Pernahkah merasa saat pulang kampung begitu membosankan? Bingung mau melakukan apa. Jika jawaban kamu ya, saya juga.
Ya, terkadang saya bingung harus melakukan apa saat pulang kampung. Itu dulu. Ketika masa SMA yang hanya pulang dari asrama sekali sebulan. Palingan hanya main futsal atau nongkrong sama teman lama. Eh besoknya, udah harus kembali ke asrama.
Ketika masa kuliah pun sama. Jarak antara Surabaya dan Bangkinang membuat intensitas pulang lebih sedikit. Palingan hanya dua kali dalam setahun. Awal tahun dan menjelang lebaran. Beberapa tahun awal, terasa membosankan. Tapi perlahan semuanya mulai berubah.
Perubahan itu semakin terasa ketika pasca kuliah. Masa yang kebanyakan orang mengatakan “welcome to the real world”. Tapi bagi saya ini bukan sebatas dunia nyata, tapi masa berkarya yang sesungguhnya.
Baca Juga :
Menjadi Pejuang Kebaikan Penuh Inspirasi dengan 3DI
Yakin Pengen S2? Jangan-jangan Hanya Ini yang Kamu Inginkan
Tahun 2017 misalkan. Saya sudah mulai menyicil untuk melakukan Proyek Kebaikan. Mulai dari explore wisata alam di Kampar, “bantu-bantu” pengobatan dan khitanan gratis, survei lokasi Plus Untuk Negeri, workshop menulis untuk siswa di kampung, hingga public speaking untuk ibu-ibu PKK desa. Saya menamakannya Januari Bermakna.
Bulan Ramadhan tahun 2017 pun berbeda. Jika biasanya buka bersama dengan teman SMA di café yang cozy, kemarin kami coba untuk buka bersama di panti asuhan. Buka puasa bermakna bersama teman SMA.
Tahun berganti tahun. Tahun 2018, saya sudah berkomitmen untuk pulang kampung sesering mungkin. Padahal di Jakarta saya sudah nyaman. Finansial bercukupan, relasi terbuka, kesempatan berkarya ada dimana-mana, kajian spiritual pun mencerahkan. Alhamdulillah. Lalu, apa lagi yang dicari?
Merantaulah, agar kamu tahu bagaimana rasanya rindu untuk kembali.
Akhir Desember hingga awal Januari saya pulang sekitar seminggu. Tak terlalu banyak yang bisa dilakukan dalam satu pekan. Yang pasti biasa saya lakukan adalah Diskusi Berisi dengan teman-teman. Hal yang lebih penting dibandingkan nongkrong kosong. Karena saya meyakini bahwa ada sebuah proses seperti ini :
Diskusi > gagasan > impian > perubahan
Sempat juga bertemu dengan guru SMA untuk “menyentil” semangat guru mulia karena karya. Alhamdulillah, ada 4 guru yang bisa terangkul hingga kini. Mohon doanya, semoga buku mereka segera diterbitkan dan jadi inspirasi bagi para siswa dan guru-guru Indonesia.
Akhir Maret adalah edisi kedua saya pulang kampung. Dan kali ini terasa begitu berkesan. Kenapa? Karena ada tujuan yang yang diperjuangkan. Lebih jelas dibandingkan pulang kampung sebelumnya. Membangun jembatan pulang. Ya namanya jembatan, pasti dicicil dulu dong. Dan lagi-lagi, semuanya dimulai dari Diskusi Berisi.
Kenapa begitu penting untuk membiasakan Diskusi Berisi?
Karena dengan diskusi, saya mendapatkan banyak cerita. Mulai dari bingung mencari kerja hingga kalimat pesimis berbungkus realistis “kayaknya kita nggak bisa deh.” Padahal dulu semangat untuk bermimpi besar begitu idealis. Seolah semuanya sangat mungkin digenggam. Tapi kini, kenapa tidak lagi?
Prioritas. Biasanya itulah yang menjadi jawaban pembenaran. Ada yang sibuk dengan mencari kerja, mengurus keluarga, dan seterusnya. Jawaban yang jika dipikir-pikir “benar juga sih”. Tapi kalimat ini pula yang menjadi musuh terbesar penghancur mimpi.
