Apa penilaian keberhasilan sebuah organisasi?
Pertanyaan ini pasti akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Tergantung apa organisasinya atau siapa yang menjawabnya. Tapi ada jawaban yang berlaku untuk setiap organisasi. Organisasi akan dinilai berhasil apabila tercapainya tujuan awal pendirian, misi dalam periode tertentu, dan setiap anggota bisa saling mengerti dan memahami.
Jawaban ini mungkin terkesan subjektif. Tapi tak ada yang salah dengan jawaban ini. Tentunya akan ada tambahan indikator keberhasilan lain. Nah itu tadi, tergantung apa organisasinya dan siapa yang menjawab.
Patut diakui bahwa saya bukanlah aktivis organisasi yang bisa terlibat dalam belasan organisasi. Saya hanya bergabung dalam beberapa organisasi. Tapi yang membedakan saya dengan orang lain adalah adanya tujuan dan persamaan visi. Bahkan dalam setiap organisasi yang bersifat struktural saya memegang peran yang strategis.
Salah satunya adalah Student Representative Board Universitas Ciputra yang usianya masih balita. Memasuki periode ini baru berumur 3 tahun. Perkembangannya pun menunjukkan grafik yang positif. Tentunya dengan berbagai warna dan konflik positif di setiap periodenya.
2016-2017 adalah tahun kedua saya di organisasi ini. Setelah tahun sebelumnya menjadi anggota Komisi Advokasi di tahun kedua diamanahkan menjadi presiden. Naik kelas. Begitulah seharusnya hidup. Berat? Berat memang. Tapi yang akan membuat perjalanan organisasi menarik adalah pemaknaan di setiap waktunya. Salah satu cara yang saya lakuan adalah mengubungkan passion dan organisasi. Buktinya adalah Catatan Organisasi yang saya tulis ini. Insya Allah di akhir organisasi akan ada buku dan konsep yang siap dilaunching.
Baca Juga :
Sebagai Orang yang Sibuk dengan Organisasi, Berikut adalah 3 Alasan Kenapa Kamu Harus Menulis CATOR
Di awal periode terpilih, pertama kali yang disampaikan kepada seluruh anggota adalah visi misi organisasi serta strategi mencapainya. Semuanya sudah dibahas lengkap di Grand Design SRB 2016-2017. Silahkan download di sini.
Tercapainya visi dan bisa saling mengerti. Menarik memang. Dan prinsip Team-Family pun dicoba untuk diterapkan di Student Representative Board. Bukan hanya sering kumpul bersama, tapi bisa bertumbuh bersama. Bermakna, bertumbuh, dan berdampak.
9 bulan berlalu, peningkatan itu pun terasa. Ada yang sudah mulai menemukan hatinya di organisasi, ada yang sudah berani untuk SPEAK UP, dan juga ada yang sudah memperluas pengaruhnya melalui tulisan. Salah satunya adalah Nabila, ketua Komisi C yang bertanggungjawab terhadap tata aturan organisasi. Beberapa waktu yang lau dia sempat diwawancarai IDNTimes tentang perbedaaan dan millennial. Tulisannya bisa kamu baca di sini.
Organisasi tidak membuat kita menjadi satu, tapi membantu kita untuk bersatu. Walaupun hanya sedikit perbedaan kata tapi pemaknaannya beda. Menjadi satu bermakna mengendaki setiap orang untuk menjadi sama, menjadi satu. Sedangkan bersatu bermakna seperti halnya Bhineka Tunggal Ika. Walapun berbeda tapi tetap satu juga. Perbedaaan suku, ras, agama, tapi tetap menghargai satu sama lain.
Salah satu ujian Bhineka Tunggal Ika ini biasanya terjadi dalam implementasi ibadah tiap agama. Seperti halnya natal yang akan dirayakan oleh umat Kristiani dan Katolik pada tanggal 25 Desember. Seringkali toleransi beribadah salah paham di sini. Seakan-akan toleransi itu berarti beribadah bersama apapun agamanya.
Di Student Representative Board dengan total fungsionaris sebanyak 29 orang, agama yang ada di Indonesia pun lengkap di sini. Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Asal kami pun juga terpencar dari Sumatera hingga Papua. Kebebasan beribadah sesuai agama masing-masing pun berjalan dengan baik. Bagi Muslim yang akan sholat ketika rapat pun diberikan izin. Begitu pula dengan yang beribadah ke gereja.
Saya Muslim. Dan aturan dalam Islam melarang setiap Muslim untuk mengucapkan atau merayakan ibadah agama lain. Termasuk natal. Hal ini pasti akan terlihat aneh bagi mereka yang belum mengerti. Pun juga akan ada banyak pendapat kontroversi yang malah memperpanjang perdebatan. Kok ada yang melakukan dan ada yang tidak melakukan. Nah kan. Kok bisa? Jika saya bahas di sini akan sangat panjang. Prinsip saya dalam beragama sederhana, dengarkan dan taati. Dan juga pahami agar kelak dalam penyampaian kepada orang lain bisa saling mengerti.
Kali ini saya tak perlu menuliskan alasan kenapa dilarang dengan panjang. Tapi saya akan memberikan gambaran nyata kehidupan dalam perbedaan.
Suatu hari, saya coba diskusi lintas agama kepada Agnes dari Komisi A. Seorang perempuan yang dari kaca mata pribadi saya lihat sebagai penganut agama Katolik yang taat ke gereja dan juga rutin dalam adorasi. Bertukar pikiran agar bisa saling mengerti tentang perbedaan. Hingga di satu pertanyaan menarik, ada kesimpulan bijak muncul.
“Kamu merayakan natal dan aku nggak ucapin selamat natal sama kamu. Itu masalah nggak buat kamu? Maksudnya kamu tersinggung nggak kalau aku nggak ucapin.”
“Nggak sih.”
Jawaban singkat tapi bermakna. Karena tak mungkin karena satu hari hubungan baik yang dijalin selama ini akan rusak. Kenapa hanya mempermasalahkan 1 hari dan mengabaikan 365 hari lain? Bukankah perbedaan di organisasi membuat kita bisa saling mengerti?
Untukmu agamamu, untukku agamaku. Inilah ayat yang yang paling sering digunakan dalam diskusi lintas agama. Termasuk dalam penerapannya. Toleransi beragama berarti membiarkan penganut agama lain melakukan ibadahnya. Bukan menghendaki penganut agama lain mengikuti ibadah yang sama.
Karena dengan perbedaan kita harusnya bisa saling memahami. Karena kita dipertemukan di sini bukan untuk menjadi satu. Kita dipertemukan di sini untuk bersatu. Karena aku butuh kamu untuk menjadi kita, kita yang peduli dan tumbuh bersama untuk Indonesia lebih baik.
Keep writing, always inspiring!
Rezky Firmansyah
Passion Writer
Founder Passion Writing Academy