang harus disepakati bersama. Tidak mencaci, anarkis, bahkan kalau bisa menjaga waktu sholat.

“Alaah, unjuk rasa seperti itu hanya utopia bung. Sadarlah, kita ini di Indonesia.”

Karena di Indonesialah saya percaya kita bisa. Sudah lihat aksi 411 kan? Bagaimana dengan aksi 212? Kita Indonesia, membuat geger dunia!

Tentang unjuk rasa, saya sudah punya independensi jawaban. So, kalau kamu punya tujuan yang jelas dalam unjuk rasa, silakan lakukan. Perjuangkan apa yang harus diperjuangkan. Saya mendukungmu dengan cara yang berbeda.

Sampai di sini, kita sepakat ya.

“Tapi kalau kamu nggak ikut unjuk rasa, kamu nggak peduli dengan negeri ini.”

Ow, ow, ow, kok bisa berpendapat begitu. Kalau tuduhanmu seperti itu, saya tidak setuju. Saya masih punya independensi jawaban. Mari saya berikan analogi.

Hidup ini seperti bingkai dan puzzle. Bingkai sebagai garis persatuan dan puzzle sebagai peran. Persatuan harus diisi dengan peran. Pertanyaannya sekarang, peran seperti apa yang ingin kita berikan.

Bingkai memberikan sebuah garis batas. Membatasi kita dengan suatu kesepakatan tertentu. Membatasi kita agar bisa berada pada batas yang seharusnya. Membatasi kita agar bisa saling bergerak dan menguatkan.

Di dalam bingkai ada puzzle. Dan puzzle tersebut beraneka ragam. Bentuknya tidak sama. Puzzle C mungkin tidak bisa terhubung langsung dengan puzzle A. Tapi dengan adanya puzzle B, puzzle C dan puzzle A bisa terhubung dan bersatu. Kita berbeda, kita tak sama. Tapi kita bisa bekerjasama.

Sejauh ini, masih mengikuti? Mari saya lanjutkan.

Saya meyakini, setiap orang punya potensi kebaikan. Pertanyannya sekarang, apakah dia berfokus mengembangkan potensi kebaikannya atau potensi “keduniaan”nya. Misalkan begini.

Jujur saja, saya mengkritisi hadirnya selebgram dan youtuber. Karena faktanya banyak dari mereka yang berlepas tanggung jawab terhadap followernya. Seolah-olah berpendapat,

“Ya kita kan udah dewasa. Jadi pinter-pinter ambil yang baik dan buruk dong.”

Maaf, kalau pendapat kamu begitu, saya tidak setuju bos. Karena pada dasarnya, apa yang sudah kita lakukan akan dipertanggungjawabkan. Mungkin tidak di dunia, tapi di akhirat. Mungkin dengan memamerkan hidup hedonis, pergaulan bebas dengan modus “relationship goal”, kamu bisa bahagia, mengalirkan uang, dan terkenal. Tapi ada berapa banyak follower yang kamu racuni? Ayolah berpikir sebagai subjek and objek. Bukan hanya sebagai subjek.

Tentu, saya pun harus bersikap bijak dalam menilai mereka. Karena toh banyak juga Youtuber yang bertanggung jawab, memberikan nilai baik, dan mencintai Indonesia dengan cara mereka. Pesawat R80 adalah contohnya.

Sekarang, coba kamu buka kitabisa.com search Pesawat R80. Youtuber Indonesia adalah salah satu inisiatornya. Dengan influence yang dimiliki, mereka memanfaatkannya dengan bijak. Bersama, kita bangun Indonesia Berdaya di negeri sendiri.  Kita terbangkan pesawat asli Indonesia!

Bukan hanya pesawat R80. Kita bisa lihat juga bagaimana kolaborasi Aksi untuk Rohingya, Palestina, kurban di pedesaan, masjid dibakar, dan berbagai kebaikan lain tanpa melihat suku dan agama. Kita tidak sama, tapi kita kerja sama.

“Ada banyak perjuangan yang harus kita isi. Dari banyaknya jalan, perjuangan siapakah yang paling baik?”

Mungkin kita sering membanding-bandingkan siapa yang paling baik. Ini pun sempat saya alami. Hingga suatu hari, saya bertanya dengan seorang guru.

“Jalan mana yang harus saya ambil? Karena seringkali saya merasa perjuangan orang lain lebih besar.”

Jawabannya singkat, padat, dan penuh makna.

“Terserah Allah mau letakkan kita dimana.”

Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini, coba refleksi kembali jalan perjuanganmu dan resapi jawaban ini.  Dimana Allah meletakkan perjuanganmu?

***

Gimana, sudah terjawab? Mari lanjut.

Pertanyannya sekarang, jalan yang Allah berikan ke saya seperti apa?

Jika pertanyaan ini dikembalikan ke diri ini, saya pun baru bisa meraba.

Saya besar di kota kecil. Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Sejak SD dan SMP saya tinggal di sana. Masuk SMA, saya sekolah di SMA Provinsi. Sekolah yang hanya menerima 100 dari lebih 1000 pendaftar. Sekolah yang terdiri dari beragam anak daerah. Sekolah berasrama yang dibiayai pemerintah. Dan di sekolah itu, saya terpilih menjadi Ketua OSIS. Sekilas, sudah cocoklah saya menjadi aktivis di masa depan ya?

Tapi nyatanya prediksi itu meleset. Lulus SMA, saya tidak langsung kuliah. Gap year, begitulah istilahnya. Padahal banyak dari alumni SMA ini yang tembus ke kampus unggulan di Indonesia, bahkan dunia. Tapi nyatanya, Allah berkehendak lain. Saya kuliah di kampus swasta. Kampus yang Muslim adalah minoritas di sana. Mungkin hanya 15%. Itu yang Muslim loh, bukan yang sholat. Lantas, apakah karena kuliah di kampus minoritas, iman saya terkikis?

Iman saya tidak terkikis, tapi berjuang. Karena buktinya, di tahun pertama kampus ini tak punya mushola, akhirnya di tahun kedua sudah ada mushola. Di tahun ketiga sudah ada sholat jumat berjamaah menggunakan ruangan kelas. Bahkan semakin tahun ROHIS di kampus ini makin kompak dan berdampak. Saya pun tinggal serumah dengan anak-anak ROHIS. Bahkan bukan hanya ROHIS, di tingkat universitas pun saya menjadi Presiden Badan Legislatif Mahasiswa. Seorang Muslim minoritas menjadi pemimpin. Padahal ada agama Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, dan Katolik yang lebih mendominasi. Lantas, kenapa harus Rezky Firmansyah?

Allah yang tahu jawaban pastinya. Dan pelajaran dari Allah ini lah yang membuat saya bertumbuh. Dan lingkungan kampus serta independensi dalam bersuara membuat saya membentuk cara pikir dan kontribusi untuk negeri ini. Karena kampus ini tak mengajarkan unjuk rasa. Mereka memliki cara kontribusi berbeda yang harus dihubungkan dengan isu yang sama-sama kita perjuangkan. Tidak sempurna, tapi  layak diperjuangkan.

Bung, saya tak turun ke lapangan, bukan berarti saya tak mencintai negeri ini.

Sekarang, mari kita kritisi bersama. Tak perlu menghakimi siapa yang paling benar dan besar kontribusinya. Seperi halnya ilustrasi puzzle tadi, setiap dari kita harus saling mengisi dan mendukung. Jika pada isu tertentu beberapa dari kita tidak setuju, bukan berarti dia adalah lawan kita. Tentu, kita harus menunjukkan keberpihakan kita dalam satu hal. Tapi ingat lagi, keberpihakan setiap orang punya cara yang berbeda.

Suatu hari, role model saya, Ippho Santosa pernah bertemu dan berdiskusi dengan Chairul Tanjung, salah satu konglomerat Muslim di Indonesia. Pertanyaannya kok bisa? Padahal rata-rata konglomerat di Indonesia adalah? You know lah.

Chairul Tanjung menjawab lebih kurang,

“Carilah common enemy. Musuh yang benar-benar musuh bersama bagi kita. Kemiskinan dan kebodohan misalkan.”

Pertanyaannya sekarang, siapakah musuh bersama kita? Lawan politik? Bukan.

Mari sepakati bersama, siapa musuh bersama kita.

Seks bebas? Reklamasi? Kesenjangan ekonomi? Kebodohan? Hedonisme?

Mahasiswa KuPu-KuPu bukanlah musuh bersama. Mereka hanya perlu diarahkan untuk menemukan dimana jalan terbaik bagi mereka untuk berkontribusi.

Muslim yang belum sholat bukanlah musuh bersama. Mereka hanya perlu diajak untuk sholat bersama. Dirangkul, bukan dipukul.

Golongan tua yang tak lagi idealis bukanlah musuh bersama. Kita hanya perlu saling berkomunikasi bagaimana setiap dari kita bisa saling mengisi dan berkontribusi.

Sebagai penutup,

3 hari pasca Sumpah Pemuda mau menjadi apa kita? Menjadi Sampah Pemuda atau Sumpah Berkarya?

Kang Rendy berkontribusi dengan Festival Saudagar Nusantara demi terwujudnya Berdaya di Negeri Sendiri.

Yusuf Mansur berkontribusi dengan Wisuda Akbar agar lebih banyak lahirnya hafidz quran yang mencintai negeri ini.

Pertanyaannya sekarang, kita bagaimana? Kalau pertanyaan ini dikembalikan, silakan cek postingan saya di @rezky_passionwriter tanggal 30 Oktober. Semoga bisa menjawab. Bukan apa-apa, tahu tahu akan menjadi apa.

Sekali lagi, kita bagaimana? Menjadi penuntut, pencaci, atau pemberi solusi?

Bung, mari kita sepakati bersama bahwa setiap dari kita adalah #PejuangKebaikan Pertanyaannya, celah kebaikan apa yang kita perjuangkan?

Kita tak sama, tapi kita kerja sama.

Rezky Firmansyah
@rezky_passionwriter
Bukan siapa-siapa, tapi tahu mau berbuat apa

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *