“Keadilan apa yang dimaksud Ky? Apakah ini sudah adil seadilnya? Berita simpang siur, banyak sekali yang merubah. Bagaimana dengan kasus Munir? Kasus 98? Sedih rasanya dimana 3 tahun lalu aku kembali ke Indonesia dengan jiwa dan tekat nasionalisme membangun negara Ky. Namun situasi politik, keadilan yang semakin hancur di Indonesia. Apakah ini disebut keadilan? Bolehkah dan dan diijinkan kah kami membangun Indonesia?”
Sebuah komentar yang panjang ditulis oleh seorang teman saya kutip sebagai pembuka tulisan kali ini. Komentar tentang tulisan saya sebelumnya, “4 November dan Seterusnya untuk Negeri Ini, Semoga Allah Meridhoi”. Ada baiknya Anda membaca terlebih dahulu kolom komentar tulisan Facebook sebelumnya agar tak salah sangka. Karena nantinya saya dikira mempelintir komentar lagi. Kan jadi repot.
Keadilan Seperti Apa?
Seorang teman saya ini dulunya sempat kuliah di Singapore. Dan kini kembali ke Indonesia di jurusan yang sama dengan saya. Hanya beda kelas. Dia internasional dan saya reguler. Sama seperti diskusi di tulisan sebelumnya, hanya saja beda orang. Teman saya ini berfisik “Cina” dan berhati Indonesia. Iman kami pun beda. Tapi ya kita punya persamaan. Kita Indonesia.
Siapa yang pantas disalahkan ketika seseorang dilahirkan Cina dan Kristen? Siapa yang juga yang berhak memebenarkan seseorang menjadi pribumi dan Islam? Tuhan menciptakan itu semua dengan suatu tujuan. Agar kita saling mengenal.
Jujur saja, saya agak risih dengan istilah pribumi dan Cina. Bukankah kita sama sama Indonesia? Bahkan banyak teman saya yang “berfisik” Cina benci dikatakan Cina. Mereka bangga dengan Indonesia. Seperti halnya Daniel Mananta dengan brand “Damn I Love Indonesia”. Atau apakah ada maksud golongan tertentu untuk memecah belah Indonesia? Entahlah. Memang kita tidak akan pernah bisa menjadi SATU. Tapi kita harus BERSATU. Paham maksudnya?
Kita tidak akan pernah bisa menjadi SATU. Tapi kita harus BERSATU
Berbicara tentang keadilan ini memang tema yang sangat panjang. Tapi kalau boleh disimpulkan apakah negeri ini sudah adil, jawabannya tentu saja masih jauh. Bagaimana mungkin bisa seorang nenek yang terpaksa mencuri ubi untuk makan dipenjara tapi pembakar lahan hutan yang menyebabkan kematian bahkan kerusakan lintas negara dikatakan tidak bersalah. Bagaimana mungkin kasus pungli ribuan rupiah dibesarkan tapi kasus korupsi miliaran disembunyikan. Bagaimana mungkin kasus pembunuhan bermoduskan kopi disiarkan tiada henti tapi berita positif negeri ini hanya sedikit saja.
Aktivis, Solusi, dan Kontribusi
Memang panjang kalau bicara tentang keadilan. Tapi satu kesimpulan yang dituntut dari Aksi Damai di 4 November adalah MENUNTUT PROSES HUKUM. Karena sejauh ini seolah tidak ada proses sama sekali. Tapi kalau bicara tentang keadilan seperti halnya Kasus 98, pembunuhan Munir dan lain sebagainya, saya lebih memilih diam. Karena saya tak cukup kredibel untuk menjawab hal itu.
Saat saya menulis artikel sebelumnya kebetulan saya menyempatkan diskusi dengan seorang teman asal Lampung. Seorang fungsionaris Student Union di jurusan Culinary Business. Setingkat himpunan mahasiswa kalau di kampus lain. Dia bicara panjang lebar tentang negeri ini. Tentang Lampung, aktivis, dan Indonesia. Dia mengisahkan tentang pengalaman dia di Jerman bersama PPI Jerman dan mahasiswa lainnya menolak kedatangan anggota DPR yang berkunjung tanpa tujuan pembangunan. Hanya menghabiskan uang negara. Dan masih panjang lagi kisahnya. Pemikirannya kritis layaknya aktivis. Saya hanya menanggapi sebisanya. Pemahaman dan pengalaman kami berbeda. Karena jujur saja kalau bicara tentang aktivis, saya tak bisa bicara banyak. Juga tak pantas untuk mengakui diri seorang aktivis. Walaupun memang pada dasarnya setiap orang adalah aktivis kebaikan. Setuju?
Bicara tentang aktivis memang menarik. Dan hal yang kurang saya setujui dari oknum aktivis adalah hanya bicara tanpa ada aksi nyata. Atau bahkan turun ke jalan karena ikut-ikutan. Tentu tak ada yang salah bagi aktivis, terutama mahasiswa yang turun ke jalan. Tapi pastikan ada sebuah tujuan yang diperjuangkan. Pun juga bagi mereka yang menolak bahkan membenci aktivis. Tak layak pula diri membenarkan apa yang telah dilakukan. Pertanyaannya sederhana, sudahkah ada kontribusi kita untuk negeri ini? Atau hanya sibuk nongkrong di warung kopi? Atau sibuk mengejar IPK tinggi? Atau ambisi untuk kuliah, kerja, bahkan pindah ke luar negeri? Jujur, saya membenci hal seperti ini. Tapi membenci tanpa solusi pun bukanlah hal bijak. Karena pada dasarnya setiap orang punya cara untuk berkontribusi. Melalui ide, harta, atau kuasa. Silahkan baca ulasannya di sini.
Baca juga :
3 Alasan dan Solusi dari Ucapan Aku Tidak Bisa Apa-Apa
Start From Complain and Create Something
Menggali Makna Nasionalisme
Lalu bagaimana dengan nasionalisme? Apakah karena seseorang dilahirkan berfisik Cina lantas tak punya nasionalisme tinggi? Lalu dengan mudahnya mengatakan kalau pribumi pasti punya jiwa nasionalisme yang tinggi? Tentu saja belum tentu.
Saya punya pemikiran tersendiri tentang makna nasionalisme. Karena nasionalisme tidak hanya sebatas memakai produk dalam negeri, menonton film dalam negeri, dan kuliah di dalam negeri. Boleh-boleh saja memakai, menonton, dan kuliah ke luar negeri. Tapi pastikan bahwa ada kontribusi untuk negeri. Karena kalaulah pemikiran sesempit itu, berarti Bapak bangsa kita BJ Habibie tidak dikategorikan nasionalis. Beliau kuliah di luar negeri tapi kontribusi untuk dalam negeri. Nah kita? Kuliah dalam negeri tapi sibuk membanggakan luar negeri. Hadeuh.
Nasionalisme itu patut diuji. Bahkan diuji juga keikhlasannya. Kita seringkali tertipu bahwa nasionalisme itu haruslah selalu terlihat. Terpublikasikan melalui media seperti pernikahan atau lahiran anak selebritis negeri ini. Nasionalisme itu seharusnya diuji dengan berbagai tantangan dan keikhlasan.
Akhyari Hananto. Dengan berbagai serangan bad news from Indonesia, dia meng-counternya dengan Good News From Indonesia yang didirikan.
Lisa Virgiano. Dengan serangan makanan dari luar negeri, dia sibuk “blusukan” dan mempopulerkan kuliner khas negeri ini.
Dokter Lie Dharmawan. Dengan banyaknya pilihan untuk berobat di luar negeri, dia sibuk untuk memajukan kesehatan negeri ini dengan mendirikan Doctor Share dan blusukan ke daerah terpencil.
Itu hanya segelintir yang pernah terliput media. Belum lagi mereka yang sama sekali tidak terliput media. Mereka yang mengajar di daerah tanpa dipuji. Mereka yang membersihkan jalanan dari para “tukang sampah”. Bahkan mereka yang di malam hari memperbaiki jalanan yan berlobang. Masih banyak sebenarnya. Untuk 3 nama diatas hanyalah contoh. Ohya, nama terakhir adalah seorang yang “berfisik” Cina tapi berhati Indonesia.
Membela Karena Persamaan dan Perbedaan
Pribumi dan Cina. Saya khawatir ini memanglah adu domba dari pihak tertentu untuk mengindari Indonesia bersatu. Saya juga khawatir ketika golongan tertentu membela Ahok hanya karena persamaan. Karena Ahok “berfisik” Cina lalu golongan tertentu membela membabi buta. Atau bahkan dengan perbedaan gaya yang dia hadirkan. Blak-blakan, blusukan, omong kasar dan katanya sih tokoh anti korupsi.
“Ahok itu jujur. Kejujuran malah. Dia korban fitnah karena akan ada mereka yang terkena imbasnya. Nggak dapat jatah lagi.”
Seorang teman lain mengirim pesan via invox. Sama-sama berfisik Cina. Saya khawatir dengan pendapat buta hanya karena persamaan. Lalu bagaimana dengan RS Sumber Waras? Bagaimana dengan berkas yang disediakan BPK tapi diabaikan oleh KPK? Bagaimana laporan BPK terkait penggunaan APBD Jakarta?
“Itu semua fitnah karena mereka tidak suka dengan Ahok. Ahok itu BTP. Bersih Transparan Profesional.”
Saudaraku. Sungguh saya khawatir jikalau Anda membela membabi buta. Membela hanya karena persamaan. Atau membela Karena perbedaan dan “pembaharuan” yang dia hadirkan. Lalu bagaimana dengan 1 Juta KTP untuk Ahok? Apakah benar sudah mencapai 1 Juta KTP? Tahukah Anda ada bakal calon pasangan Gubernur DKI yang bergerak dalam diam, tak mencapai 1 juta KTP tapi secara professional menyerahkan berkas bakal calon. Gagal tapi profesional. Lalu apa yang terjadi dengan Ahok? Maju melalui parpol. Bukankah sebelumnya dia menolak, bahkan sempat mengutuk-ngutuk parpol.
“Tidak. Kami percaya dengan Ahok. Dia maju melalui parpol karena parpol sangat membutuhkan Ahok. Kami percaya keputusan Ahok sangat tepat.”
Saudaraku. Itu bebas pilihan Anda mau memilih siapa. Itu hak Anda. Tapi apakah hanya karena persamaan “fisik” dan perbedaan dia yang blak-blakan dan katanya anti korupsi lalu membela membabi buta?
Sekali lagi saya tekankan bahwa saya tidak anti Cina. Saya tidak anti Kristen. Saya kuliah di mayoritas Cina. Di kampus saya yang bersistem yayasan pendidikan, secara stuktural rektornya Cina dan sektretaris yayasan adalah Pribumi. Mereka bersatu. Lalu apa lagi yang harus diperdebatkan?
Saudaraku. Sudahkah Anda membaca bagaimana pendapat seorang Jaya Suprana? Seorang Katolik yang berfisik Cina tapi berhati Indonesia. Silahkan baca pendapat beliau. Pendapat beliau tentang penggusuran yang dilakukan oleh Ahok. Pendapat beliau terhadap Aksi Damai Jilid 1. Bahkan dukungan beliau saat Aksi Damai 4 November. Ayolah. Mencoba untuk berpikir jernih dan bersikap bijak atas apa yang terjadi. Cobalah.
Aksi Damai yang Benar-Benar Damai
Kembali lagi ke Aksi Damai 4 November. Dalam Aksi Damai yang benar-benar damai kemarin, saya sangat bangga dengan yang umat Islam lakukan di ibukota. Membawa kantong sampah sendiri, sapu lidi menyapu jalanan, bahkan ada yang membawa bunga. Pun dalam aksi dan orasi saya sangat bangga. Walaupun ada segelintir kata-kata yang tak pantas. Karena tujuan Aksi Damai bukan menyerang karena Ahok Cina dan Kristen. Tapi menuntut keadilan dijalankannya proses hukum. Bukan malah mengabaikan kasusnya seolah itu adalah hal biasa dan tidak sengaja. Bahkan secara pribadi saya menolak dan menegur kata-kata kasar yang keluar dari postingan media sosial seperti #BakarAhok. Apakah dengan kata-kata kasar masalah terselesaikan? Lalu apa bedanya dengan mulut Ahok yang dengan ringan mengucapkan taik, bajingan dan seterusnya. Bicaralah yang santun atau lebih baik diam.
“Kamu jangan membela Aksi Damai 4 November kemarin hanya karena kamu Islam dong. Lihat realitanya. Terjadi ricuh kan. Bahkan ricuh dipicu oleh barisan Himpunan Mahasiswa Islam.”
Tentang ricuh ternyata tidak hanya terjadi di Jakarta. Di grup Line kampus saya yang berdomisili di Surabaya pun banyak beredar. Ada yang bilang jangan keluar rumah karena akan terjadi kasus 98. Ada juga pelemparan batu di Jalan Kertajaya. Ada lagi sekelompok orang di Madura yang sengaja datang di Surabaya untuk melakukan penyerangan. Bahkan kasus di Jakarta Utara tentang penjarahan dan pemerkosaan pun sampai juga. Melihat isu yang beredar ini tentu saja saya cemas sekaligus tersinggung. Cemas karena mereka yang membaca akan mudah terprovokasi karena perbedaan pemahaman. Apalagi pemisahan pribumi Islam dan Cina Kristen. Saya juga tersinggung karena dengan mudahnya Aksi Damai 4 November dimanfaatkan oleh sekolompok orang tak bertanggung jawab. Terbukti semua itu tidak benar. Bahkan teman saya yang “berfisik” Cina pun membenarkan. Dia yang sempat melewati Jalan Kertajaya aman-aman saja. Dia yang sempat menggunakan Uber kata drivernya pun aman-aman saja. Berpikir jernih dan bersikap bijak. Jangan mudah termakan isu. Hati-hati itu seharusnya bukan hanya di satu hari. Hati-hati itu setiap hari.
Mengenai kericuhan dalam Aksi Damai 4 November di Jakarta. Terbukti yang menjadi provokator adalah penyusup. Sempat beberapa diantaranya tertangkap aparat. Bahkan yang dikatakan provokatornya HMI pun ada yang janggal. Pertama, warna hijau di bendera HMI berbeda. Kedua, mana mungkin peserta Aksi Damai dari HMI menggunakan pakaian seperti halnya preman. Ini aneh. Dan perwakilan dari HMI pun sudah meyampaikan bahwa tidak benar kericuhan bermula HMI.
Laporan dari JITU yang dikutip di Facebook Ustad Salim A. Fillah pun semakin menguatkan bahwa kericuhan dan chaos terjadi bukan dari umat Islam. Hal ini dimulai dari aparat yang menembakkan gas air mata dan senjata lainnya. Padahal dengan lantang pemimpin pasukan pun mengatakan “jangan tembak kami”. Bahkan barisan FPI pun sempat menjadi pagar untuk pihak aparat agar tidak menyerang umat Islam. Tapi apa daya, chaos pun terjadi. Ustad Arifin Ilham dan Syeikh Ali Jaber pun menjadi korban. Silahkan tonton videonya di sini
“Mana buktinya? Nggak ada di media Metro TV dan Kompas TV.”
Masih saja percaya 2 media di atas? Asal tahu saja, Metro TV malah diusir dari Aksi Damai oleh masyarakat. Lihatlah berita dari mereka yang terjun langsung ke lapangan. Masih belum percaya? Lihat saja perbedaan 5 koran antara Kompas, Media Indonesia, Warta Kota, Tempo, melawan 1 Republika 5 November 2016. Headline “Aktor Politik” melawan Republika yang dengan tegas menuliskan di headline “Aksi Bermartabat”. Jelas berbeda. Katanya seorang teman sih “Anda lebih percaya media atau kami yang turun ke dunia nyata?”
Belum percaya juga? Bagaimana dengan liputan dari Net TV? Di hari saat Aksi Damai berlangsung, pasangan pengantin melangsungkan pernikahan di Gereja Katedral. Buktinya aman-aman saja. Bahkan umat Islam memberikan jalan dan membantu dengan damai. Lalu bagaimana dengan pendapat Lin Che Wei saat melihat Aksi Damai 4 November secara langsung? Dengan jujur dia sampaikan di timeline Facebooknya.
“Itu semua gerakan politik. Kamu jangan mudah percaya.”
Gerakan politik? Bagaimana mungkin gerakan politik tapi bisa menjadi trending topic dunia? Bahkan mendapat dukungan positif di berbagai negara seperti Australia dan Pakistan.
“Bisa jadi ada politisasi di sana sini. Namun siapapun yang sudah melintang dengan dunia gerakan, segera mengerti. Mustahil ada gerakan sebesar itu jika tak ada gerakan hati yang memang jujur dirasakan oleh pelakunya.”
Kalimat di atas adalah pengakuan dari Denny JA. Siapa beliau. Anda pasti sudah tahu.
Lanjutkan Berbuat Baik
Jadi bagaimana kesimpulannya?
Ya sudah. Lakukan saja kebaikan masing-masing. Jangan hanya sibuk di Jakarta saja. Termasuk bagi kita yang dengan jiwa dan tekat kuat membangun Indonesia lebih baik. Lakukanlah sesuai dengan porsi masing-masing. Buktikan kalau nasionalisme itu memang ada dari dalam hati. Apakah bisa nasionalisme teruji ketika Anda tidak terliput media? Disanalah keikhlasan berkontribusi diuji. Sudah lakukan saja.
Seorang guru pun sempat berpesan,
“Jangan sampai sibuk dengan Jakarta tapi kebaikan di daerah terlupakan.”
Ayo, lanjutkan berbuat kebaikan dengan jalan masing-masing.
Ohya, pas Aksi Damai 4 November kemarin Bapak Presiden kemana ya? Padahal jutaan rakyat ingin bertamu. Bukankah beliau sering blusukan kemana-mana dan katanya merakyat? Setelah merasa kehilangan, akhirnya media mencari dimana Bapak Presiden berada. Ternyata, benar beliau blusukan di proyek bandara Soekarno-Hatta. Tapi kok aneh ya. Jutaan umat yang sudah jauh-jauh hari merencanakan bertamu ke istana tidak diterima. Memang hebat Bapak Presiden ahlinya blusukan. Katanya sih beliau ingin pulang naik angkot biar hemat. Jadinya macet deh. Ah sudahlah.
Untuk saudaraku dimanapun berada. Mari berbuat baik untuk negeri ini. Tak peduli pribumi atau Cina. Mari akui bersama bahwa #KitaIndonesia. Terlepas dari segala perbedaan keyakinan, itu tidak lantas menjadikan kita terpecah. Karena kita tak mungkin bisa menjadi SATU, tapi kita harus BERSATU.
Lakukan jalan kebaikan masing-masing. Tetap bermimpi besar untuk Indonesia Berdaya. Lalu mulailah dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil, dan mulai dari sekarang.
Rezky Firmansyah
Hamba yang tertutup aibnya dan mengaku cinta Indonesia