Kembali lagi, layaknya pulang kampung menjadi impian yang diperjuangkan? Bagi saya iya. Entahlah bagimu.
Kenali tujuan, perjuangkan, dipertemukan. Paling tidak, inilah 3 fase yang akan dilewati untuk memperjuangkan impian. Termasuk pulang (dan bangun) kampung.
- Jujur dengan Tujuan
Seringkali kita tidak jujur dalam bermimpi. Alhasil, mimpi itu tidak diperjuangkan. Misalkan saja, ada yang berkata.
“Aku ini ingin buka lapangan kerja untuk banyak orang. Tapi sekarang, ingin mengumpulkan modal dulu dengan bekerja.”
Impian klasik bagi orang kebanyakan. Tapi niat baiknya tetap harus diapresiasi. Saya memahami. Tapi periksa kembali. Apakah benar kamu jujur dengan impian itu? Karena toh, banyak orang yang bermimpi begitu tapi ketika sudah nyaman dengan pekerjaan tapi lupa dengan impiannya dahulu.
Ustadz Oemar Mita pernah berpesan,
“Jika kamu benar-benar jujur dengan cita-cita akhiratmu, demi Allah tidak ada yang bisa membantumu kecuali Allah itu sendiri.”
Maksudnya?
Walaupun kamu terjatuh, lingkungan tidak mendukung, hambatan ada dimana-mana, kamu akan dikuatkan, dimampukan, dan diberikan jalan oleh Allah. Pertanyaannnya, sudahkah kita jujur dengan tujuan?
Hidup di zaman now, semuanya begitu dimudahkan. Termasuk mudah tertipu dalam impian semu. Dan itu akan mudah kita temukan di berbagai panggung motivasi yang bertebaran dimana-mana.
Saya tidak anti dengan motivator. Bagi saya, motivasi itu penting. Tapi yang terkuat adalah dari diri sendiri. Bukan suntikan motivasi dari motivator seminar berbayar ataupun gratis. Kenali diri, itulah kuncinya.
Misalkan gini deh. Ada nih panggung inspirasi tentang start up. Eh kepengen jadi start up founder. Ada lagi training for trainee, pengen jadi trainer juga. Masih banyak lagi. Termasuk dua event yang saya hadiri belakangan. Panggung inspirasi Pemuda Membangun Desa yang diadaakan oleh Rumah Millennials bersama Putra Daerah Membangun (Rabu) dan Bukatalks (Kamis). Pertanyannya, apakah saya jujur ingin pulang kampung? Itu semua akan terjawab seiring berjalannya waktu.
Untukmu yang sering berkelana mencari jati diri, jangan mudah tertipu dengan panggung inspirasi semu. Jujur lagi pada diri sendiri. Sebenarnya kamu pengen jadi apa sih?
- Berjuang, Bukan Menang atau Kalah
Oke, sudah tahu dan jujur nih dengan impian. Langkah selanjutnya apa?
Tanyakan pada diri, apa langkah pertamamu?
Ambil contoh mimpi baik yang tadi. Pengen buka lapangan pekerjaan. Tapi ketika ditanya apa langkah pertamanya.
“ . . . . . . . . . .” (Diam tanpa kata)
“Ayo apa?”
“Ya cari kerja dulu lah?”
Nah! Jawaban seperti ini yang kadang membuat impian tidak benar-benar diperjuangkan. Karena biasanya, banyak yang sudah nyaman dengan pekerjaan, lalu lupa dengan impiannya.
“Gini aja. Kamu pengen buka lapangan kerja. Buka bisnis kan? Nah, sekarang aku punya uang. Kamu butuh berapa? Bisnis apa yang ingin kamu bangun?”
“ . . . . . .”
Lagi-lagi diam tanpa kata.
Itulah gambaran kita dalam memperjuangan impian. Mudah bingung dan kebanyakan mikir dalam berjuang. Karena itulah, dua pertanyaan tadi penting dijawab sebelum berjuang.
Apa mimpi besar yang jujur kamu perjuangkan?
Apa langkah pertamanya?
Banyak nih dari kita yang begitu menggebu-gebu dalam berjuang. Tapi ketika ditanya langkah pertama malah bingung. Padahal anak tangga tertinggi dimulai dari anak tangga pertama. Betul kan?
Miliki mimpi besar seolah impossible untuk diwujudkan.
Pecah mimpi besar menjadi mimpi-mimpi kecil agar i’m possible untuk diwujudkan.
Berjuanglah. Mulailah dari langkah pertama. Karena impian itu bukan tentang sukses atau gagal. Bukan tentang menang atau kalah. Tapi tentang “sudahkah kita berjuang?”
Rakyat Palestina misalkan. Bagaimana mungkin lemparan batu kecil bisa mengalahkan tank besar. Tapi mereka punya cara pikir yang benar. Mereka tidak mikir kalah atau menang. Tapi berpikir sudahkah saya berjuang.
Allah pun tidak akan menilai kita dari kalah atau menang. Tapi, sudahkah kita berjuang? Atau jangan-jangan kita malah bersikap pesimis yang dibungkus dengan realistis?
- Dipertemukan dengan Orang yang Tepat
Fase ini sulit untuk dilogikakan. Karena memang tidak ada hitung-hitungannya bagaima kita dipertemukan dengan orang yang tepat di waktu yang tepat. Mari saya beri contoh paling sederhana.
Ada seorang teman yang biasa-biasa aja. Tapi menikah di usia yang muda. Tapi ada teman yang begitu baik akhlaknya, tapi menikah “agak telat.” Nah, gimana coba logikanya?
Saya akan berikan contoh lagi berdasarkan pengalaman diri dan orang lain.
Pengalaman pertama. (Lingkaran Kajian)
Dulu ketika di Surabaya, saya punya lingkaran kajian. Kami biasanya rutin ketemu sekali seminggu bersama pembimbing. Saya baru ketemu dengan lingkaran kajian ini di semester 4-5. Mungkin terhitung telat. Ada banyak proses berganti squad dari lingkaran kajian ini. Hingga akhirnya berhenti sementara karena berbagai hambatan. Hingga akhirnya saya berhenti karena pindah ke Jakarta per Oktober 2017.
Di Jakarta, saya nyaris tidak mencari lingkaran kajian lagi. Saya lebih memilih ikut kajian di berbagai masjid penjuru Jakarta. Salah satunya yang paling sering di AQL Islamic Center bersama Ustadz Bachtiar Nasir.
Sungguh, Allah Maha Baik. Tanpa diminta, saya dipertemukan lagi dengan lingkaran kajian yang lebih matang. Shafa Community namanya. Dan tak disangka, pembimbingnya adalah seorang pembicara yang saya temui ketika Oktober 2011. Dan saya bertemu kembali di Desember 2017. Nah, logikanya seperti apa?
Pengalaman kedua. (Forbes 30 Under 30)
Ada seorang anak muda kelahiran Padang. Kelas acceleration 2 tahun. Diterima di Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi. Selama di kampus, prestasinya tak usah ditanya lagi. Aktif juga ikut aksi lapangan bersama BEM UI.
Dengan berbagai pengalaman dan prestasinya, mungkin kamu bisa menebak, dia akan mudah menentukan masa depannya seperti apa. Tapi ternyata keliru. Ketika lulus kuliah di pun bingung. Akhirnya curhat dengan seorang guru besar Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali. Dia curhat begitu panjang melalui email dan Prof Rhenald hanya menjawab singkat “udah ikut saya saja.”
Akhirnya anak muda tadi menjadi tangan kanan dari Prof Rhenald. Banyak percepatan yang dia dapatkan. Termasuk menemukan partner bisnisnya yang lulus dari Auckland University, Vikra Ijas. Tahun lalu, dia mendapatkan penghargaan Forbes 30 Under 30. Dia adalah M. Alfatih Timur, CEO KitaBisa.com
Kisahnya tersambung ke orang yang berbeda.
Di tahun 2017, ada seorang anak muda yang menuliskan nama Alfatih Timur sebagai most wanted person di dream paper-nya. Dia pun mencari berbagai cara untuk bertemu. Mulai dari seminar, menghubungi via email, menghubungi mentor yang lain, komentar di Facebook, membaca kisahnya di buku Disruption Prof Rhenald Kasali, hingga menyanksikan live IG di @Kitabisacom . Semua rencananya belum berhasil.
Allah memang menunda di waktu yang tepat untuk mempertemukan. Hingga akhirnya di bulan ke-9 mereka bertemu di event Future Leader Summit. Mereka pun berdiskusi, bertukaran kartu nama dan masih terkoneksi hingga kini.
4 hari setelah pertemuan itu, anak muda tadi bertemu dengan wanita muda inspiratif Indonesia. Namanya Heni Sri Sundani. Seperti Alfatih Timur, dia juga peraih Forbes 30 Under 30 dengan gerakan sociopreneurship. Salah satunya Gerakan Anak Petani Cerdas. Dalam 4 hari, dipertemukan dengan 2 orang peraih Forbes 30 Under 30 di 2 kota yang berbeda. Bagaimana logikanya? Jawabannya sederhana. Niat baik yang akan mempertemukan di waktu yang tepat. Dengan Alfatih Timur dan Heni Sri Sundani, anak muda tadi masih terkoneksi dengan baik.
Ohya, kamu pasti sudah tahu kan siapa anak muda yang dimaksud?
Pengalaman ketiga. (Pulang Kampung)
Pulang kampung kedua saya di 2018 berlangsung pada 29 Maret- 4 April. Semuanya dijalani begitu produktif.
30 Maret : Kondangan dan Diskusi Berisi bersama teman SMA
31 Maret : Worskhop menulis bersama Yayasan Pengkaderan Anak Riau
1 April : Family time dan Diskusi Berisi bersama Remaja Masjid Markaz Islamy Kabupaten Kampar
2 April : Sharing inspirasi di SMAN Plus Riau
3 April : Meet up dengan alumni SMAN Plus di Bangkinang.
Saya certitakan sedikit di 3 April. Karena ini yang menarik.
Yoze Rizki (Gen 7) dan Valeri Gamma Alfath (Gen 11). Saya sendiri Gen 12. Yoze dulunya kuliah dan berkarir di Surabaya. Kini pulang kampung ke Riau. Gamma dulu kuliah di Pekanbaru. Dan kini berkarir sebagai programmer menemani ibunya di rumah. Allah mempertemukan saya dengan mereka tanpa terencana H-1 sebelum kembali ke Jakarta. Seolah ini pun memberikan keyakinan bagi saya bahwa pulang (dan bangun) kampung itu sangat mungkin diperjuangkan. Hingga akhirnya kami sepakat untuk membuat karya bersama. Buku tanpa teks dengan visual dan artificial intelligences. Mohon doanya.
Berlanjut ke 4 April. Saya kembali ke Jakarta sore hari. Malamnya saya langsung ikut event Membangun Indonesia dari Desa. 5 April, saya ikut event Muda, Berkarya, Bermakna oleh Bukatalks. Dari 2 event ini saya pun memperluas relasi dengan 3 Putra Daerah Membangun. Faldo Maldini (Padang – PulangKampuang.Com), Heni Sri Sundani (Bogor – Gerakan Anak Petani Cerdas), dan Reza Zaki (Sumedang – Rumah Imperium).
Tanyakan lagi, logika matematika pertemuan ini gimana? 1-2 hari setelah pulang kampung dipertemukan dengan Putra Daerah Membangun.
***
Jujur dengan tujuan, perjuangkan, dan dipertemukan. 3 fase ini semoga bisa jadi gambaran bagi kita bersama bahwa setiap impian layak diperjuangkan. Termasuk pulang (dan bangun) kampung.
Semoga tulisan yang berangkat dari kegelisahan ini mampu memberikan pencerahan. Termasuk para putra daerah di berbagai kota. Mari jadikan pulang kampung bukan hanya rutinitas belaka. Tapi dengan beberapa hari liburan dan koneksi daerah, kita bisa menciptakan proyek kebaikan berlanjutan untuk membangun daerah.
Apakah pulang kampung itu tujuan semua putra daerah?
Saya tidak mengatakan iya. Karena membangun daerah adalah panggilan hati yang harus datang jujur dalam dirimu. Membangun daerah pun tidak harus berada di kampung halaman. Bisa dari kota tapi tetap berjejaring dengan kampung halaman.
Jangan remehkan impianmu kawan. Karena percayalah, Allah akan menggenggam impian yang jujur dari hatimu. Jika Allah sudah berkehendak, siapa yang bisa menolak?