Uji Diri, Sudah Pantaskah Aku Menikah?

Sejujurnya, saya tidak begitu tertarik dengan judul kajian kali ini. Kajiannya penting dan bermanfaat, tentu saja. Tapi entah kenapa, saya merasa kajian ini tidak begitu menarik dibandingkan dengan kajian yang seharusnya ada di jadwal yang sama.

Sudah Pantaskah Aku Menikah? Itulah judul kajian yang saya ikuti di Pengajian Akhir Pekan RISKA (PARIS). Tentu ini penting untuk menguji atau memantaskan diri. Tapi jujur saya, belakangan saya agak risih saja dengan euforia kajian yang seperti ini. Dan benar, begitulah fakta di lapangan. Ketika kajian dengan tema-tema seperti ini, bukan main pesertanya melimpah. Tapi ketika diajak sedikit lebih berat seperti memikirkan masuk surga sekeluarga, tidak begitu ramai. Dan terbukti di kajian ini. Pesertanya melimpah. Jauh berbeda dibandingkan kajian bertemakan keluarga.

Ustadz Bendri Jaisyurrahman saat membuka kajian pun menyampaikan pendapat yang selaras walaupun tidak sama persis.

“Saya sebenarnya sudah punya tema rutin di Masjid Agung Sunda Kelapa ini, yaitu Masuk Surga Sekeluarga. Tapi karena request panitia, tema saya yang biasanya ke-distract. Karena memang kondisinya darurat.”

Pembuka ini memancing gelak tawa dari jamaah. Lucu, ya memang. Tapi ada kritikan bagi kita, kenapa kajian bertemakan seperti ini (selain tema hijrah ala-ala milienial) begitu ramai, sedangkan yang sedikit agak berat saja enggan didatangi? Terkhusus lagi bagi laki-laki. Sepanjang kajian yang saya datangi, termasuk yang bertemakan seperti ini, perbandingannya begitu jomplang antara jamaah laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki ke mana aja? Sibuk mencari nafkah? Terus jadi pembenaran untuk nggak belajar, gitu?

Baca juga : Fatherman, Ayah Mengambil Peran Pengasuhan

***

Sekelumit kegelisahan yang ingin saya buka di awal ini. Kalau ingin melompati, ya silakan saja nggak masalah. Tapi ya kan udah dibaca juga. Hehe.

Harus saya tekankan kembali sepertinya, kajian bertemakan pernikahan ini penting. Tapi bukan berarti dipenting-pentingkan hingga malah menjadi euforia saja. Begitu pula dengan kajian akhir zaman. Penting, tapi bukan berarti dipenting-pentingkan. Jangan malah jadinya overdosis dan membuat umat jadinya antipati, karena seharusnya kita proaktif.

Bagaimana caranya menjadikan kajian penting, bukan dipenting-pentingkan? Ini subjektif saya saja tentunya. Pastikan ada hikmah yang didapat. Begitu pun kajian kali ini. Sudah Pantaskah Aku Menikah? Nah, apa yang saya dapatkan?

***

Saya akan bagi menjadi dua poin utama. Dari sisi laki-laki dan perempuan. Bukan tentang pantas saja, tapi upaya pemantasan. Tapi mari kita mulai dengan pernikahan itu sendiri.

Pernikahan dalam Al-quran dibahasakan dengan mitsaqun ghaliza. Apa itu mitsaqun ghaliza? Sederhananya adalah ikatan yang sangat kuat. Dalam Al-quran, ada 3 hal yang Allah sampaikan dengan mitsaqun ghaliza. Pertama antara nabi dan Allah yang mengajarkan tentang kesetiaan. Kedua antara Bani Israil dan Allah yang mengajarkan tentang pengkhianatan. Dan ketiga antara suami istri yang bisa menjadi kesetiaan dan bisa juga menjadi pengkhianatan. Tergantung bagaimana kelak sang suami dan istri memaknainya.

Lanjut tentang pemantasan. Bagaimana upaya pemantasan laki-laki?

Laki-laki harus memilki sifat qawwam dalam dirinya dan keluarganya. Apa itu qawwam? Sederhananya adalah sifat kepemimpinan. Pembahasannya tentu panjang. Bisa ditambah di referensi lain.

Laki-laki dalam bahasa Arab adalah rajul. Rajul dasar katanya adalah rijlun yang artinya adalah kaki. Kaki sepertinya halnya kuda-kuda, harus kokoh. Lalu apa maksudnya kaki bagi suami dalam keluarga?

Pertama, laki-laki harus menjadi penopang keluarga. Contoh indikator kongkritnya adalah siapkah laki-laki untuk mendengarkan curhat keluarga? Bisa dimulai dengan mendengarkan curhat ibunya, keluarga dekatnya, atau bahkan pertemanan dekatnya. Tentu mendengarkan curhat tujuannya bukan untuk disebarkan. Bukan juga untuk dibalas dengan nasihat. Karena kadang orang hanya butuh untuk didengarkan, bukan diberikan nasihat.

Kedua, laki-laki harus bergerak, menunjukkan progres. Fitrahnya, laki-laki bekerja harus banyak bergerak, bukan banyak diam. Bergerak untuk mencari nafkah. Dan ya fitrahnya keluar rumah. Walaupun banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan dari dalam rumah. Intinya adalah bergerak mencari nafkah. Jangan sampai malah istri yang menafkahi suami. Bukan berarti dilarang. Dalam kasus tertentu bisa saja terjadi. Tapi jangan sampai perannya terbalik. Efeknya nanti malah merendahkan harga diri suami. Walaupun mungkin tidak disadari.

Laki-laki harus siap mendengar curhat dan banyak bergerak untuk mencari nafkah.

Bagaimana dengan perempuan?

Jika laki-laki dinilai dengan qawwam, perempuan fitrahnya bisa memberikan rasa nyaman dalam keluarga. Nyaman di sini bukan maksudnya zona nyaman dalam hubungan semu ya. Kalau semua orang dibuat jadi nyaman, ya nanti bahaya. Perempuannya biasa aja, eh laki-lakinya baper, kan jadi repot. Atau ketika di chat. Yang satu ngetik pakai jari, yang satu bacanya pakai hati. Duh.

Kembali ke rasa nyaman dalam keluarga. Begitulah perempuan yang kelak menjadi istri dan ibu dalam keluarga. Maka sebuah petaka jika kelak ibu tidak lagi dirindukan dalam keluarga. Berhati-hatilah.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh perempuan dalam keluarga agar bisa menghadirkan rasa nyaman? Ustadz Bendri menyebutkan, dalam berbagai riset yang dia baca ada 3 skill penting dibutuhkan. Apa itu?

Pertama, skill memasak. Kenapa memasak? Apakah wajib harus jago memasak sebagai istri. Eits, ingat lagi. Yang disampaikan adalah skill untuk menghadirkan rasa nyaman loh ya, bukan skill wajib untuk menjadi istri. Nah, tujuan dari skill memasak bagi perempuan adalah untuk membuat penghuni rumah kangen dengan rumah. Dan mungkin ini terjadi bagi kita. Banyak di antara kita ketika ditanya apa masakan favorit menjawab dengan masakan ibu. Mungkin rasanya biasanya saja, tapi kesannya istimewa. Nah, nyaman kan?

Kedua, skill memijit. Kenapa memijit? Entahlah saya belum tahu teorinya. Tapi ketika dipijit, seseorang bisa terpancing untuk nyaman dan mulai bercerita. Jadi misalkan suami atau anak lagi malas cerita dan istri bisa memijit, bisa mulai terpancing untuk membuka cerita dan mengalirnya komunikasi. Ketika capek, bisa menjadi pemulih kembali. Ya mungkin itulah kenapa jasa tukang pijit tetangga bisa dibayar mahal ya. Jasanya mungkin dibayar biasa saja, tapi jasa menjaga aib lebih mahal. Karena stok aib tetangga ada di tukang pijit.

Ketiga, skill menulis. Kenapa menulis? Dalam berbagai referensi disampaikan bahwa perempuan jauh lebih banyak berbicara dibandingkan laki-laki. Maka kebutuhan bicara itu penting. Jika standar minimal kata di suatu hari tidak dipenuhi untuk dikeluarkan, efeknya malah bahaya nantinya. Memendam emosi. Karena itulah penting bagi perempuan untuk menulis, menulis emosinya. Tujuannya adalah mengantisipasi emosi terpendam jika tidak ada teman ngobrol. Menulis yang dimaksud di sini lebih spesifiknya adalah khat. Menulis yang bermakna menulis loh ya, bukan mengetik. Mungkin ada persamaannya, tapi rasanya pasti berbeda.

Memasak, memijat, dan menulis adalah 3 skill penting bagi perempuan untuk menghadirkan rasa nyaman dalam keluarga.

Selamat mempersiapkan diri untuk perempuan dan laki-laki. Selamat memantaskan diri. Jangan jadikan kajian, seminar, tontonan, ataupun postingan pernikahan hanya sebagai euforia saja. Dan jangan juga menikah hanya untuk menambah data pernikahan di kementerian agama. Karena harusnya menikah adalah kontribusi untuk peradaban.

Jadi, sudah pantaskah aku menikah? Silakan dijawab masing-masing saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *