Beberapa hari yang lalu, saya menonton film Mulan di Disney+ Hotstar. Entah kenapa, ada semacam “panggilan” untuk menonton film tersebut. Mungkin efek kenangan lama. Karena sebelumnya di awal tahun 2000-an, saya pernah menonton film Mulan juga. Tapi versi kartunnya. Nah kalau yang ini versi live action.
Tidak. Tulisan ini tidak akan mereview film Mulan. Karena saya bukan reviewer film yang oke. Beberapa tulisan saya di blog rezkyfirmansyah.com ada yang membahas film sih. Freedom Writers dan Samulife contohnya. Tapi ya itu bukan review film. Saya tidak menceritakan alurnya. Saya hanya berbagi insight atas apa yang didapat. Begitu pula dengan tulisan kali ini.
Saya tidak tahu apakah Mulan ini berangkat dari kisah nyata apa bukan. Tapi apa yang saya tangkap dari film ini menarik. Mencoba untuk mengaitkan dengan isu yang cukup hangat belakangan ini, toxic parenting. Mari kita bahas satu per satu dulu.
Mulan adalah perempuan yang sejak kecil sangat aktif. Memiliki chi yang kuat dan modal skill bela diri. Tapi keaktifannya ini malah menjadi aib bagi keluarga di kalangan tetangganya. Perempuan kok gitu. Puncaknya terjadi saat proses “mak comblang” yang hasilnya gagal total.
Tidak lama setelah itu, datang perwakilan kerajaan yang mewajibkan setiap keluarga mengutus satu orang laki-laki untuk berperang. Ayah Mulan yang sudah cedera mengambil peran itu. Tapi diam-diam Mulan berangkat menggantikan ayahnya tanpa sepengetahuan keluarga.
Di kamp, tidak ada yang tahu Mulan adalah perempuan. Hingga suatu momen Mulan bertemu dengan musuh yang akhirnya membuat Mulan membuka diri, dan jujur kepada teman-temannnya bahwa dia adalah seorang perempuan. Hasilnya? Dia malah malah “dibuang” oleh pasukan.
Mulan tetap gigih dengan pendiriannya untuk turut berperang dan melindungi kaisar. Di akhir peperangan, Mulan menjadi pahlawan perang dan mendapatkan penghargaan dari kaisar langsung untuk menjadi perwira perang. Tapi Mulan menolak karena ada satu hutang yang harus dia selesaikan, pengabdian kepada keluarga.
Mulan adalah perempuan tangguh tapi juga patuh dengan keluarganya. Walau sering berdebat dan tidak sependapat dengan keluarga, tidak membuatnya membenci keluarganya. Alih-alih membenci, dia semakin sadar akan value utama, pengabdian kepada keluarga.
Di akhir film, Mulan kembali kepada ayahnya dan meminta maaf. Pun begitu ayahnya, juga meminta maaf. Mereka saling memaafkan.
Berlanjut ke toxic parenting. Apakah ayah dan ibu Mulan adalah contoh toxic parenting? Hmmm. Sepertinya berlebihan.
***
Entah sejak kapan istilah toxic parenting ini muncul. Tentu kita harus mengakui ada saja pengalaman tidak menyenangkan dari orangtua. Tapi apakah segala hal tidak menyenangkan lantas membuat orangtua disebut toxic? Tulisan dari @andrewnulis ini mungkin bisa jadi jawaban sederhananya.
Disclaimer, saya bukan psikolog. Jadi saya tidak akan membahas dari sisi ilmiahnya. Tapi sekiranya kamu ingin melanjutkan membaca, silakan saja.
Selepas menoton film Mulan, selama beberapa hari saya membuka vote dan open question di story Instagram @rezky_passionwriter. Beberapa jawaban saya lampirkan.
Pernah dengar istilah toxic parenting?
348 menjawab “pernah” (82%), 74 menjawab “apaan tuh” (18%)
Apakah kamu merasakan toxic parenting?
152 orang menjawab “hmmm ya” (44%), 194 menjawab “gak sih” (56%)
Contoh kasus yang dialami?
- Batasi aku bergaul dengan teman-teman
- Harus berkeperibadian sama dengan orangtua. Mulai selera, cara berpakaian, dll
- Sering dapatin judging diri orangtua plus pencapain selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain
- Dikasih tahu dengan cara dibentak
- Menolak untuk mendengarkan. Mengabaikan pikiran dan dan perasaan anak
- Dianggap gak berguna padahal sudah mencoba yang terbaik
- Standar ganda
- Adanya orang ketiga di hubungan orangtua
Masih ada beberapa jawaban lain yang relatif sama. Ada juga jawaban yang mereka maklumi bahwa itu bukan toxic. Mereka paham atas apa yang dilakukan orangtua dan menjadikannya sebagai pelajaran.
Muncul sebuah pertanyaan sederhana. Apakah contoh jawaban di atas adalah toxic? Sekali lagi, saya bukan psikolog loh ya. Saya hanya bertanya, apakah contoh kasus tersebut adalah toxic? Apakah itu racun yang merusak dalam hidup?
***
Jujur saja, saya merasa bahwa kehidupan saya dengan keluarga baik-baik saja. Sempurna tentu tidak. Tapi saya bahagia. Apakah ada konflik? Oh tentu saja ada. Namanya saja hidup, pasti banyak warna. Tapi semakin bertumbuh usia, saya semakin sadar bahwa kunci dari masalah adalah komunikasi.
Saya adalah anak terakhir yang merantau di Jakarta. Ayah saya meninggal Senin malam, 16 April 2012. Saya begitu ingat karena saat itu saya sedang di asrama sekolah dan tiba-tiba dijemput oleh keluarga. Bertepatan pula dengan Ujian Nasional. Alhasil, saya mengikuti ujian susulan di hari kedua.
Ayah saya bukan tipe orang yang banyak bicara. Maka boleh dikatakan hubungan kami tidak indah jika dibandingkan dengan keluarga lain. Tapi kenapa juga perlu dibandingkan. Toh bagi saya beliau adalah ayah terbaik dengan segala ketidaksempurnaan. Banyak pelajaran yang melekat bagi saya tanpa beliau ajarkan secara langsung. Contohnya sholat berjamaah di masjid dan pelajaran keikhlasan. Atas hal ini, saya sudah menulis di blog, Menyayangi Tanpa Disadari, Pelajaran Indah Seorang Ayah. Bagi saya, 18 tahun bersamanya di dunia sudah cukup dan sangat disyukuri. Semoga kelak bisa bertemu kembali. Masuk surga sekeluarga. Begitu pun kamu yang membaca. Aamiin,
Sejak ayah tiada, hubungan saya dengan ibu saya pun berubah. Tidak drastis tentunya. Tapi yang jelas, ada perubahan tapi pasti. Saya biasa terbuka dan berani untuk berbicara. Salah satu momennya adalah keputusan penting yang saya ambil usai lulus SMA. Saya memilih gap year setahun yang mana pilihan ini anti-mainstream di lingkungan saya. Awalnya pilihan saya ini sempat ditolak oleh beliau. Tapi karena diobrolin, pilihan saya pun diterima.
Usai gap year, saya lanjut kuliah dan bisa lulus 3.5 tahun. Alhamdulillah. Ada saja bisikan-bisikan dari keluarga untuk ini itu. Salah satunya S2. Fase yang klasik bagi sebagian kita yang lulus S1 bukan? Lagi-lagi, saya sampaikan apa pilihan saya. Saya obrolin baik-baik ingin menjadi apa dan apa yang harus dilakukan. Dan terbukti, saya menikmati pekerjaan saya -yang bisa dikatakan tidak umum- tanpa beban paksaan keluarga. Salah satu dari sekian banyak anugerah yang saya syukuri, restu dan doa ibu.
Sebagai anak perantau, apakah saya sering menghubungi ibu di rumah? Jawaban saya, tidak terlalu. Biasanya sekali sepekan. Kamu boleh saja menilai saya tidak dekat dengan ibu saya. Tapi yang menjalani hidup ini kan saya dan keluarga. Toh buktinya kami menikmati komunikasi ini. Kami saling sepakat atas cara ini. Bahkan ada beberapa pertanyaan penting dan beliau pun sangat terbuka untuk menjawab. Kuncinya adalah paham dengan bahasa cinta masing-masing. Bahasa cinta saya dan ibu saya tentu tidak sama dengan bahasa cinta kamu dan orangtuamu. Begitu pula dengan teman-teman yang kita lihat begitu bahagia di social media bersama orangtuanya.
Keluarga lain terlihat lebih bahagia karena kita yang sering membandingkan keluarga sendiri. Betul begitu?
***
Komunikasi adalah kunci. Begitu pula berbagai jawaban yang dianggap toxic tadi. Saya pun bertanya lagi di story Instagram.
Pernah nggak sih kamu ngobrol heart to heart dengan orangtua?
128 menjawab “alhamdulillah pernah” (66%), 66 menjawab “tidak pernah” (34%)
Apa kendala yang kamu alami?
- Malu
- Nggak mau dengerin cerita sampai beres, langsung dipotong
- Takut mengecewakan
- Belum ngomong keburu nangis duluan
- Gak tertarik. Lebih nyaman dipendem sendiri
- They always said “kita tuh orangtua udah lebih dulu hidup dari kamu”
- Canggung
- Gengsi
- Belum siap menerima tanggapan
- Takut nambah beban mereka
- Menemukan waktu yang pas
- Nggak bisa memulai
Dan tentu, masih banyak jawaban lagi.
Oke baik. Kita terima terlebih dahulu semua kendala yang ada. Tapi apakah setiap kendala tidak ada solusinya? Setidaknya dari pengalaman diri dan orang lain yang saya pelajari, ada 3 hal yang bisa dilakukan agar komunikasi anak dan orangtua terhubung lebih baik.
- Curhat ke Allah
Kita sering banget curhat ke manusia yang belum tentu memberi solusi. Bahkan seringkali yang terjadi malah ghibah ke sana ke mari. Tapi curhat ke Allah tidak pernah. Pun pernah, tidak meyakini sepenuh hati. Menganggap Allah tidak mendengar segala keluh kesah. Memaksa permintaan kita harus dijawab dengan cara manusia menjawab. Merasa bahwa Allah tidak melihat hamba-Nya yang kesusahan.
Sekarang, jujur saja pada diri sendiri. Pernahkah curhat ke Allah? Pernahkah berdoa dengan sungguh-sungguh? Pernahkah “ngobrol dengan Allah” tanpa filter dan tanpa gengsi?
Pernahkah kita meminta doa agar orang ketiga di keluarga dijauhkan? Pernahkah meminta agar orangtua dilembutkan hatinya? Pernahkah meminta agar kita menjadi anak tangguh? Masih banyak pertanyaan pernahkah lainya yang bisa kita tanyakan sendiri. Selain pernahkah, ada satu tahap lagi. Seberapa sering meminta kepada Allah? Jika hanya sekali dan belum dikabulkan, jangan kecewa. Harusnya mengaca. Seberapa pantas kita meminta sekali langsung dikabulkan?
Jika belum, cobalah lakukan.
- Ngobrol ke Orangtua
Solusi dari setiap masalah sebenarnya sederhana. Lakukan apa yang harus dilakukan.
Bagi sebagian yang sudah berasumsi dengan segala kekhawatiran diri, lawanlah kekhawatiran itu. Beranikan diri untuk ngobrol langsung. Ya gimana bisa berani jika rasa takut dibiarkan, bahkan dipelihara dengan self talk yang melemahkan. Bukankah rasa takut itu ada untuk mengajarkan kita keberanian?
Tapi bagaimana jika sudah melakukan tapi orangtua langsung defensif atau segala kendala lainnya?
Lakukan lagi. Karena tidak mungkin hasil yang memuaskan didapatkan sekali coba. Untuk melamar pekerjaan yang terbaik saja harus berkali-kali. Kenapa hubungan terbaik dengan keluarga tidak dilakukan berkali-kali? Atau jangan-jangan keluarga tidak jauh lebih penting dibandingkan pekerjaan?
Lakukan lagi dengan berbagai cara yang belum dicoba.
- Tulis Surat untuk Orangtua
Mungkin, ini solusi aneh yang belum pernah kamu dengar sebelumnya. Tapi terbukti, ini ampuh bagi sebagian orang.
Sejak tahun 2019, saya bersama teman-teman menghadirkan gerakan @bukuuntukibu. Per tahun 2020, gerakan ini berubah menjadi @bukuuntukayahibu. Karena yang pantas mendapat hadiah bukan hanya ibu, ayah pun juga.
Singkatnya, gerakan ini adalah wadah penghubung untuk menyampaikan pesan cinta dari anak kepada orangtua. Bisa itu buku pribadi, antologi, atau hanya surat. Isi tulisannya berbagai macam. Bisa puisi, cerpen, biografi, surat cinta, surat maaf, atau apa pun yang ingin disampaikan ke orangtua.
Per 22 Desember 2020 lalu, sekitar 118 peserta meluncurkan karyanya via Zoom meeting. Kamu bisa menonton ulang video launching virtual di channel Youtube Buku untuk Ayah Ibu. Tonton saja beberapa menit. Terutama di menit 28-an. Pada menit tersebut, para peserta berbagi kesan mereka saat menulis. Ada yang teringat Dengan kenangan bersama orangtua. Ada yang acara launching virtual dihadiri oleh keluarganya. Ada juga yang menangis karena terharu karena dia sudah berani untuk berbicara sepenuhnya dan seutuhnya kepada orangtua walau hanya melalui surat.
Insyaalllah, gerakan ini akan tetap ada setiap 3 bulan di akhir tahun. Semoga jadi amal jariah bagi kami yang menggerakkannya. Semoga menjadi solusi bagi kamu yang mengikutinya.
Apakah saya sudah melakukannya? 4 April 2019 bertepatan di usia 60, saya buktikan dan berikan kepada ibu saya. Sebuah buku sederhana berjudul Surat Cinta untuk Mama. Kini, giliran kamu yang mencoba.
***
Kembali lagi, apakah toxic parenting itu ada? Jangan-jangan diksi itu hanya fatamorgana. Khayalan yang dipaksakan ada. Khayalan yang diciptakan karena kita mengabaikan kenangan indah yang dulu ada dan patut disyukuri, sekecil apa pun.
Atau mungkin bisa jadi ada. Tapi saya memilih untuk tidak menggunakan diksi tersebut. Karena ada begitu banyak jasa orangtua yang tak mungkin terbalaskan. Walau orangtua tidak sempurna, tapi membesarkan anaknya hingga sekarang adalah anugerah terbesar yang patut disyukuri. Atau gini aja. Jika memaksakan orangtua kita sempurna, sudahkah menjadi anak yang sempurna? Jangan-jangan kita hanya sibuk meminta tapi lupa memberi.
Jika ada masalah, kembalilah ke Allah, bukan ke nafsu. Tapi ya memang, kembali ke nasfu jauh lebih mudah dan menggoda. Dan hadirnya nafsu itu begitu halus Termasuk bagi mereka yang secara pemahaman agama lebih baik. Bukankah ada banyak anak aktivis dakwah yang merasa orangtuanya mengabaikan dia sebagai anaknya karena sibuk berdakwah?
Potongan kisah di buku Taman Kehidupan karya Amar Ar-Risalah semoga bisa jadi solusi. Tulisan yang berjudul Sang Ayah dan Puteri-puterinya. Seperti judulnya, buku ini membawa saya untuk berjalan di “Taman Kehidupan”. Sirah nabi dan sahabat yang indah akan hikmah. Buku ini masih bisa dipesan hingga 22 Januari nanti di sini.
Jadi, toxic parenting itu nyata atau fatamorgana?