“Pernahkah kamu berada pada titik bingung atas apa yang dirasakan?”
Sebuah pertanyaan basa basi sering kita ajukan kepada orang lain. Bertanya, “Apa kabar?” Pertanyaan ini pun sering kita terima dari orang lain, “Kamu apa kabar?” Tapi pernahkah bertanya pada diri sendiri “Wahai diri, apa kabarmu sekarang?”
Mungkin, ada yang terbiasa untuk menanya kabar kepada orang lain. Jawabannya bisa jadi jawaban basa basi seperti yang dijawab saat orang lain bertanya “Apa kabar?” Ya jawaban seperti, “Alhamdulillah baik. Kamu gimana?” Coba deh sesekali, mendalami perasaan sendiri. Apa sih yang sebenarnya diri rasakan?
Mungkin, ada yang merasa tidak nyaman jika kondisinya tidak baik-baik saja. Seolah jawaban “alhamdulillah baik” adalah keharusan. Padalah it’s okat not to be okay. Bukan dosa kok kalau jawabanmu tidak selalu “alhamduillah baik”. Bersyukur atas apa yang terjadi tentu sebuah keharusan. Tapi format jawaban kan tidak harus sama.
Coba tanya deh pada diri sendiri, apa yang kamu rasakan saat ini?
***
Kembali ke kalimat pembuka tulisan ini. Pernahkah kamu berada pada titik bingung atas apa yang dirasakan? Saya sering. Tidak tahu sekarang sedang merasakan apa. Campur aduk gitu, tapi bukan seperti nasi campur.
Tentu, saya pernah merasakan kebahagiaan yang mendalam. Misal saat memberikan hadiah buku “Surat Cinta untuk Mama” langsung kepada ibu saya. Sebuah buku yang menjadi titik lahirnya gerakan @bukuuntukayahibu Bagimu yang ingin ikut gerakan ini untuk memberikan hadiah buku yang berbuah senyuman indah, cek saja IG @bukuuntukayahibu.
Saya juga pernah merasakan kenikmatan mendalam akan hal sederhana. Misalkan menikmati makanan yang padahal sederhana, tapi rasanya begitu bahagia. Kamu pernah? Bisa jadi kita lupa untuk menikmati makanan karena nyambi dengan berbagai aktivitas. Di depan laptop sambil makan, makan sambil kerja atau makan sambil ngobrol. Tidak salah sebenarnya. Tapi kadang, menyambi dengan berbagai aktivitas lain membuat kita lupa akan nikmatnya makanan. Mindfulness eating. Tidak perlu makanan mewah dan aesthetic kok untuk menikmati makanan. Cukup makan dan nikmati tanpa ada aktivitas sambilan. Bersihkan mejamu dengan benda yang bisa mendistraksi makan dan minum. Cukup makan dan nikmati setiap gigitan. Saya berulang kali mencobanya dan memang rasanya nikmat sekali.
Bagaimana dengan perasaan yang dinilai negatif seperti kecewa, marah, dan sedih? Tentu saya pun pernah merasakan. Melihat kelakukan oknum pejabat negara misalkan. Saya sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Kalau harus menulis sumpah serapah sebenarnya bisa saja. Tapi sepertinya, mengomel di social media bukan solusi.
Bagaimana dengan perasaan bingung? Bingung atas apa yang dirasakan sekarang? Saya juga sering merasakan. Termasuk saat menulis ini. Saya pun bingung sebenarnya bagaimana perasaan saya akan suatu hal.
***
Di masa pandemi, salah seorang teman melangsungkan pernikahan. Bukan sebatas teman sih sebenarnya. Dia pernah menjadi nama yang diperjuangkan sekian waktu yang lalu. Saat awal mendengar kabar dia melangsungkan pernikahan dari seorang teman lainnya, ada rasa kebahagiaan tersendiri bagi saya. Entahlah kenapa rasa itu refleks saja ada. Tapi belakangan, rasa ini menjadi campur aduk. Antara bahagia, bingung, sulit menerima, dan varian rasa lainnya. Tentu bukan varian rasa permen nano-nano.
Saya mencoba untuk melogikakan rasa saja. Caranya dengan menulis refleksi ini. Mari coba flashback sejenak.
Sekian waktu yang lalu, saya pernah berjuang begitu gigih. Berkomunikasi dengan dirinya, ibunya, bahkan neneknya. Cukup lama masa perjuangan dan pendekatan saat itu. Tentu tanpa ada embel-embel buaya syariah seperti “assalamualakum ukhti” di sepertiga malam terakhir. Tapi singkat cerita, kami sepakat untuk tidak melanjutkan ke proses selanjutnya karena berbagai pertimbangan. Saya pun jeda sejenak dan melanjutkan proses kepada sosok lainnya.
Satu per satu ikhtiar dijalani. Beberapa nama sudah diusahakan walau tidak dengan usaha segigih sebelumnya. Ada yang lebih gigih, ada yang biasa saja. Ya tingkat kegigihan tentu berbeda-beda kan. Entahlah karena apa. Bukankah memperjuangkan sebuah nama sifatnya naluriah saja? Tentu bukan naluriah membabi buta. Hingga untuk sekian jumlah nama dan lama durasinya, belum ada jawaban sepakat untuk melanjutkan ke proses selanjutnya. Maka jika ada yang ngeyel dan bertanya kapan nikah kepada saya, jawabannya sederhana saja. You know my name, but not my story.
Beberapa waktu setelah itu sebelum masa pandemi menyerang, kami bertemu tanpa janji. Dalam durasi jeda yang cukup lama, dari luar saya lihat belum ada tanda-tanda dia akan menikah. Saya berasumsi, masih ada harapan untuk berjuang kembali. Saya pun mencoba untuk berjuang kembali melalui perantara. Dan singkat cerita, jawabannya masih sama. Hanya saja, jawabannya lebih masuk akal dibandingkan sebelumnya. Ada seorang nama yang sudah diberi lampu hijau oleh keluarganya. Atas jawaban ini, tentu saya tidak bisa memaksa. Di titik inilah saya belajar untuk membedakan kegigihan dan kebodohan. Ya, setidaknya bagi saya.
Sekian lama waktu berjalan. Di masa pandemi, seorang teman memberikan bisikan bahwa sosok tersebut akan melangsungkan pernikahan. Refleks saya merasakan kebahagiaan tersendiri. Bukankah kabar gembira sesama manusia apalagi saudara Muslim harus dijawab dengan bahagia pula? Dan ya, itulah yang saya rasakan. Barakallahu lakuma wa baa raka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khoiir. Saya bahagia tapi juga penasaran, dengan siapa kelak dia akan melangsungkan pernikahan. Saya penasaran, tapi tidak terlalu menjadi pikiran.
Sekian waktu berlalu di masa pandemi, undangan digital disebarkan. Akhirnya saya tahu namanya. Sosok yang tidak asing juga oleh saya. Dua nama yang saya kenal melangsungkan pernikahan. Saya pun masih turut bahagia saat itu. Ya masih. Kenapa ada kata masih? Nah, ini dia.
Saat mendapat kabar itu, saya sedang berada pada masa yang cukup sibuk. Semoga sibuknya bernilai kebaikan dan keberkahan. Sehingga hal-hal yang bukan menjadi prioritas tidaklah begitu penting bagi saya. Pun termasuk sosok tersebut menikah bukan hal yang terlalu penting bagi saya. Setidaknya, saya sudah mengucapkan selamat dan doa baik di sebuah grup tempat di mana dia menyebarkan undangan. Doa yang khas seperti yang saya sampaikan dengan teman lain saat menikah.
Kesibukan yang mengalihkan. Dan benar adanya. Tepat di hari H dia menikah, saya lupa. Saya baru ngeh di malam hari saat seorang teman mengingatkan. Sungguh saya lupa. Tapi yang namanya lupa bukan dosa kan? Bahkan lupa adalah anugerah tersendiri jika kita sadar dalam memaknainya.
Beberapa hari ini, perasaan baru muncul lagi. Kebingungan atas apa yang dirasakan. Bahagia sudah. Tapi kenapa muncul rasa tidak menerima? Kenapa ada rasa kecewa? Bisikan setan seolah berkata,
“Andaikan kamu yang ada di sampingnya.”
“Seharusnya kamu masih bisa memperjuangkannya.”
“Oh ternyata cuma dia lelaki yang dia pilih. Padahal kamu lebih baik loh.”
Jujur saja, ada rasa dan bisikan semacam itu. Saya berada pada fase titik bingung apa yang sebenarnya dirasakan saat ini. Untuk itulah saya menulis ini. Mencoba untuk melogikakan rasa dan merapikan keruwetan pikiran.
***
Sampai saya menulis ini, saya belum tahu jawaban utuhnya. Tapi saya merasa sedikit lebih baik. Saya belajar untuk merapikan satu per satu perasaan dan kenapa perasaan itu terjadi.
Kegigihan saat memperjuangkan sebuah nama.
Kebahagiaan saat mendapatkan kabar gembira.
Lupa saat kesibukan dengan aktivitas prioritas.
Kecewa saat yang diharapkan tidak menjadi kenyataan.
Dan ya, ada beberapa yang saya lupakan untuk rasakan. Apa itu? Rasa syukur dan husnuzon kepada Allah.
Saya lupa untuk bersyukur atas segala kebaikan yang Allah berikan dari dulu hingga kini. Bukankah dari masa saya memperjuangkan namanya, mundur, maju lagi untuk berjuang, mundur teratur, hingga berhenti saat ini, ada banyak kebaikan yang Allah berikan. Bagaimana bisa banyaknya yang Allah berikan lupa saya syukuri dibandingkan hanya harapan yang tidak menjadi kenyataan.
Saya lupa untuk husnuzon kepada Allah atas pelajaran yang ingin Allah berikan. Pasti ada pelajaran penting yang mungkin belum diri ini pahami. Bisa jadi karena dia bukan sosok yang terbaik untuk diri ini. Bisa jadi dialah lelaki terbaik untuk membersamai sosok yang pernah diperjuangkan. Bisa jadi ada sosok terbaik yang ingin Allah siapkan. Bisa jadi ada PR yang harus diselesaikan. Dan bisa jadi banyak hal yang akan terjadi. Ada banyak pesan cinta yang ingin Allah diberikan, tapi diri lupa akan hal tersebut.
Rasa syukur dan husnuzon adalah kunci. Perlahan, saya mulai tahu apa yang harus dilakukan. Perlahan pun saya merasa lega sedikit lebih lega telah menuangkan ini. Ah, sungguh Allah Maha Baik kepada setiap hamba-Nya dengan episode hidup masing-masing.
Alhamdulillah ala kulli hal. Allah sudah, sedang, dan akan mempersiapkan yang terbaik untuk diri yang menulis, untukmu yang membaca, dan untuk dia yang melangsungkan pernikahan.
Ternyata, belajar merasakan apa yang dirasakan sesederhana itu. Melogikakan rasa dan merapikan keruwetan pikiran dengan menulis. Tentu bukan hal yang instan. Saya terbiasa menulis sudah sekian lama. Maka jika kamu mendapatkan aha dari tulisan ini, saya ucapkan alhamdulillah hadza min fadhli rabbi.