Menulis adalah pekerjaan elit. Orang normal bisa bicara, pidato, ceramah, dan seterusnya. Tapi tidak semua orang yang pinter ngomong di depan umum itu bisa menulis, terutama menulis sebuah buku. Karena itu, menulis adalah pekerjaan elit, hanya orang-orang tertentu saja yang membuahkan karya tulis.
Paragraf pembuka diatas saya ambil dari materi diskusi kepenulisan di Bina Qalam Indonesia. Bertepatan saat itu pembicaranya adalah Herry Mohammad, wartawan senior Gatra. Menarik memang apa yang dibahas oleh beliau saat itu. Karena bukan hanya tentang kepenulisan, tapi juga minat baca masyarakat.
Sebuah data yang menyedihkan menunjukkan tentang budaya baca buku masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. International Educational Achievement (IEA) pernah mengadakan penelitian tentang kualitas membaca anak-anak di 31 negara yang ada di Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Dari 31 negara yang diteliti tersebut, kualitas membaca anak-anak Indonesia di urutan 29. Indeks membaca masyarakat Indonesia, secara keseluruhan hanya 0,001. Ini artinya, dari 1000 orang, hanya ada 1 orang yang punya minat baca yang tinggi. Cukup menyedihkan, karena penduduk Indonesia yang kini mencapai 260 juta itu mayoritas adalah beragama Islam. Dan Islam mengajarkan Iqra, bacalah!
Budaya membaca buku yang rendah itu juga berpengaruh dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Dan kita tertinggal dengan banyak negara-negara maju di dunia. Sebuah kewajiban yang di Indonesia belum bisa diterapkan, yaitu kewajiban menamatkan sekian judul buku sebelum lulus sekolah menengah. Di Jepang misalkan, mewajibkan murid-murid sekolah menengah menamatkan 15 judul buku. Malaysia dan Singapura menamatkan 6 judul buku, sedangkan Thailand 5 judul buku. Bahkan negara-negara Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Belanda bisa mencapai 20 hingga 32 judul buku! Di Indonesia? Tidak ada sama sekali.
Tapi ada secercah harapan yang saya dapatkan beberapa minggu yang lalu. David Wayne Ika, founder dari media online Kurio mengatakan bahwa ada perubahan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia dari membaca konvensional di buku ke media digital. Pendapat ini cukup masuk akal memang. Karena dengan berkembangnya teknologi, media online di Indonesia semakin menjamur. Bahkan portal online khusus anak muda seperti idntimes, hipwee, dan ziliun mampu menjadi referensi baca utama anak muda.
Perubahan kebiasaan membaca masyarakat ini tentu perlu diteliti lebih lanjut. Apakah dengan bertumbuhnya media online mampu meningkatkan minat baca masyarakat? Tentu ini menjadi sebuah kesempatan sekaligus tantangan. Bagaimana caranya menghadapi perkembangan teknologi dengan kreatif dan cerdas. Memang ada banyak solusi yang bisa kita berikan atas persoalan ini. Di edisi selanjutnya saya akan menuliskan berbagai ide dan solusi yang bisa diterapkan. Maka hingga kini dapat diambil kesimpulan bahwa minat membaca masyarakat bukan menurun. Melainkan adanya perubahan kebiasaan dari membaca konvensinal ke media online.