Malam itu di kampus, saya baru menyelesaikan tugas dan hendak pamit pulang dengan sekumpulan teman di kursi seberang.
“Aku pamit dulu ya. Mau pulang.”
“Eh Rez, sini dulu. Aku mau nanya.”
Seorang teman beriman Kristiani dan “berfisik” Cina menanyakan hal yang sedang hot news.
“Gimana pendapatmu dengan aksi 4 November?”
“Aku setuju.” Saya menjawab dengan singkat.
“Lah kenapa?” Dia membalas.
“Mereka hanya menuntut keadilan.”
Pertanyaan ini membuat kepulangan saya tertunda sebentar. Di kursi itu ada 3 teman lainnya. 1 Buddha dan 2 lagi Katolik. Persamaan mereka berempat adalah sama-sama “berfisik” Cina. Perbedaan kami berlima, agama kami berbeda. Dan persamaan kami berlima, kami sama-sama Indonesia.
Saya pun mulai membuka pembicaraan.
“Begini. Kasus itu bermula dari ucapan Ahok yang menghina Al-Quran surah Al-Maidah ayat 51. Di dalam ayat itu menjelaskan tentang larangan Muslim memilih pemimpin non Muslim. Itulah ajaran kami. Kamu pun kalau membaca Injil akan menemukan larangan memilih pemimpin non kristiani. Mereka hanya menuntut keadilan. Karena selama ini media selalu menyudutkan Islam. Seorang Muslim di Hindu pernah secara tidak sengaja keceplosan dituduh menghina bagian dari ibadah Hindu di Bali. Dia pun diadili. Begitu pula yang mereka tuntut atas Ahok. Mereka hanya menuntut keadilan.”
“Ya tapi kok kayak gitu banget sih.”
“Kamu tahu nggak tentang kasus masjid yang dibakar di Papua?”
“Nggak tahu. Emang ada?” Mereka bertanya seolah tak tahu.
“Nah itu kan, kalian nggak tahu. Karena media nggak meliput seperti berita lainnya.”
“Tapi ada juga vihara dibakar kan?”
“Iya benar ada. Tapi hebohnya beda kan dengan masjid yang dibakar?”
Saat itu saya tidak sempat menceritakan panjang lebar tentang vihara yang dibakar serta provokatornya. Termasuk juga tentang pelaku pembakar masjid di Papua yang diundang ke istana.
“Kami seperti minoritas di mayoritas. Tak dianggap dan tersudutkan. Misalkan saja yang melakukan Aksi Damai besok. Salah satunya adalah FPI. FPI memang adalah salah satu front yang keras dan terdepan dalam membela Islam. Tapi ketika mereka melakukan anarkisme, media dengan heboh meliput. Tapi ketika mereka melakukan kebaikan turun tangan di bencana alam, tidak ada media yang meliput. Termasuk ketika massa Islam yang mengadakan aksi sebelumnya di ibukota. Media memfitnah dengan membuat kerusakan sendiri di salah satu taman, lalu meliputnya. Padahal umat Islam tidak ada menginjak dan merusak taman itu. Kasus lainnya ketika di Rohingya. Penindasan terhadap umat Islam di Rohingnya oleh umat Buddha di sana. Adakah seheboh mereka meliput ISIS?”
Teman saya yang Buddha terdiam. Dia memang tidak tahu kasus itu. Dan saya sama sekali tidak menyalahkan karena dia beragama Buddha. Lalu teman saya yang Kristen pun menambahkan.
“Iya ISIS itu kan belum tentu cerminan dari Islam.”
Lalu teman saya yang Katolik menambahkan,
“Tapi kami juga sering dikatakan pembual.”
“Ya itulah stereotype yang terjadi di antara kita.”
Pembicaraan kami berlanjut ke topik lain. Mulai dari menutup aurat, pacaran dan seterusnya. Hingga beberapa saat kemudian kami pun bubar. Ya mungkin diskusi lintas agama harus sering-sering dilakukan agar setiap orang lintas agama bisa salling mengerti.
Saya sama sekali tidak sungkan ketika mengatakan, “Ya saya mendukung Aksi Damai 4 November” di depan mereka. Kenapa juga harus sungkan? Karena saya percaya mereka semua berpikiran terbuka. Mereka adalah bagian dari organisasi yang saya pimpin. Dan kami bisa saling mengerti.
Apakah dengan mendukung Aksi Damai 4 November saya anti Cina? Apakah saya anti Kristen? Apa buktinya? Lah teman-teman saya di kampus hampir 80% Cina. Sebagian besar dari mereka Kristen dan Katolik. Saya malah menjadi Presiden Badan Legislatif Mahasiswa Universitas. Di dalamnya ada Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Kami hidup damai. Bahkan dengan fungsionaris mayoritas non Muslim di saat waktu rapat dan masuk waktu sholat, kami yang Muslim izin untuk sholat. Begitu pula dengan rapat rutin. Ditiadakan di hari Sabtu dan Minggu. Itu hal yang biasa.
Kamu kenapa sih ikut-ikutan gerakan 4 November? Apa untungnya bagi kamu? Lah kamu bukan orang Jakarta.
Mungkin ada saja yang berpikiran seperti itu. Ini sama saja halnya dengan untuk apa peduli dengan saudara kita di Suriah dan Palestina. Toh kita tidak tinggal di sana kan? Lalu kenapa peduli? Jawabannya sederhana. Karena umat Islam dimanapun berada, kita bersaudara. Ada ukhwah yang terjalin di antara kita. Ada ikatan hati ketika agama ini dinodai.
Begitu pula dengan Aksi Damai 4 November. Ini bukan sesempit persoalan Jakarta dan Pilkada. Saya tak menilai ini seperti aktivitas politik. Cobalah renungkan kembali. Bagaimana mungkin di tiap kota besar umat Islam bersatu menyuarakan pendapatnya? Bukan hanya kali ini loh. Oktober lalu sudah banyak. Ohya, kejadiannya kan tidak terliput media.
Apakah masuk akal jika ini adalah gerakan politik? Apakah masuk akal jika semua umat Islam di penjuru kota bersatu untuk membohongi umat? Apakah masuk akal itu semua? Hati nurani saya berkata tidak mungkin. Allah lah yang mempersatukan hati umat Islam untuk bergerak.
Memang tak akan ada pengaruh langsung yang terjadi ketika saya membersamai saudara seiman untuk #BelaQuran di Aksi Damai. Lah saya saja tilawah masih keteteran. Hafiz Quran 30 juz? Juz 30 aja masih ada yang kelupaan. Memang saya tak pantas (belum) menjadi pejuang Quran. Tapi paling tidak, ketika kelak Allah bertanya, saya akan menjawab berada di barisan yang mendukung.
Saya tidak ingin menjadi pena yang tumpul dalam menyuarakan kebenaran. Hanya menulis apa yang disukai saja. Hanya menulis dengan standar aman. Saya ingin menjadi seorang penulis yang tajam dan santun dalam menyampaikan. Memberikan solusi dan pencerahan. Mungkin saya tak sekeras Jonru atau selembut Salim A. Fillah dalam menyampaikan. Tapi kelak, ya saya ingin menjadi mata pena yang tajam dan santun dalam menyampaikan. Itulah salah satu visi yang saya sampaikan kepada Allah.
Apalah arti tulisan ini di mata manusia? Belum tentu bisa menggerakkan. Jelas kalah jauh dibandingkan media yang membingkai opini palsu ke masyarakat. Tapi saya tak mau diam. Sampaikan kebenaran.
Mungkin akan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan terlewat. Kalimat pembelaaan bahwa Ahok tidaklah menghina ayat Al-Quran. Ditambah lagi dengan pembelaan (yang katanya) tokoh agama. Ya masih saja. Ada saja yang membenturkan siapa pembela agama dengan penjual agama. Mereka yang pembela agama adalah mereka yang senantiasa toleransi. Dan mereka yang penjual agama adalah mereka yang senantiasa berjuang dalam jalan Allah walaupun fitnah dan cacian selalu bermunculan. Media mungkin berhasil melakukan itu semua. Selamat.
Masihkah kita ragu? Tak cukupkah bagi hati ini bukti dari para alim ulama lain yang terjaga kesucian tutur katanya? Apakah MUI tak layak lagi kita percaya? Bagaimana dengan AA Gym dan Salim A. Fillah yang biasanya kalem tapi turut serta menyuarakan pembelaan? Apakah layak bagi kita mengatakan bahwa mereka tak paham ilmu? Atau masih kita yang mengedepankan hawa nafsu dan logika? Mungkin inilah dampak bagi kita yang semakin jauh dengan para ulama. Tak lagi percaya dengan alim ulama. Karena dalam hati berkata bahwa Islam hanya untuk akhirat. Perkara dunia biarkan logika yang berbicara. Indonesia bukan negara Islam. Aturan Allah hanya bersifat personal. Jangan dijual dalam memilih pemimpin.
Tak masalah bagi engkau yang tidak turut serta menghadiri Aksi Damai 4 November. Tak masalah. Tapi cobalah maknai pesan dari Ustad Oemar Mita
Untuk yang diam, janganlah diam yang merongrong semangat
Untuk yang bergerak, bergeraklah yang tidak merusak.
Bergerak yang menumbuhkan wibawa
***
Yang bergerak belum tentu lebih pahlawan
Yang diam belum tentu lebih berilmu
Saling menghormati
Bawalah air yang menyejukkan hati
Bukan minyak yang membakar hati
***
Untukmu yang bergerak,
Selimuti hati dengan rasa ikhlas
Usir rasa sombong hati
Mintalah perlindungan kepada Ilahi
Semoga setiap langkah diberkahi
***
Toleransi. Inilah mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan pesan di hati. Kenapa kita malah sibuk menyalahkan sesama Muslim? Kenapa begitu sulit menumbuhkan toleransi sesama Muslim. Lantas kepada non Muslim toleransi begitu ringan. Ada apa dengan hati?
Memang saya tidak ikut turun langsung terjun ke lapangan. Tapi insya Allah membantu melalui doa dan donasi. Anda pun masih bisa di Keadilan Untuk Semua melalui rekening BNI Syariah 0390718457. Lakukanlah apa yang bisa dilakukan. Semoga mampu bernilai timbangan kebaikan.
Untukmu, saudaraku dimanapun berada.
Tak sedikitpun hati ini menyalahkan atas apa yang engkau lakukan. Karena diri ini pun sadar tak layak menyalahkan. Tapi segenap hati, insya Allah diri ini mendoakan.
Bagimu yang turun ke lapangan. Semoga Allah berikan kekuatan dan kelurusan niat dalam berjuang.
Bagimu yang membantu melalui doa dan donasi. Semoga Allah menilai sebagai timbangan kebaikan.
Bagimu yang masih abstain dan takut berpendapat. Semoga Allah membuhkan ghirah dan rasa cemburu kepada mereka yang tegas berjuang.
Bagimu yang masih bingung dengan berbagai opini palsu dari media. Semoga Allah menunjukkan dengan jelas mana yang benar mana yang salah.
Bagimu yang cinta damai dengan dengan mudah mengatakan, “sudah maafkan saja”. Semoga kebaikanmu bersikap adil. Bukan hanya memaafkan di kasus ini saja. Maafkan pula kesalahan orang lain.
Bagimu yang dengan lantang membela kebatilan. Yang dengan tegas menyuarakan “Ahok tidak salah. Ahok adalah korban politik. Kita butuh Ahok karena telah tegas dan anti korupsi”. Semoga Allah menurunkan hidayah dan melapangkan hatimu menerima kebenaran. Karena dalil Al-Maidah : 51 tidak berdiri sendiri. Ada banyak dalil lain yang menguatkan.
Dan juga,
Bagi Bapak Presiden Joko Widodo dan aparat pejabat pemerintah. Semoga Allah menurunkan keadilan dalam setiap keputusan yang Bapak ambil.
Bagi Bapak Basuki Thahaja Purnama. Semoga Allah memberikan hidayah padamu, atas hatimu, atas tutur katamu, atas sikapmu.
“Doakan negeri ini. Doakan yang ada kata INDONESIA-nya dalam doa”
Semoga,
Semoga Allah meridhoi negeri ini
Negeri Indonesia ini
Rezky Firmansyah
Hanya seorang hamba yang tertutup aibnya