Haruskah Membuat Orang yang Sudah Menolakmu Menyesal?
Pertanyaan yang (saya rasa) pasti mengundang rasa keinginan kamu untuk menjawab. Ada yang menjawab harus, ada juga yang menanggapi biasa saja.
“Iya dong harus. Aku sudah berjuang seiya-iyanya, tapi dia meninggalkan aku begitu saja.”
Ya memang, kadang perjuangan itu tidak selalu berbuah keberhasilan.
Ada juga yang menjawab dengan santai.
“Nggak perlu sih menurut aku. Kenapa harus bikin dia kecewa? Kenapa nggak jalani aja proses kehidupan yang baru?”
Apapun jawabanmu, itu pilihanmu. Lalu bagaimana jika saya ditanya pertanyaan serupa?
***
Ditolak itu tidak enak? Ya, saya setuju. Apalagi jika penolakan ini tentang rasa. Baper pasti ada.
Saya akan awali dengan kegaluaan anak muda. Quarter life crisis. Kalau ngomongin quarter life crisis, biasanya nih ada 5 opsi yang akan dipikirkan.
- Kerja di mana ya?
- Mau bisnis apa?
- Lanjut S2 nggak ya?
- Pengen gap year ah
- Nikah dengan siapa?
5 opsi tadi sudah saya alami dan maknai. Cek saja di postingan ini. Tapi kali ini saya akan menceritakan yang kelima. Nikah dengan siapa?
Sejak lulus kuliah, (lebih tepatnya sidang akhir), saya sudah merencanakan untuk menikah. Dan hingga kini, rencana itu masih menjadi wacana. Tapi apakah saya tidak berusaha?
Kamu tahu, sudah berapa kali saya berpacaran berproses? Tak banyak yang tahu. Atau bahkan tidak ada yang tahu. Bisa jadi karena saya tidak pernah memublikasikan foto romantis berdua dengan caption yang so sweet agar orang komentar “langgeng ya”. Memangnya karena tidak memublikasikan berarti tidak berproses?
Lebih baik diam-diam menikah dibandingkan yang terang-terangan publikasi tapi akhirnya diputusin pas sayang-sayangnya kan? Perih banget.
Terhitung sejak awal Januari 2017, saya sudah berproses sekian kali. Setiap dari proses itu saya pun belajar banyak hal. Belajar tentang:
- Prinsip yang harus disepakati saat berkeluarga
- Kegigihan untuk memperjuangkan seseorang
- Memastikan keseriusan atau hanya penasaran
- Memberanikan diri menyampaikan maksud ke calon mertua
- Belajar untuk menerima, melengkapi, dan menguatkan
- Menerima keputusan terbaik dari Allah
- Dan masih banyak lagi
Banyak hikmah? Ya, saya setuju. Karena saya adalah tipe pembelajar. Bahkan dengan memaknai rasa, saya pun bisa menghasilkan karya. Buku ke-17 yang berjudul Kita Dalam Kata adalah buktinya. Tapi, kenapa sampai sekarang belum berhasil? Saya belum bisa menjawabnya. Yang jelas, Allah pasti tahu jawabannya kenapa.
Baca Juga :
Untukmu Perempuan yang Singgah di Masa Lalu, Terima Kasih Atas Pelajaran Ini
Untukmu yang Ada di Masa Depanku, Apa yang Membuat Kita Bersatu?
“Kamu putus asa ya sampai menulis kayak beginian?”
Bukan. Saya orangnya mah woles. Lagipula menulis adalah salah satu pelampiasan positif yang biasanya saya lakukan. Self healing. Saya nggak desperate dengan segala keputusan yang Allah berikan. Karena saya percaya, Allah pasti beri yang terbaik untuk hamba-Nya. Untuk saya, dan untuk kamu juga. Kamu yang menolak ataupun menanti.
Sekarang kembali lagi, haruskah membuat orang yang menolakmu kecewa?
***
Menyesal adalah akibat. Sebelum akibat, pasti ada sebab.
Ditolak adalah akibat. Sebabnya adalah alasan : pengen S2 dulu, belum diizinkan orang tua, atau ungkapan “kamu terlalu baik buat aku.”
Apakah harus membuat seseorang menyesal? Karena bisa jadi kan, kamu tidak melakukan apapun, menjalani hidup seperti biasa, tapi dia menyesal. Apakah dia menyesal karena keputusan penolakan atau karena “hal yang kamu lakukan” setelah penolakan?
Perhatikan, ada dua hal yang memunculkan penyesalan terjadi.
Pertama, menyesal karena penolakan yang dia lakukan. (alamiah)
Contoh. Kamu laki-laki baik. Perempuannya pun baik. Dia menolakmu karena belum menemukan “klik”. Belum ada rasa.
Kesepakatan diambil. Proses tidak dilanjutkan. Kamu sibuk dengan proyek kebaikanmu, perempuan pun sama, sibuk dengan proyek kebaikannya. Berjalan seperti biasa.
Waktu pun berjalan. Hingga akhirnya rasa itu datang perlahan dengan meyakinkan. Kamu masih saja sendiri. Begitu pula perempuan tadi. Tapi kamu tidak lagi menghampiri. Karena kamu sudah menyatakan tidak datang lagi. Lantas, perempuan menyesal karena menolak kamu, laki-laki baik. Mungkin dulu belum ada “rasa”. Tapi nyatanya kini, dia merasa kamu bisa menguatkannya di masa depan.
Kamu tidak melakukan apa-apa. Penyesalan terjadi secara alamiah.
Kedua, karena “apa yang kamu lakukan” setelah penolakan. (buatan)
Kamu, laki-laki baik datang dengan niat baik untuk menyampaikan maksud baik. Tapi sang perempuan tidak menerimamu dengan alasan “aku rasa kamu tidak bisa mengikuti caraku berpikir”. Kamu kecewa. Tapi kamu sadar, life must go on.
Kehidupan berlanjut. Kamu menyibukkan diri dan memantaskan diri. Membuktikan pada perempuan bahwa kamu bukanlah laki-laki lemah seperti yang dia kira. Segala “kebaikan” kamu posting di Instagram. Bahkan sesekali mention akun perempuan yang menolakmu untuk membuktikan bahwa sebuah kesalahan besar telah menolak kehadiranmu.
Penyesalan yang direncanakan.
Tipe manakah kamu?
***
Semua itu pilihan. Pasti ada konsekuensi. Apapun itu, hadapilah dengan bijak.
Tidak usah terlalu sibuk dengan orang lain. Apalagi sampai merencanakan sedemikian rupa bahwa dia pasti menyesal telah menolakmu. Itu tak penting. Yang jauh lebih penting adalah meluruskan niat. Bukankah menikah adalah ibadah?
Apakah hijrahmu agar mendapat pasangan shalehah?
Apakah dakwahmu agar mendapat banyak perhatian ukhti-ukhti syar’i?
Apakah aktivitas kebaikanmu diposting agar mendapat komentar akhi-akhi cakep?
Ah, kehidupan yang begitu ribet. Memikirkan orang yang belum tentu memikirkanmu.
Sudahlah berbuat saja. Berjalanlah. Percaya saja, laki-laki baik akan dipertemukan dengan perempuan baik. Dengan cara yang baik dan waktu yang baik.
Atau bisa jadi sekarang ini, bagi siapapun kamu yang prosesnya tertunda : orangnya sudah tepat, tapi di waktu yang tidak tepat.
Beri kita sedikit waktu
Semesta mengirim dirimu untukku
Kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah
Fiersa Besari feat Tantri – Waktu yang Salah