Sore tadi selepas Asar saya berdiskusi dengan 2 orang anak muda. Belum nikah semua. Walaupun yang satu udah ada calon. Terlepas dari status kami, ada hal menarik yang ingin saya tuliskan kali ini. Mengenai optimisme perubahan anak muda.
Entah kenapa, saya melihat keanehan bagi pemuda umur “sekian”. Karena di umur “sekian” rasa optimisme dan idealisme untuk membangun diri dan bangsa lebih baik perlahan mulai terkikis. Alasannya pun seolah-olah masuk akal. Kamu tahu apa? Ya benar, “this real life bro, bukan dunia kuliah lagi”
Dan saya bertanya dalam diri, apa bedanya dunia kuliah dan dunia nyata? Bukankah sama-sama dunia? Ya memang pasti ada penyesuaian sana sini. Mulai dari dulunya datang kuliah karena harus absen di kelas, setelah di real life datang kerja supaya gaji keluar. Ya memang beda. Tapi apakah rasa optimisme perubahan harus berubah?
Di tengah diskusi kami, datanglah seorang Ustad dan bertanya kepada yang paling tua dari kami. Dan itu bukan saya, percayalah,
“Antum jurusan apa?” tanya ustad
“Jurusan Elektonika ustad” yang tua menjawab
“Apa bang? Elektronikah?” suara asing lewat
“Nah kenapa antum tidak memberikan solusi untuk mesjid ini. Misalkan saja rancangan wifi sebagai penarik banyak anak muda untuk datang ke mesjid. Sehingga ketika adzan mereka langsung sholat.”
“Yaah ustad. Benar juga. Tapi apalah saya ini. Gak punya kuasa untuk itu”
“Antum sudah lakukan apa”
“Belum ada”
Nah ini! Ini yang seringkali membuat saya jengkel dengan banyaknya anak muda. Bukan dengan si abang ini. Karena memang banyak anak muda yang bermental seperti ini. Belum lakukan apa-apa tapi bilang “saya ini apalah, tak punya kuasa”. Tapi ketika ditanya sudah berbuat apa, jawabanya belum ada. Ya mungkin mereka adalah korban dari lagu “aku tanpamu butiran debu”.
Sedikit berbincang, Ustad tadi pergi dan diskusi akmi masih berlanjut. Masih dengan memegang alasan yang sama.
“Iya betul Ky. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Untuk memberikan perubahan yang besar itu kita harus butuh kekuasaan dan uang. Kalau gak punya, kita gak bisa apa-apa. Cobalah lihat Ridwan Kamil. Sebelum jadi walikota dia juga usaha. Tapi gak dianggap”
Sejenak saya terdiam untuk berpikir. Mencari jawaban yang membangun untuk pernyataan yang “katanya” realistis ini.
“Oke bang, betul Ridwan Kamil ini sebelum jadi walikota tak dianggap sama yang lain. Tapi bukan karena tidak dianggap dia lantas diam kan? Dia terus bergerak, membangun, dan berkontribusi kan? Hingga suatu titik dia mendapatkan kesempatan naik level menjadi walikota. Nah apakah ketika dia berhenti dan menyerah karena tidak dianggap orang lain dia akan menjadi walikota? Gak kan? Nah itu makanya kita harus terus bergerak”
Bukan hanya Ridwan Kamil sebenarnya. Karena kebetulan abang tadi dulunya kuliah di Bandung dan mengambil contoh Ridwan Kamil. Banyak kok orang lain yang terus bergerak dan membangun walaupun dirinya tidak dianggap. Mengenai ini sudah saya tulis “Percayalah, Harapan Ibu Pertiwi Masih Ada”
Tapi masih saja tetap ada alasan realistis lain.
“Kalau gak punya kuasa itu kita gak bisa apa-apa. Karyawan misalkan. Pas kita nyampaikan ide dan inovasi pasti aja ada jawaban sinis kamu bisa apa. Masih baru kok disini. Sulit Ky. Abang udah rasakan sendiri”
Jawaban ini tidak saya jawab tadi. Karena kebetulan kami bergegas pulang. Tapi saya tetap kepikiran. Bagaimana mungkin diam bisa memberikan perubahan? Bagaimana mungkin dengan alasan masih karyawan baru tidak boleh ada ide yang diperjuangkan. Sehingga apa bedanya diri ini hadir perusahaan atau tidak. Bukankah perusahaan membutukan karyawan baru untuk ide dan inovasi baru agar perusahaan lebih maju?
Memang berat memperjuangkan ide dan inovasi sebagai ide. Bahkan Steve Jobs pun tersingkir dari perusahaannya sendiri. Tapi apakah dia berhenti? Tidak kan? Dia terus maju dan memantaskan diri. Hingga satu titik dia berhasil kembali dan memberikan perubahan besar untuk dunia dengan perusahaan Apple-nya.
“Abang ada ide kok. Tapi ya tadi. Gak ada yang mendukung. Kuasa dan uang juga tak ada”
Pernyataan realistis lainnya. Hufft. Entahlah, apa yang membuat begitu banyak alasan kita untuk membangun diri lebih baik. Karena ketika saya kembali bertanya:
“Jadi apa ide abang?”
“Ya gimana caranya membangun perekonomian lebih baik”
“Oke mantap. Jadi caranya gimana?”
“Eeehh . . .”
Nah kan! Ini lagi alasan lainnya. Yang membuat kita tidak berdaya dan berjuang sungguh-sungguh karena kita tidak punya tujuan yang jelas. Kita tidak punya ide dan solusi yang diperjuangkan. Bahkan bisa jadi kita tidak mau mencari itu karena berbagai pembenaran. Misalkan saja bagaimana mungkin bisa membantu orang lain jika diri sendiri masih luntang lantung.
Sahabat, percayalah yang kita butuhkan adalah finding right partner. Karena lingkungan yang berpikiran kecil akan membuat diri ini kecil. Ketika terbangun sinergi right partner antara yang punya kuasa, uang, dan ide maka saat itulah solusi akan terealisasi. Ada banyak jalan, percayalah. Misalkan saja soal uang. Jika kamu punya ide dan gak punya uang, coba submit di kitabisa.com. Ada banyak crowdfunding dan jalan lainnya. Hanya saja seringkali diri ini pesimis duluan dan enggan mencari.
Jangan sampai ketidakmampuan diri mempengaruhi orang lain. Membuat mereka juga tidak mampu dengan memberikan rasa pesimis. Berikan pelajaran bagi mereka apa yang seharusnya diperbaiki. Apakah sehina itukah diri ini sehingga menginginkan orang lain juga tidak berdaya?
Diskusi kami ditutup dengan sebuah pengakuan,
“Jangan kayak abang Ky. Ini korban dari jadi karyawan.”
Aneh memang. Padahal dulunya saya kenal dia bisa membeli sepeda motor pake usahanya sendiri. Usaha bisnis. Bukan dari karyawan. Ya mungkin karena faktor jadi karyawan dan balik kampung di “kota kecil”, pikiran dan optimismenya ikut mengecil. Dan ini adalah hal yang saya hindari. Berkelana ke banyak kota mencari partner yang tepat agar perlahan mampu memberikan perubahan.
Memang kita sekarang bukanlah apa-apa. Tapi bukankah kita punya Allah Yang Maha Kuasa? Lantas apa yang membuat diri ini enggan memberikan perubahan? Atau apakah kita mulai hilang keyakinan Allah akan membantu kita?
Pertanyaan terakhir. Jadi apakah karena tidak punya kuasa dan uang kita tidak bisa berikan perubahan? Be the difference maker!
Keep writing, always inspiring!
Rezky Firmansyah
Penulis buku tersebar di 5 benua
Founder Passion Writing Academy
One thought on “Antara Realistis Kuasa dan Uang dengan Optimisme Perubahan”