Ramadan yang Tidak Ideal, Bagaimana Cara Kita Menghadapinya?

Gimana rasanya tidak bisa shalat Jumat sampai 4 kali? Sedih?

Bagaimana dengan Ramadan yang insyaallah sebentar lagi datang? Sedihkah kita? Padahal bukankah harusnya kita menyambut Ramadan dengan gembira?

Kita sedih karena merasa paling tahu dengan apa yang terbaik bagi kita. Padahal kita sama sekali tidak tahu. Maka penting bagi kita untuk mengembalikan makna iman kepada Allah. Allah lah yang tahu apa terbaik bagi kita.

Iman dan aman memiliki akar kata yang sama. Dalam iman, ada rasa aman. Kalau memang merasa beriman kepada Allah, harus merasa aman ada bersama Allah. Begitu pula menyambut Ramdhan di masa pandemi seperti sekarang ini.

Teringat dengan pesan dari Ustadz Bachtiar Nasir. Tadabbur dari tafsir Buya Hamka tentang surah An-Naas yang disampaikan melalui channel Youtube AQL Islamic Center.

“Perlu bagi kita untuk berdoa kepada Allah agar dilindungi dari kuasa diri sendiri. Karena kuasa diri sendiri tak jarang terselip bisikan setan. Karena itu, jangan sampai sedetik pun kita terlepas dari kuasa dan lindungan Allah. Berdoalah kepada Allah agar selalu dijaga.”

Tenang dengan takdir Allah. Jangan waswas. Maknai perlahan surah An-Naas.

***

Sedih dengan adanya pandemi padahal sebentar lagi Ramadan adalah kewajaran. Manusiawi. Berusaha untuk mencari solusi, bagus banget. Tapi ingat solusi tidak bisa didapat saat ini juga. Bahkan yang kita anggap solusi belum tentu itulah solusi yang terbaik menurut Allah.

Rasulullah pun demikian. Saat tekanan di Mekah semakin kuat, Rasulullah pun hijrah untuk mencari perlindungan. Thaif adalah tujuan utama karena di sana ada Bani Tsaqif, salah satu kabilah besar yang seharusnya bisa membatu untuk memberikan perlidungan. Hasilnya? Solusi tidak didapatkan di Thaif. Solusi malah didapat di Yatsrib yang dibantu oleh Bani Khauf dan Bani Khazraj.

Kita mungkin berpikir bahwa solusi yang kita inginkan adalah pandemi selesai sebelum Ramadan. Tapi apakah benar itu yang Allah inginkan untuk kita?

Terima dulu keputusan dan takdir Allah. Lalu berpikir bagaimana cara menyikapinya?

Kalau Allah tidak menginginkan pandemi selesai sebelum Ramadan, apakah pantas kita bersedih? Padahal bisa jadi dengan momen itulah Allah ingin mengajarkan kepada kita tentang makna Ramadan.

Banyak ayah mengandalkan imam masjid sebagai imam sholat. Lalu ketika masa pendemi, seorang ayah terpaksa menjadi imam sholat di rumah. Hikmahnya apa? Lebih dekat dengan keluarga dan sebenar-benarnya menjadi imam keluarga.

Banyak da’i, biasanya di Ramadan harus selalu keluar rumah. Tapi di Ramadan ini, terpaksa harus di rumah. Hikmahnya apa? Bukankah itu untuk melunasi tanggungjawab dakwah di rumah.

Tarawih juga. Kini, kita terpaksa tidak bisa mengandalkan orang lain. Dulu tarawih mengandalkan imam dan jamaah. Sekarang kita harus mengandalkan diri sendiri. Bisakah kita lebih khusyuk? Setidaknya, bisakah kita tetap komitmen menjalankan tarawih di rumah? Maka bermohonlah kepada Allah.

“Tapi tapi, kan nggak nikmat. Gimana dengan pahalanya?”

Ya itulah ujian yang ingin Allah berikan. Hitungan Allah itu tidak nominal angka seperti kita. Seolah-olah kalau tidak shalat berjamaah di masjid tidak dapat 27 pahala. Allah Maha Teliti. Kesabaran kita terhadap ujian juga Allah nilai. Kesedihan kita tidak bisa beribadah seperti biasa juga Allah nilai. Selama ini, kita mungkin tidak menyadari penilaian Allah yang begitu teliti ini. Tentang ibadah hati.

***

Kalau kita berprasangka baik kepada Allah, pasti kita bisa melihat peluang kebaikan itu. Allah tidak akan memberikan hal yang jelek ke kita. Jangan-jangan Allah malah memperbaiki Ramadan kita dengan cara-Nya. Kitanya saja yang tidak tahu.

“Tapi peluang kebaikan yang seperti apa?”

Husnuzon dulu kepada Allah. Terima takdir-Nya. Cari hikmah yang Dia ajarkan kepada hamba-Nya.

“Duh repot banget sih. Kalau benar Allah itu baik, kenapa masih ada perang, kemiskinan, bahkan wabah seperti ini sih?”

Allah itu baik, Maha Baik. Allah tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Hamba tidak tahu apa-apa. Allah tidak butuh apa-apa dari kita. Allah tidak butuh ujian. Malah kitalah yang diuji. Dengan berbagai ketidakbaikan versi manusia tadi, bisakah kita berbuat baik? Bisakah kita berbuat baik di wabah seperti sekarang ini?

Begini. Untuk menjadi baik itu tidak bisa diklaim saja. Kalau cuma klaim, ya sama saja seperti iblis yang mengatakan “ana khairu minhum”. Orang baik itu bukan ngeklaim, tapi ya berbuat baik. Nah kira-kira, apa perbuatan baik yang bisa kita berikan di masa pendemi? Berbagi kepada sesama, memperbaiki ibadah kita, menambah bacaan Al-quran dan seterusnya.

Tentang membaca Al-quran pun kita harusnya bisa mengevaluasi yang selama ini keliru dalam menjalaninya. Kita sama-sama tahu bahwa ekonomi kacau balau. Penghasilan tidak menentu. Termasuk guru ngaji anak-anak kita di TPQ yang selama ini tidak dibayar layak, di masa pandemi malah semakin tidak layak. Tidak mendapatan penghasilan sama sekali. Kita sebagai orang tua, bisakah melihat peluang kebaikan ini? Baca Al-quran itu tanggungjawab akhirat. Anak kita bisa baca Al-quran itu penting. Tapi perlakuan kita kepada guru ngaji menyedihkan. Bisakah kita memperbaiki ini di masa pandemi? Bisakah kita menghadirkan gerakan kebaikan atas masalah ini? Peluang kebaikan itu terlihat. Pilihan kitalah ingin mengambilnya atau tidak.

***

Manusia dan binatang itu berbeda. Manusia bergerak karena akal, sedangkan binatang bergerak karena insting. Walau perlakuannya sama, tapi motif di balik itu semua berbeda. Manusia dan binatang sama-sama makan. Tapi manusia makan untuk apa dan binatang makan untuk apa, harusnya berbeda. Manusia bisa bersabar menahan lapar, tapi binatang tidak bisa. Kenapa? Akal yang membedakannya. Dan shaum mengajarkan manusia kesabaran yang membuktikan kita sebagai manusia berakal.

Tentang ayat Ramadan. Surah Al-Baqarah ayat 183-187 adalah ayat wajib yang biasanya pasti dibahas. Di antara ayat tersebut, terselip ayat 186 yang terlihat berbeda dengan ayat sesudah dan sebelumnya. Apa yang ayat tersebut ingin ajarkan kepada manusia?

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

(QS Al-Baqarah : 186)

Allah dekat dan pasti mengabulkan doa hamba. Lantas, sudahkah kita merasakan kedekatan kepada Allah? Sudakah kita taat kepada Allah? Sudahkah kita meminta kepada Allah?

“Tapi aku minta ini, Allah kok nggak ngasih?”

Kembali lagi, bahwa cara Allah menjawab dan mengabulkan permohonan hamba tidak bisa sesuka manusia. Allah tahu yang terbaik. Pun sama jika kita menginginkan pandemi berakhir sebelum Ramadan, tapi kalau Allah berkata tidak, ya mau gimana? Bisa jadi Allah mau mengajarkan kita banyak hikmah di Ramadan yang kita anggap tidak ideal ini kan?

Wahai manusia, jangan berputus asa kepada Allah. Jangan berhenti berharap kepada Allah. Dan jangan memaksa Allah mengabukan doa sesuai keinginan kita. Ingat, Allah tahu yang terbaik. Ya masa sih 30 tahun hidup ideal tapi 1-2 bulan hidup tidak ideal karena pandemi bisa-bisanya berputus asa kepada Allah?

Beragamalah sebaik-baiknya Taatlah kepada Allah sebenar-benarnya. Bukan berarti jika kita beragama dengan benar, berarti masalah kita beres. Kita beragama dengan benar agar kita tahu bagaimana cara menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan benar. Begitu pula menghadapi Ramadan di masa pandemi yang terlihat tidak ideal bagi kita, tapi malah ideal bagi Allah untuk mengajarkan kita.

Pandemi atau tidak, Ramadan akan datang kepada kita. Dan kita harus sambut Ramadan yang istimewa dengan istimewa pula.

(Ustadz Akmal Sjafril)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *