Memaknai Bashiro wa nadziro, Antara Timnas Garuda, 212, dan Aleppo

Selangkah lagi untuk pertama kalinya Indonesia menjadi juara AFF. Tapi sayang, langkah itu terhenti di titik-titik akhir. Melihat apa yang terjadi, akan ada 2 reaksi yang berbeda. Pertama, “memang Indonesia tak akan juara”. Kedua, “tegakkan kepala garuda, kamu telah membuat kami bangga.”

Dua respon yang seperti ini akan sangat mudah kita temui dalam kehidupan. Timnas Indonesia di final AFF hanyalah contoh yang menggambarkan kondisi kekinian. Akan ada yang tetap memuji, akan ada yang mencaci. Ada yang bangga, ada yang kecewa. Tinggal kita saja yang bijak harus berada di posisi mana.

Saya jadi teringat dengan konsep bashiro wa nadziro, yang bermakna kabar gembira dan peringatan. Bashiro wa nadziro adalah konsep agama yang turun melalui perantara Rasul dan diterapkan oleh setiap umat manusia. Hanya saja seringkali kita tidak menyeimbangkan dua komponen utama ini. Hanya menyambaikan bashiro saja atau nadziro saja. Alhasil munculnya ketidakseimbangan.

Kabar gembira dan peringatan bisa diumpakan dengan good news dan bad news. Akan selalu ada dua sisi yang berseberangan. Hanya saja bagaimana cara kita menanggapinya. Seseorang yang hanya menerima good news dan bashiro saja akan terlena dengan apa yang dialaminya. Selalu bahagia padahal ada “masalah” yang harus dihadapi. Nadziro pun tak bijak jika disampaikan terus-terusan tanpa adanya bashiro. Karena sangat mungkin seseorang yang selalu disampaian nadziro akan tenggelam dalam kesedihan, ketakutan, dan keputusasaan.

Bashiro wa nadziro, konsep langit yang terabaikan. Padahal ini sungguh konsep yang sempurna. Bashiro hadir untuk memberikan kabar bahwa masih ada harapan di masa depan. Nadziro hadir untuk memberikan kesadaran bahwa kita harus terus berjuang. Sangat berimbang. Tidak terlena dalam kegembiraan dan juga tidak terjebak dalam jurang kesedihan.

Contoh yang sangat dekat lain adalah kabar duka dari negeri ini dan umat Islam dunia. Penistaan agama, Rohingya, gempa Aceh hingga Aleppo. Betapa banyak yang menyebarkan berita ini tapi hanya terbatas sebagai berita saja. Hanya memberikan peringatan saja tanpa ada unsur harapan. Tanpa ada pemikiran, “what’s next?”

Baca Juga :
Jangan Habiskan Energimu untuk 212
Tentang 4 November dan Seterusnya untuk Negeri Ini, Semoga Allah Meriodhoi

Saya adalah orang yang sangat pantang pasrah dengan keadaan. Menyabotase diri bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukan. Padahal siapapun kita sekarang, pasti ada kontribusi yang kita berikan. Ada tiga modal utama kontribusi yang pasti kita punya : ide, harta, dan kuasa. Perihal ini pernah saya tuliskan di tulisan “3 Jawaban dan Solusi dari Alasan Aku Tidak Bisa Apa-Apa”.

Ambil contoh saja Aleppo. Siapa yang tidak sedih melihat Aleppo terkini. Bahkan ini bukan hanya tanggung jawab umat Islam saja, tapi umat manusia seluruh dunia tanpa pandang agama. Mana suara HAM yang dengan bangganya didengung-dengungkan? Jikalau HAM hanya untuk kebebasan berpendapat dan berkarya saja tentu ini konsep yang sangat keliru. Djakarta Warehouse Project dibebaskan atas dalih kebebasan berkarya, dan penistaan agama dibebaskan atas dalih tidak ada niat keburukan. Padahal terlihat jelas apa dampak negatif yang dirasakan anak muda dan bangsa Indonesia. Pergaulan bebas, perpecahan, dan konsep #gagalpaham “nggak masalah kasar yang penting nggak korupsi”. Tak korupsi dari mana? Tak korupsi dari kekaguman yang fana? Padahal jelas sudah ada data dan fakta tapi tetap saja dibela.

Kembali lagi ke konsep bashiro wa nadziro. Penyampai kabar gembira dan peringatan. Konsep ini sudah sempurna diturunkan tapi masih abai dalam pelaksanaan. Kunci pelaksanaannya sederhana, keseimbangan.

Konsep berpikirnya seperti ini. Jika ada masalah hadapi sewajarnya lalu cari apa solusinya. Start from complain and create something. Inilah yang biasa diterapkan oleh golongan optimis bangsa dan agama ini. Oke ada masalahnya, lalu apa solusinya?

7 juta umat Islam di Monas adalah bukti nyata. Mereka hadir atas panggilan iman. Tapi berhenti dan terjebak dari euforia saja tentu tidak bijak. Terbukti memang ada yang menjadikan ini momentum dan mencari solusi selanjutnya untuk bangsa ini. Pergerakan ekonomi umat dengan minimarket 212 misalkan. Dan juga ada yang merasa sudah di garis akhir tanpa ada solusi selanjutnya.

Begitu pula dengan Aleppo. Ada yang sibuk menyampaikan nadziro saja lalu pasrah dan berkata tidak tahu harus berbuat apa. Mereka mengabaikan bashiro dan harapan dalam kesempatan beramal.

Coba tanamkan mindset “pasrah adalah haram” maka akan ada banyak langkah yang akan kita temukan. Kita bisa berdonasi yang terbaik, berdoa yang terbaik, dan beraksi yang terbaik. Pasti ada jalan.

Aksi Cepat Tanggap, KNRP, Sahabat Al-Aqsha dan masih banyak lembaga donasi lain hadir bukanlah sebagai nadziro saja. Tapi juga bashiro dan perantara wadah bagi kita untuk berkontribusi nyata untuk bangsa dan agama ini. Sampaikan donasi terbaikmu kepada lembaga terbaik. Jangan hanya mengeluh dan berputus asa. Bukankah Allah dengan tegas melarang hamba-Nya untuk berputus asa di QS Yusuf : 87

Aksi Nyata untuk Aleppo
Aksi Nyata untuk Aleppo

Sosok bashiro wa nadziro. Seorang manusia yang menumbuhkan harapan dan kesadaran. Hidup dalam perjuangan, dan sadar bahwa perjuangan kita belum berakhir. Lalu pertanyaanya apa yang kamu perjuangkan?

Hidup tanpa ada perjuangan tak layak untuk diperjuangkan. (Mohammad Natsir)

Sekali lagi, untuk pasukan garuda. Tegakkan kepala, kamu sudah membuat kami bangga!

tegakkan-kepala-garuda
Keep writing, always inspiring!

Rezky Firmansyah
Passion Writer
Founder Passion Writing Academy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *