Mengkritisi Narasi Generasi Sandwich

Seperti anak muda pada umumnya, nongkrong adalah kebiasaan saya. Kadang bergizi, kadang kosong. Tergantung situasi sih.

Malam itu, saya pulang nongkrong lebih cepat daripada biasanya. Eh atau absen ya. Saya lupa deh. Tapi keesokan harinya, saya dan teman lainnya yang juga ikutan nongkrong pergi gowes pagi. Di pertengahan gowes, saya pun bertanya.

“Jadi, apa bahasan kemarin malam?”

“Generasi sandwich.”

Saya tertawa kecil mendengar jawaban itu. Bahasan itu memang bukan disampaikan oleh teman yang gowes, tapi teman lainnya. Hanya saja mendengar jawaban itu, saya sedikit merasa aneh. Kenapa? Karena topik itu hal yang asing untuk kami bahas. Biasanya kami bahas hal-hal ringan dan dekat. Tapi kali ini, narasi generasi sandwich pun sudah menyelip.

“Memang kenapa dengan generasi sandwich? Ada yang salah?”

Tidak salah. Generasi sandwich adalah fakta. Tapi untuk diperbincangkan oleh circle kami, terkesan aneh saja. Karena saya kira, generasi sandwich adalah perbincangan warga di kota besar saja. Tapi ternyata, sudah sampai ke sini.

Mengutip dari sikapiuangmu.ojk.go.id, berikut penjelasan singkatnya:

Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh seorang Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A. Miller. Generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.

Generasi sandwich adalah fakta. Dan fakta itu adalah netral. Tapi saya melihat ada yang aneh dari narasi yang disebarkan dan respon mereka yang menjadi generasi sandwich. Terutama di social media. Apa itu? Menyalahkan orangtua. Salahkah?

Orangtua mana yang sempurna? Tidak ada. Pasti saja ada celahnya. Termasuk dalam pengelolaan keuangan. Mereka yang dulu mungkin kerjanya tidak jelas dan serabutan, tapi tetap terus bekerja. Alasannya? Karena ada yang harus dibiayainya. Siapa? Siapa lagi selain bukan kita, anaknya tercinta. Apakah ada orangtua mengeluh dan menyalahkan anaknya? Bisa jadi ada. Lantas apakah hanya karena itu dengan mudahnya mengatakan orangtua toxic? Eits tunggu dulu. Coba baca Belajar dari Mulan, Toxic Parenting adalah Fatamorgana?

Sekali lagi. Generasi sandwich adalah fakta dan netral. Tapi narasi dan responlah yang akan mengarahkan ke arah mana. Positif atau negatif.

Jangankan pengelolaan keuangan pribadi, pendidikan keluarga dan parenting zaman dulu dan sekarang saja pasti berbeda. Jika dulu akses terbatas, kini kita bisa mempelajari banyak hal. Jika dulu memutus rantai gajah inner child dan luka pengasuhan tidak tahu bagaimana caranya, kini banyak jalan yang bisa ditemukan. Jika mau.

Kita hidup di zaman berbeda. Tapi ada satu hal mahal yang sulit untuk diduplikasikan saat ini. Apa itu? Hal-hal tak terlihat seperti keberkahan dan keikhlasan.

Kita tidak tahu bagaimana caranya menduplikasikan apa yang telah orangtua lakukan. Yang kita tahu adalah hal-hal yang mudah terlihat seperti pengelolaan keuangan keluarga atau pendidikan parenting untuk anak. Tapi sulit bagi kita untuk meniru hal tak terlihat seperti panjangnya doa ibu untuk anaknya atau ikhlasnya ayah untuk memperjuangkan rezeki yang halal bagi keluarganya.

Ada satu hal yang diabaikan dalam narasi generasi sandwich, terutama di social media. Apa itu? Cara pandang. Perspektif.

Saya meyakini bahwa solusi dari semua masalah adalah kembali ke agama. Karena itulah, penting bagi seorang muslim untuk memiliki wordview Islam. Melihat dunia ini dengan kacamata Islam. Jangan malah inferior dengan agamanya sendiri. Seolah-olah agama hanya untuk aktivitas di rumah ibadah. Padahal agama bisa diterapkan untuk seluruh aktivitas.

Seorang muslim yang “terjebak” dan menjadi generasi sandwich harusnya tidak melihat itu sebagai beban, tapi peluang amalan. Bagaimana menabung amal sebanyak mungkin bagi orangtua yang masih hidup di dunia. Jangan anggap bahwa membiayai mereka adalah balas budi ke orangtua. Tidak mungkin. Tidak akan bisa. Contohnya saja, berapa sih harga pertaruhan nyawa saat melahirkan? Tak ternilai.

Kepada pejuang keluarga, generasi sandwich. Bijaklah dalam melihat situasi dan kondisi. Mungkin terasa berat, tapi jangan keluhkan keadaan itu. Bersyukurlah karena Allah memberikan jalan yang lebar untuk menabung amal.

Generasi sandwich pastinya tidak ingin mengulangi kejadian yang sama untuk anaknya kelak. Itu bagus sekali. Tapi sekali lagi, berikan perspektif yang benar kepada anak kelak. Bahwa keluarga bukan hanya soal uang semata. Tapi kendaraan bagi kita agar bisa sama-sama masuk surga sekeluarga.

Sebagai penutup, saya ingin menyarankan satu hal.

Saya bersama teman-teman lainnya, setiap akhir tahun mengadakan event bernama @bukuuntukayahibu. Melalui event ini, kami berusaha untuk menjadi penghubung komunikasi antara anak dan orangtuanya. Karena kami percaya, pun kamu pasti memaklumi, banyak hal yang enggan bila disampaikan secara langsung. Lantas, kenapa tidak menuliskannya? Coba deh tuliskan. Buat semacam surat cinta atau surat maaf kepada orangtua. Karena komunikasi adalah kunci. Sedikit testimoni, bisa baca di sini.

Kepada generasi sandwich, tulisan ini ada sebagai penguat dan pengingat untukmu. Semangat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *