Memilih Rumah Sakit
Apa yang menjadi pertimbangan utama lokasi fasilitas kesehatan untuk melahirkan? Kualitas fasilitas, dokter yang direkomendasikan, atau faktor lain?
Kamis, 5 September 2024 lalu, atas pertimbangan tertentu kami memilih untuk pindah lokasi kontrol kandungan rutin. Tidak terlalu jauh sebenarnya. Dokternya pun sama. Berhubung yang melahirkan bukan saya, yang lebih banyak riset memang istri. Setidaknya ada beberapa alasan. Dokternya masih sama, kamar inapnya bisa sendiri, dan ada konselor laktasi untuk memastikan proses menyusui dari ibu berjalan dengan baik. Bahkan di akhir-akhir kami baru mengetahui layanan tambahan lainnya bagi pasien umum. Homecare selama tiga hari untuk memandikan dan memijit bayi. Bahkan diberikan bonus photoshoot, plus susu bagi ibu yang akan menyusui.
Hari perkiraan lahir semakin dekat. Dokter memperkirakan HPL maksimal 7 Oktober. Bisa lebih cepat, bisa lebih lambat. Saya pun iseng berkata pada istri. Semoga saja 8 Oktober. Alasannya? Karena bertepatan dengan tanggal pernikahan kami.
Berhubung semakin mendekati HPL, jadwal kontrol yang biasanya sekali sebulan semakin intens. Seingat saya, kami bertemu kembali dengan dokter kandungan pada 20 September, 27 September, 30 September hingga masuk IGD pada 29 September dan 1 Oktober.
Awalnya kami beberapa kali berganti dokter kandungan dan rumah sakit/klinik. Hingga akhirnya menentukan pilihan akhir kepada dr. Sri Maryati, Sp.OG. Kesan pertama yang kami rasakan adalah ramah dan menenangkan. Selain itu, yang terpenting adalah pro normal. Faktor kunci yang sering dicari oleh ibu hamil.
Sebagai calon orang tua baru, persalinan normal tentu diidam-idamkan. Dari awal, beliau selalu meyakinkan kami bahwa kemungkinan istri melahirkan normal cukup besar. Mendekati hari H, peluang itu tetap ada. Namun ada beberapa faktor yang membuat peluang semakin kecil. Walaupun tidak seberapa.
Pertama, ukuran bayi yang besar. Pernah mencapai 3,7 kg saat kontrol. Kedua, posisi kepala bayi yang semakin mendekati HPL belum berada di panggul. Di kesempatan lain, saat kami kontrol di salah satu klinik untuk mengetahui status pembukaan, seorang dokter mengatakan peluang istri melahirkan normal kecil. Kami tidak ambil pusing karena beberapa pertimbangan. Pengalaman beliau yang dulunya melahirkan sesar serta kapasitas beliau yang bukan dokter kandungan tidak dijadikan sebagai rujukan utama. Kami masih yakin, insya Allah bisa melahirkan normal. Informasi dari dokter utamalah yang kami jadikan rujukan.
Kami memang hanya beberapa kali mendatangi RSIA Zainab. Bahkan saya baru pertama kali mendatangi rumah sakit ini. Walaupun akses jalannya tidak begitu asing. Posisinya yang perlu masuk sedikit membuat kami baru mengetahui “hidden gem” ini.
Suasana yang nyaman. Itulah yang kami rasakan saat pertama kali hadir di rumah sakit ini. Lantai pertama saja langsung dihadapkan dengan musalla yang cukup nyaman, berdekatan dengan pusat informasi. Bahkan ada zikir rutin setiap pagi khusus bagi karyawan. Kesan islami terasa kuat di sini. Sentuhsan islami lain yang kami rasakan adalah:
- Ucapan salam dari petugas
- Kertas bertuliskan dorongan agar pasien tetap salat tertempel di dinding. Jika butuh bantuan, petugas siap membantu.
- Pemutaran murortal di ruang observasi, kamar bersalin, bahkan ruang inap. Yang menenangkan tentu saja saat di ruang observasi. Saat itu istri mengalami fase induksi yang sakitnya bukan main. Termasuk di kamar bersalin pun juga didengarkan.
- Kunjungan ustaz saat hendak melahirkan. Sayangnya kami tidak sempat bertemu karena saat itu sedang mandi.
- Perawat mengingatkan ayah untuk mengazankan bayi, menunjukkan lokasi wudu dan arah kiblat.
RSIA Zainab memang tidak memberikan embel-embel Rumah Sakit Islam. Melainkan “hanya” Rumah Sakit Ibu dan Anak. Namun saya rasa, I di RSIA Zainab bisa diartikan Islam juga sih.
Informasi tambahan. Sebelum memasuki “jalan kecil” di rumah sakit ini, ada beberapa titik yang unik. Arah Utara memasuki jalan ke RSIA Zainab. Arah Selatan, ada Masjid Akramunnas Universitas Riau. Dekat sekali. Harusnya tidak ada alasan tidak ke masjid bagi pengunjung. Arah Barat menuju Jalan Diponegoro. Sebelum sampai ke Jalan Diponegoro ada Mie Sagu Bu Tuti khas Meranti. Enak sekali. Sedangkan Arah Timur melintasi Jalan WR Supratman. Jalan yang kaya akan jajanan kuliner. Sekilas info saja. Semoga bermanfaat untuk menambah wawasan perkotaan. Terutama yang berkunjung ke RSIA Zainab.
Menjelang Melahirkan
Lanjut ke cerita menjelang melahirkan.
Minggu, 29 September. Rasa sakit karena kontraksi semakin menjadi-jadi. Berdasarkan kontrol terakhir, belum ada pembukaan. Namun sudah ada cairan yang keluar. Kami tidak tahu cairan apa itu. Pagi itu kami pun memutuskan untuk mengecek di klinik terdekat agar mendapatkan info lebih valid. Jadi bukan hanya sebatas asumsi. Hasilnya? Ternyata belum ada pembukaan. Cairan yang keluar pun ternyata bukan air ketuban.
Sore hari, istri merasa ada darah yang keluar. Ternyata benar, ada. Walaupun sangat sedikit. Kami pun memutuskan untuk pergi ke RSIA Zainab. Langsung ke IGD dan dicek oleh bidan. Ternyata tetap sama. Belum ada pembukaan. Kami baru tahu. Ternyata cairan dan darah bukan berarti menandakan akan melahirkan dalam waktu dekat. Normal terjadi, tapi belum dalam waktu dekat.
Senin, 30 September. Berdasarkan arahan dari perawat di IGD kemarin, kami disarankan untuk kontrol ke dokter kandungan. Dicek dan hasilnya baru pembukaan setengah. Masih jauh ternyata. Dokter masih meyakinkan kami bahwa peluang melahirkan normal masih besar. Hanya berkurang sekitar 10 persen dari prediksi awal. Hal tersebut dikarenakan bayi yang cukup besar dan belum masuk ke panggul. Pada kehamilan pertama, harusnya beberapa minggu menjelang melahirkan, posisi bayi sudah masuk ke panggul.
Selasa, 1 Oktober. Dini hari istri tidak bisa tidur dengan nyaman. Kontraksi berkali-kali. Kami memutuskan untuk datang ke rumah sakit terdekat. Kebetulan ada dr. Iqbal Arnif, Sp.B senior saya di SMAN Plus yang bertugas di sana. Memang tidak jadwal beliau pagi itu. Namun berdasarkan bantuan dari beliau, kami bisa dimudahkan untuk pengecekan pagi itu. Persis setelah subuh. Singkat cerita, di ruangan IGD istri dicek oleh bidan. Hasilnya, ternyata masih pembukaan satu. Bidan dan dokter yang bertugas menjelaskan dengan detail dan ramah apa yang sedang terjadi. Intinya, itu barulah kontraksi palsu. Bersabar saja. Karena memang itulah fase yang harus dilewati. Kami pun jadi ingat dengan pesan salah seorang keluarga.
“Jika masih tertawa, tidak perlu buru-buru ke rumah sakit. Belum tentu saat itu akan melahirkan. Karena jika nanti datang ke rumah sakit, eh ternyata belum jadi. Atau menunggu terlalu lama.”
Pesan ini kesannya remeh. Namun benar adanya. Kami mendatangi rumah sakit berkali-kali, tapi hasilnya nihil.
Sorenya, di musalla yang tidak jauh dari rumah sakit tersebut saya bertemu dengan Bang Iqbal (saya biasa memanggil seperti itu). Beliau tetap menyarankan untuk tetap mengecek lagi di sore ini. Tujuannya agar mengetahui berapa waktu yang dibutuhkan antara pembukaan satu ke berikutnya. Kami pun mengikuti saran tersebut.
Sepulang dari musalla, saya langsung menjemput istri. Datang lagi ke IGD rumah sakit dekat rumah. Hasilnya masih sama. Pembukaan satu. Namun ada yang berbeda. Denyut jantung janin meninggi. Menyentuh angka 174. Padahal normalnya hanya 120-160. Kenapa bisa? Dari penjelasan yang kami dapat, hal tersebut dikarenakan janin yang sudah terlalu capek untuk bergerak dan “menyundul”, tapi tidak keluar juga. Seperti kita kalau olahraga. Kalau kecapekan, pasti denyut jantung meninggi.
Istri pun diinfus dan diberikan oksigen untuk menetralisir kondisi janin. Dokter kandungan di rumah sakit tersebut dihubungi oleh Bang Iqbal. Padahal saat itu bukan jadwalnya. Atau lebih tepatnya, on call. Dokternya masih muda. Namanya dr. Ledy Yorinda Putri, Sp.OG.
Kondisi janin sudah normal kembali. Namun tanpa pantauan yang ketat, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Oleh karena itu, kami pun disarankan oleh dokter kandungan untuk segera dirawat inap. Beliau bahkan tidak mengharuskan di rumah sakit tersebut. Mau ke tempat kami merencanakan untuk melahirkan pun tidak masalah. Kami menerima saran tersebut. Kami pulang ke rumah dan segera ke RSIA Zainab. Satu hikmah penting yang didapatkan kali ini. Jika kami tidak mengecek kondisi sore itu, entah apa yang akan terjadi dengan janin di dalam rahim sang ibu. Karena di kasus lain, ada kemungkinan yang berbahaya bagi janin.
IGD lagi-lagi menjadi tujuan kami. Seperti biasa, dicek sudah pembukaan berapa. Denyut jantung janin pun masih normal. Perawat pun menghubungi dokter kandungan, apa keputusan yang tepat untuk diambil. Singkat cerita, induksi adalah rekomendasi dari dokter. Dengan adanya induksi, bayi harus dilahirkan dalam waktu maksimal 24 jam. Jika tidak berhasil, maka harus operasi. Tidak butuh waktu lama, kami ambil keputusan ini. Demi keselamatan bayi.
Masuk ke Ruangan
Tengah malam, kami sudah berpindah dari ruang IGD, ruang tunggu, dan ruang observasi. Sebagai gambaran, ruang observasi adalah tempat di mana pasien menunggu untuk melahirkan. Baik melahirkan normal (dengan atau tanpa induksi) atau caesar. Ada empat kasur di ruangan tersebut. Saat kami masuk, sudah ada seorang ibu yang mengerang kesakitan. Beliau sudah diinduksi terlebih dahulu. Istri hanya bisa menunggu. Seolah sudah membayangkan akan seperti apa sakitnya.
Rabu, 2 Oktober pukul 01.45 WIB. Setelah disetujui oleh dokter dan dicek kondisi, induksi pertama pun diberikan. Awalnya, nyaris tidak terasa apa-apa. Saya menunggu di samping kasur sembari tidur-tidur ayam. Terdengar juga samar-samar murottal Al-Qur’an. Namun beberapa saat kemudian, rasa sakit mulai terasa. Luar biasa. Saya tak bisa membayangkan seperti apa sakitnya. Istri seolah ingin menyakiti agar bisa mengeluarkan rasa sakitnya. Namun satu-satunya yang bisa dia dia sakiti terhadap saya hanya meremas tangan dengan luar biasa. Sakit juga ternyata. Untung saja dia tidak menjambak rambut saya atau tindakan kekerasan lainnya. Intinya, sakit. Sangat sakit.
Setiap induksi bertahan hanya untuk 6 jam dan maksimal diberikan sebanyak 4 kali. Setelah 6 jam pertama dengan rasa sakit yang luar biasa, menjelang pukul 08.00 WIB induksi kedua pun diberikan. Namun sebelum itu, perawat mengecek terlebih dahulu sudah pembukaan berapa. Ternyata baru pembukaan keempat. Masih jauh ternyata. Syukurnya, pasien yang di sebelah kami sudah masuk ke ruang bersalin. Kami berprasangka baik. Sepertinya istri tidak lama lagi menyusul.
Namun ternyata tidak sesingkat itu. Rasa sakit semakin menjadi-jadi. Untungnya, istri sudah bisa berdamai dengan keadaan. Bahkan sudah bisa mandi. Satu hal yang kami lewati gara-gara mandi adalah kunjungan ustaz. Harusnya ada ustaz yang berkunjung untuk mendoakan kami. Namun beliau sudah pergi duluan, menyusuri ruangan lainnya. Pelayanan yang tidak kami sangka. Sampai sebegitunya.
Apa yang dicari dari proses menjelang melahirkan? Rasa sakit. Semakin sakit semakin bagus. Namun jika menghindar dari rasa sakit, justru itu akan memperlambat. Sesederhana bermain gym ball yang bisa membuat nyaman. Namun justru itu bisa memperlambat proses kontraksi. Rasa sakit yang begitu luar biasa memang tidak bisa dilewati begitu saja. Istri tetap bermain gym ball agar setidaknya bisa tetap “waras”.
Pelajaran lain menjelang melahirkan. Ibu tidak boleh mengedan jika belum pembukaan akhir. Karena jika mengedan, bisa mengakibatkan jalur lahir membengkak sehingga mempersempit jalan bagi bayi untuk keluar. Jika ada rasa ingin mengedan, kendalikan dengan nafas yang teratur. Berkali-kali istri mengedan karena memang tidak terkontrol. Berkali-kali pula diperingatkan oleh perawat.
Setelah salat Zuhur. Perasaan ingin mengedan semakin menjadi-jadi. Tidak bisa dihindari. Perawat sepertinya sudah tahu gejala apa. Mereka pun segera mengecek pembukaan berapa saat itu. Sekitar 1-2 jam lagi menuju induksi ketiga. Fase yang tidak ingin dilewati oleh istri karena rasa sakit yang luar biasa. Selain berdoa, kami sama-sama berafirmasi bahwa bisa melahirkan sebelum pukul 14.00 WIB. Tepatnya sebelum induksi ketiga. Dan benar saja, saat dicek oleh perawat, sudah memasuki pembukaan ketujuh. Istri pun dipindahkan ke ruang sebelah. Ruang bersalin.
Sulit untuk menggambarkan situasi di ruangan ini. Ruang yang kecil, tapi ramai oleh suporter. Mulai dari perawat, bidan, dokter kandungan, bahkan dokter residen. Hanya saya dari keluarga yang diizinkan masuk. Ibu mertua sudah tetap di ruang observasi untuk mendoakan. Mama di rumah pun saya hubungi agar mendoakan kami. Masih sama, suara murottal Al-Qur’an terdengar. Perawat dengan sengaja membawa speaker kecil ke ruangan tersebut.
Tidak lama kami di ruangan ini. Namun di sinilah fase-fase yang menentukan. Semua seolah berjalan lancar. Suporter yang begitu positif mendukung kami,
“Bisa Lucy, bisa.”
Di sudut ruangan, ada juga tertempel sebuah doa untuk melahirkan. Saya pun membaca dan membisikkan ke istri. Sungguh, ini momen yang benar-benar mengharukan. Saya yang jarang sekali menangis, bahkan tanpa sadar meneteskan air mata di momen ini. Tidak butuh waktu lama, sepertinya kurang dari 15 menit, bayi perempuan lahir. Tepat pukul 13.47 WIB. Bayi dengan berat 3,955 gram. Bayi dengan ukuran besar yang sempat dikatakan sulit untuk dilahirkan normal, tapi ternyata bisa lahir dengan normal dan lancar. Atas izin Allah.
Bayi pun diamankan oleh perawat dan bidan. Jalur melahirkan dijahit oleh dokter. Saya teringat dengan pesan seorang asing yang kami temui. Beliau adalah seorang bidan senior berusia 82 tahun yang ditemui oleh istri tanpa sengaja di kolam renang.
“Setelah melahirkan, cium kening istrimu. Itu tanda darimu mengapresiasi perjuangan dia.”
Saya cium kening istri yang sudah memperjuangkan nyawanya untuk melahirkan seorang anak. Sulit untuk diungkapkan bagaimana perasaan saya saat itu. Perawat pun menawarkan saya untuk mengazankan bayi. Saya diarahkan untuk wudhu di mana dan ditunjukkan arah kiblat. Saya gendong untuk pertama kalinya, dan kumandangkan suara azan di telinganya. Suara tauhid yang didengar langsung dari ayahnya.
Perempuan mungil itu kami namakan Aksara Inspirasi Semesta. Dan perempuan hebat yang melahirkannya bernama Lucy Maryeni. Dua perempuan selain ibu kami yang semoga bisa mengantarkan menuju surga bersama.
Baca tulisan lainnya:
Sebulan Menikah, Sudah Belajar Apa?
Kenapa Menjadi Biro Jodoh?