Awal Juni lalu, saya bersama 9 anak muda lainnya dari berbagai kota/kabupaten di Riau diundang untuk mengutarakan pendapat di Youtube Tukwan Channel. Sebagai informasi awal, beliau adalah Wakil Gubernur Riau pada masanya. Sempat juga menjadi PJ Gubernur Riau. Aktivitas politiknya di masa lalu diupayakannya untuk tetap bertahan dengan perkembangan zaman. Salah satunya dengan hadir di Youtube.
Apa yang kami diskusikan pada momen tersebut?
Pilkada serentak adalah isu utamanya. Tentu kami tidak menyebutkan siapa nama yang akan didukung nantinya. Wan Abubakar sebagai host lebih ingin mengetahui apa yang diharapkan oleh generasi muda dalam politik serta pandangan terhadap Riau di masa depan.
Saya mendapatkan nomor urut dua untuk berbagi pendapat. Tanpa basa basi, saya langsung saja berbicara pada inti. Tonton versi lengkapnya di sini.
Mulai dari menit ke-11, ada dua poin utama yang saya tekankan. Pertama, usia muda belum tentu mewakili anak muda. Kenapa? Karena apa yang dia rasakan belum tentu dirasakan oleh anak muda kebanyakan. Apalagi jika anak muda tersebut lahir dan besar dari keluarga yang berada. Pun jika tidak lahir dan besar, setidaknya mereka bergaul di kalangan elit.
Apa yang saya katakan bukan hanya asal bunyi saja. Dr. Gamal Albinsaid yang baru terpilih sebagai anggota DPR RI Dapil Malang pernah menulis di Instagram. Potongannya seperti ini.
Sistem politik berbiaya mahal menjadi hambatan tersendiri bagi generasi muda. Perludem menyatakan biaya politik di Indonesia merupakan yang termahal di dunia. Institut Otonomi Daerah menyatakan biaya politik untuk caleg DPRD Kota/Kabupaten 500 juta-1 milyar. DPRD Provinsi 1-2 Milyar, DPR RI 1-4 Milyar, Calon Bupati/Walikota 10-30 Milyar, Calon Gubernur 30-100 milyar, Calon Presiden/Wakil Presiden 5-20 triliun.
Secara teoritis, ada 2 jenis pemuda dalam politik. Pertama adalah princeling, mereka berada di politik karena ayah, ibu, atau kakeknya adalah politisi. Menurut survei di beberapa negara, 100% anggota parlemen di bawah 30 tahun adalah princelings dan 65% anggota parlemen di bawah 40 tahun adalah princelings.
Kedua adalah thoughling, mereka berkuasa di organisasi mahasiswa dan sayap pemuda, meneriakkan slogan, agresif, dan keras. Jika ada godfather atau bohir mem-back up mereka, mungkin karir politik mereka akan melesat, jika tidak mereka akan terus berada di bawah anak tangga politik.
Saya menambahkan 1 jenis politisi muda, ini tidak ada di buku, tapi gagasan saya, yaitu be irresistible young politician, politisi muda yang terlalu menarik untuk ditolak, karena memiliki kapasitas kuat, karya nyata, prestasi tinggi, dan mendapatkan pengakuan publik.
Penelitian dari Kata Data juga layak menjadi referensi. Pada tahun 2020, ada 24 anak muda yang berusia di bawah 40 tahun memenangkan pilkada. Dari 24 kepala daerah milenial, Katadata mencatat sebanyak 18 orang di antaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik senior. Tokoh senior ini pernah dan sedang memegang jabatan politik, baik di tingkat nasional maupun di daerah yang sekarang dipimpin para politisi muda tersebut. Kekuasaan tentu otomatis membuat mereka punya kekayaan yang berlimpah sebagai modal dalam berpolitik.
Di Riau saja misalkan. Nama-nama yang relatif muda untuk terjun di politik praktis sebagian besar pasti didukung oleh keluarga yang berada pula. Ada yang dari orang tua pejabat, mertuanya pejabat, pengusaha kelas kakap, dan kalangan elite lain. Saya tak perlu menyebutkan nama. Lihat saja ada siapa di balik mereka. Kalau kata netizen, “Jangan lihat umurnya, tapi lihat siapa orang tuanya.”
Di tingkat DPR RI misalkan. Dua kakak beradik dari partai yang sama tapi berasal dari dapil yang berbeda berhasil terpilih. Sang kakak adalah petahana dan sang adik adalah pendatang baru. Bapaknya yang dari partai berbeda sebagai petahana tapi tidak terpilih. Beliau pun kini akan maju sebagai gubernur.
Bagaimana dengan tingkat nasional? Ah, kita sama-sama tahu saja.
Saya bukan berarti anti dengan anak muda yang terjun ke dunia politik. Namun hanya ingin menekankan saja bahwa usia muda bukan berarti mewakili anak muda. Jika anak muda maju dengan menghalalkan segala cara, lantas apa bedanya dengan generasi sebelumnya? Seperti itukah harapan baru yang dimaksud?
Poin kedua yang saya sampaikan dalam obrolan bersama Tuk Wan Channel adalah pentingnya pemimpin yang siap dengan dialog publik. Bukan hanya sebatas kampanye satu arah lalu pergi begitu saja. Warga pun ingin dialog. Dengarkan apa kata mereka. Kemasannya silakan diatur saja. Desak Anies adalah salah satu warnanya. Dari strategi kampanye tersebut, satu per satu lahirlah konsep serupa. Di Siak misalkan. Ada namanya Dobrak Afni. Di Pekanbaru, Dr. Ikhsan pernah diundang oleh Arus Riau. Bagaimana kabar di daerah lainnya? Saya yang lahir dan besar di Kampar punya harapan yang sama. Namun sepertinya belum ada yang berani dan melakukannya. Sejauh ini, masih baliho raksasa yang menjadi cara favorit.
Dialog dan diskusi publik bukan hanya sebatas calon pemimpin yang kampanye di depan masyarakat. Bahkan untuk hal mendasar seperti berbicara di depan publik banyak yang tidak lancar. Alhasil, berbagai cara pun digunakan. Mulai dengan menggunakan juru bicara atau memfilter siapa yang diundang. Undang saja yang aman-aman. Misalkan datang ke TK dan SD. Atau jika di depan masyarakat luas, pastikan tidak ada dialog. Yang penting sampaikan apa yang mau disampaikan seolah-olah orator ulung.
Diskusi publik sebenarnya bukan tentang siapa yang pandai berbicara. Namun kesempatan untuk menguji apa yang ada di pikiran calon pemimpin. Rakyat yang kelak akan memilih tentu saja punya hak untuk hal tersebut. Maka, janganlah berlindung di balik kata-kata yang seolah menjadi mutiara. “Tidak penting pandai bicara, yang penting bisa bekerja.” Lah, dikira bicara itu bukan bagian dari proses bekerja?
Stop menormalisasi standar rendah bagi pemimpin. Jika memang mewakili anak muda, tampil dan bicaralah. Bukan hanya mengandalkan siapa orang di balik Anda.
Baca juga:
Pelawak Jadi Politisi, Politisi Jadi Pelawak
Belum Cocok Menjadi Politisi