Masalah anak muda tidak jauh jauh dari asmara dan cinta. Wajar? Tentu saja. Hanya saja seringkali cinta salah kaprah dan menjadikannya sebagai sebuah kegalauan.
Wajarkah galau? Tentu saja? Karena patut kita akui kegalauan akan cinta itu terkadang menyenangkan. Tapi sayangnya lebih banyak mereka yang galau akan perasaan. Bukan bagaimana caranya dengan cinta dia menjadikannya sebagai sebuah kekuatan.
Wajarkah terjebak dalam pacaran? Wajar dan khas anak muda banget. Tapi cukupkanlah hanya sampai sekarang. Sampai kamu membaca tulisan ini. Mulailah berubah. Karena saya percaya bahwa kamu sudah tahu bahwa Allah yang menurunkan cinta sudah melarang hal tersebut.
Bisakah berubah? Tentu saja. Sangat bisa. Bukankah banyak orang yang masa lalunya kelam kemudian masa depannya berubah cerah? Bukankah banyak mereka yang masa lalunya disibukkan dengan dunia kemudian bahagia dengan HIJRAH? Karena apa? Karena mereka percaya dan bergerak. Sayang saja banyak yang gak tegaan, pasrah dan diam.
Kamu pernah pacaran? Dengan kerendahan hati saya jawab, ya saya pernah. Dan itu hanya bertahan sebentar. Kami berakhir bukan karena alasan “kamu terlalu baik untuk aku”. Bukan, bukan itu. Melainkan rencana indah dari Sang Pencipta yang membuat hubungan itu terpisah.
Pernahkah tergerak untuk pacaran lagi? Tentu pernah. Bagaimana mungkin hati ini tidak goyah melihat anak muda menikmati masa masa indah dengan romantisme anak muda. Sedangkan diri ini bagi sebagian orang berkata terlalu cepat memikirkan masa depan. Tapi beruntung, porsi keinginan untuk menata masa depan dan menjaga hati lebih besar dibandingkan hasrat untuk pacaran.
Pernahkah kamu menyukai dan mengagumi seseorang? Pernah. Tentu pernah. Bahkan beberapa kali. Entah karena keramahannya, kecantikannya, visi hidupnya, ataupun kesholehannya. Bukankah rasa suka dan kagum adalah hal yang sangat amat wajar ada di hati manusia?
Akankah kamu mengungkapkannya? Hmmm. Entahlah. Pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Di satu sisi ingin sekali mengungkapkan dengan harapan dia tahu apa yang dirasakan. Di satu sisi, tidak ingin mengungkapkan karena khawatir terjebak dalam perasaan.
Tapi kalau “terpaksa” untuk disampaikan, bagaimana melakukannya? Mungkin seperti kisah ini :
“Boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?”
“Ya tentu. Silahkan”
“Aku ingin bertanya tentang perasaan. Dan aku mengharapkan kejujuran. Apakah kamu merasakan hal yang sama denganku?”
“Hal yang sama maksudnya? Rasa suka?”
“Hmm, iya”
“Ya aku menyukaimu”
“Kalau kamu menyukaiku kenapa kamu tidak menjadikanku sebagai pacarmu?”
“Ketika rasa suka mulai ada, haruskah kita menjalaninya dengan pacaran?”
“Tentu. Karena aku ragu, hati ini akan berpindah ke hati yang baru.”
“Hmm. Oke. Aku akui, aku menyukaimu, aku mengagumimu, dan aku menyanyangimu. Tapi,”
“Tapi apa?”
“Tapi aku tidak ingin menyanyangimu dengan ikatan rapuh yang dilarang oleh Allah dengan menjadikanmu sebagai seorang pacar. Soal berpindah hati, aku percaya bahwa Allah sebaik-baik penjaga hati.”
“Lalu, mau dibawa kemana perasaan ini?”
“Aku percaya bahwa kamu adalah wanita hebat. Biarkan rasa ini ada dan menjadikan kekuatan untuk terus bergerak. Biarkan kita bergerak kedepan tanpa adanya ikatan. Hingga suatu saat nanti, jika memang kita berjodoh, kita pasti bertemu kembali”
“Baiklah, aku menunggu saat itu :)”
Entahlah, mungkin suatu saat rasa ini akan tersampaikan. Dan untuk sementara, biar rasa ini dipendam dan disibukkan dengan doa dan pemantasan.
Rezky Firmansyah
Founder Passion Writing
Penulis buku tersebar di 5 benua
Mau diskusi asik bahas soal Kepenulisan Passion Kepemudaan? Dengan senang hati saya membuka kesempatan. Silahkan invite 76B4BF69/085363949899 dan juga follow @rezky_rf9
Kamu merasakan manfaat dari tulisan ini? Tulis comment dan klik tombol share di bagian kiri