Pembuktian Iman, Berani Mengatakan Tidak

Pernahkah bertanya kepada diri, apa bukti iman yang ada dalam kehidupanmu?

Kita pasti tidak asing dengan hadits nabi tentang pembuktian iman atas respon kemungkaran.

Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Pesan ini adalah salah satu alasan saya sampai sekarang masih menulis. Kenapa? Karena dengan menulis, saya bisa menyuarakan kebaikan dan kebenaran sebagai bukti keimanan, setidaknya di level kedua. Kalaulah diartikan secara sederhana, maka dalam hadist tersebut ada 3 level iman.

Iman level 1 : lawan dengan tangan. Biasanya ini adalah kemampuan orang yang berkuasa. Bisa juga dengan aksi lapangan.

Iman level 2 : lawan dengan lisan. Bisa juga diartikan dengan tulisan. Karena kini ada banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan pesan dari lisan.

Iman level 3 : lawan dengan hati. Nah, masalahnya ini adalah level iman paling rendah.

“Yah nggak masalah dong level iman paling rendah. Daripada saya jadi pelaku kemungkaran.”

Ya sih benar juga. Tapi kalau mindset kita seperti itu, maka kemungkaran akan menang atas kebaikan. Karena orang beriman memilih untuk menjadi sosok yang lemah. Bersyukur jika hati masih melawan kemungkaran. Tapi jangan berpuas diri dengan hanya melawan kemungkaran dengan hati. Perlahan, buktikan dengan lisan dan tangan.

Menulis bagi saya adalah pembktian iman. Selain itu, menulis juga perluasan manfaat dan menurunkan ilmu dari para guru. Menulis adalah aktivitas iman, ilmu, dan impact. Lebih kurang begitu.

Baca tulisan lainnya:
Mindfullness Writing: Menulis dengan Ruh
Saya Bosan Menulis, Tapi…

Pekan kali ini, #MatrikulasiNAKIndonesia membahas tentang kisah teman Nabi Musa yang beriman, tapi menjadi bawahan Firaun. Boleh dikatakan jenderal atau kepala polisi lah kira-kira. Tapi, keimanan dia ini tidak diketahui oleh Firaun karena dia beriman diam-diam. Kisahnya diadabaikan dalam QS Fushilat ayat 25-48. Kisah keimanan “jenderal” dan propaganda politik Firaun. Coba baca pelan-pelan. Boleh juga dibaca ayat sesudahnya, masih nyambung. Selengkapnya, silakan nonton penjelasan Ustadz Nouman Ali Khan di sini.

***

Sungguh sebuah anuegerah bagi seseorang yang Allah berikan keberanian dalam hatinya untuk menyampaikan kebenaran. Bukan hanya menyampaikan kebenaran, tapi istiqomah untuk menyampaikan kebenaran. Istiqomah ini adalah kunci penting. Karena nyatanya, banyak orang yang dulunya begitu vokal berbicara, tapi ketika diberi “kursi” malah melempem. Maka perlu dipertanyakan, untuk apa dulunya vokal bersuara? Untuk mengundang simpati masyarakat, memancing  perhatian lawan, atau mengharapkan ridho Allah? Kalaulah benar tujuannya, maka tidak akan mudah goyah. Seharusnya kan begitu.

“Iya nih, banyak tuh yang begitu. Apalagi di masa pemilu kan. Dulunya kita mendukung dia. Eh ternyata malah berpindah suara. Kan jadinya kecewa.”

Wajar saja kecewa. Toh salah sendiri berharap kepada manusia. Harusnya di awal sudah diluruskan niatnya. Tapi ya manusia, mudah lupa. Sering lupa.

Tapi mari kita ubah sedikit cara pandang kita. Jangan gunakan ayat hikmah di masa Nabi Musa ini untuk melihat orang lain, tapi melihat diri sendiri. Sudahkah kita berani untuk menyuarakan kebenaran?

Saya jadi teringat dengan pesan yang disampaikan oleh sosok perempuan tangguh di Pelatnas FIM 21. Saat itu pembicaranya adalah Bunda Rita Soebagio dan dr Dewi Inong. Pesannya lebih kurang begini.

“Mungkin kita tidak mendukung. Tapi dengan diamnya kita, secara tak sadar kita menjadi pendukung pasif.”

Pesan ini disampaikan atas banyaknya masalah di negeri ini. Pada diskusi tersebut yang dibahas adalah masalah LGBTQ, HIV AIDS, pornografi, kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan berbagai masalah sejenis. Topiknya adalah Berani Katakan Tidak.

Berani katakan tidak, jangan hanya diam atas kemungkaran. Ah, tapi nyatanya kita begitu lemah. Untuk tegas mengatakan tidak saja tidak berani. Hanya di dalam hati. Pun itu berani, tidak jarang narasi yang digunakan malah menyakiti.

Tidak cukup hanya berani menyampaikan kebenaran. Tapi harus ada ilmu yang membersamai. Maka jika alasan kita belum bisa tegas berbicara adalah karena mengumpulkan ilmu, sah-sah saja. Tapi coba tanyakan pada hati sendiri. Apakah benar karena sedang mengumpulkan ilmu atau memang karena takut dan antipati?

Allah menghargai orang yang benar dan membela kebenaran. Kita manusia, baru berada pada orang benar, tapi belum berani untuk membela kebenaran.

Maka penting bagi kita untuk berdoa kepada Allah agar kita tidak menjadi orang yang lemah dan menyembunyikan kebenaran. Semoga Allah mampukan. Dan pastinya Allah akan melindungi. Karena Allah sebaik-baik pelindung.

Memaknai kisah ini, menjadi perenungan tersendiri bagi saya. Karena menjadi orang yang lemah dan menyembunyikan kebenaran saja bahkan terhitung aib. Padahal setiap dari kita sama-sama punya lidah untuk bersuara. Allah berikan kita modal yang sama.

Ya betul, Allah juga berikan kita peran yang berbeda dan spesifik sesuai fitrah untuk menyuarakan kebenaran. Dan semoga, kita pun tetap bergandengan tangan, menguatkan, dan mengingatkan.

Di akhir kisah, teman Nabi Musa yang beriman dan menyuarakan imannya di hadapan Firaun tetap aman. Dan sebaliknya, Firaun tenggelam di lautan.

Bagaimana dengan kita?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *