Apakah Pejabat yang Paling Mulia?

Apakah Pejabat yang Paling Mulia?

Hari itu saya diajak untuk safari dakwah oleh seorang ustadz bersama salah satu lembaga sosial. Karena kebetulan lagi lowong, saya pun mengiyakan tawaran itu. Diawali dengan buka bersama di basecamp. Barulah selesai sholat Magrib terjun ke lokasi, di salah satu desa beda kecamatan. Ternyata dalam agenda tersebut ada seorang pejabat yang hadir.

Sesaat sebelum buka bersama, saya ditunjuk secara mendadak sebagai protokoler acara. Saya iyakan saja. Saya pun melihat susunan acara. Wah, ada pejabat nih yang datang. Grogi pas awal menerima tawaran itu pasti ada. Tapi ya udah, jalani aja. Minta doa sama Allah.

Kami pun tiba ke lokasi. Sholat Isya, Tarawih, dan Witir didahulukan. Barulah berlanjut ke agenda. Sebelum membuka acara, saya memastikan kembali susunan acara kepada ustadz yang menunjuk saya tadi. Ternyata ada acara penting yang terlewat dari catatan. Pembacaan ayat suci Al-Quran. Rencana awalnya, ada tim dari lembaga yang mewakili. Katanya sih hafiz 30 juz. Tapi qadarullah karena sakit, tak bisa tampil. Pengurus masjid pun menunjuk anak perempuan. Tertulis namanya, Hafizatunnisa.

Acara pun dimulai dengan salam, syukur, dan shalawat. Saya pun menyapa,

“Bapak ibu, pemuda-pemudi, remaja, dan anak-anak sekalian. Yang besar tak disebut gelar, yang kecil tak disebut nama. Semoga dimuliakan oleh Allah dan senantiasa memuliakan Allah.”

Saya mengucapkan kalimat itu dengan sadar. Coba perhatikan, apa yang kurang? Biasanya, MC akan menyebutkan,

“Yang terhormat, bapak kepala …”

“Yang terhormat, bapak pejabat …”

Saya sengaja tidak menyebutkan itu. Kenapa? Nanti saya jelaskan.

Pembacaan ayat suci Al-Quran dimulai oleh Hafiza. Dia memilih QS Al-Infitar secara lengkap. Saat dia membaca bismillah dan ayat-ayat awal, entah kenapa badan dan hati saya gemetar. Quran digital pun saya buka untuk menyimak ayat sekaligus artinya. Tangisan saya menjadi-jadi hingga akhir bacaan.

Al-Quran selesai dibacakan dan saya pun membacakan agenda selanjutnya. Badan saya masih gemetar. Lidah saya kaku untuk berbicara. Sambil terbata-bata saya berkata,

“Terima kasih kepada adik kita Hafiza, semoga Allah anugerahkan seperti namanya, menjadi seorang hafizah 30 juz. Dan semoga anak-anak kita semua di sini, menjadi hafiz-hafizah, shalih-shalihah, dan mujahid-mujahidah pejuang agama Allah.”

Saya terbata-bata mengatakan itu semua. Tarik napas sejenak, barulah melanjutkan acara selanjutnya.

Sebelum Hafiza kembali duduk, seorang bapak menghampiri Hafiza, menyelipkan uang dan berkata, “Dari bapak pejabat X.”

Hmmm.

Agenda berlanjut dengan kata sambutan oleh kepala desa. Tak begitu lama beliau berkata-kata. Berlanjut ke kata sambutan oleh pejabat. Cukup lama. Dalam kata sambutannya, dia berbicara banyak hal. Memperkenalkan diri bahwa istrinya adalah keturunan desa tersebut dan berbicara umat Islam jangan alergi bicara politik di masjid. Karena masjid dari dulu adalah pusat peradaban. Masih panjang lagi.

Hmmm.

Pejabat turun, saya pun naik. Saya pun menyampaikan,

“Kita doakan bapak ibu, semoga pundak bapak kepala desa dan bapak pejabat dikuatkan untuk memegang amanah. Semoga bisa menjadi alat untuk memperluas kebaikan.”

Tak ada pujian, tapi tetap menghormati.  Agenda selanjutnya, ceramah agama dari ustadz.  Sebelum masuk materi, beliau pun mengangkat kembali nama pejabat tadi. Bahkan didoakan untuk dapat dapat jabatan tertentu.

Hmmm.

Ceramah selesai dan dilanjutkan dengan pemberian bantuan untuk anak yatim, imam masjid, dan gharim. Dan di akhir acara ditutup dengan makan kue bersama.

Kami pun pulang. Dalam kendaraan, cerita panjang tiada henti-hentinya. Ada kisah seorang aktivis muslim yang kerja di bank, tapi sudah mau hijrah. Ada kisah bapak PNS tapi seringkali tidak ada di kantor karena “urusan umat” dengan dalih mempercayakan pada anak buahnya perihal pekerjaan yang ditinggalkan dari kantor.

Kami tiba di basecamp dan berpisah. Ada yang masih bertahan, ada yang pulang ke rumah masing-masing. Agenda malam itu selesai.

Apa yang kamu dapatkan dari cerita ini?

Mari kembali ke pertanyaan awal tadi. Kenapa saya tidak menyebutkan yang terhomat dan seterusnya di awal acara. Sederhana saja. Kenapa harus dikhususkan untuk pejabat tertentu? Apakah tanpa disebutkan kehormatannya akan berkurang? Jadi terhormat itu karena status atau memang kualitas diri yang layak dihormati?

Hal berbeda tentu akan terjadi jika di luar masjid. Karena saya berprinsip bahwa semua orang di masjid adalah sama. Yang membedakan adalah taqwa. Bahkan harusnya yang dihormati adalah pengurus masjid yang mengurus rumah Allah. Bukan pejabat yang hanya singgah.

Prinsip ini terbentuk tanpa sadar dari cara pandang almarhum ayah saya. Dia paling tidak suka jika ibadah di masjid tertunda hanya karena menunggu pejabat. Bahkan beliau juga tidak setuju jika pejabat diberikan tempat khusus saat sholat. Sudahlah datang telat, tapi dapat tempat VIP pula. Padahal harusnya di rumah Allah tak ada yang spesial. Semua orang sama. Siapa yang duluan, dialah yang layak di depan. Awalnya, saya tidak paham betul dengan prinsip ayah. Tapi kini saya semakin sadar. Idealis memang. Tapi itulah yang saya hargai. Dan itu setidaknya saya buktikan saat menjadi protokoler di masjid saat itu. Pun jika ada yang tidak setuju, ya tidak apa-apa. Tidak perlu tunjuk saya jadi moderator. Sesederhana itu.

Lanjut ke bicara politik di masjid. Saya setuju dengan apa yang dikatakan pejabat ketika kata sambutan. Tapi yang saya tidak setuju adalah saat pejabat datang ke masjid hanya saat butuh suara. Tapi di hari-hari lainnya jauh dari masjid. Bahkan jauh dari masyarakat. Saya tidak mengatakan pejabat tadi jauh dari masjid loh ya. Ini hanya kritikan atas fenomena yang terjadi.

Quote Gus Baha via @gen.saladin

Termasuk saat ustadz meninggikan nama pejabat tadi. Mungkin ada agenda tertentu. Saya pun tidak bisa dengan mudah mengatakan salah atau benar. Tapi jujur saja saya tidak nyaman. Alasannya seperti tadi. Apakah benar beliau layak dalam banyak aspek, sebatas kedekatan personal, atau memuji dengan tujuan tertentu? Saya pun jadi teringat dengan pesan seorang guru yang lebih kurang maknanya begini.

“Ulama dekat dengan penguasa itu boleh. Tapi jangan sampai ulama dekat-dekat dengan penguasa.”

Apa bedanya? Jika yang pertama adalah alamiah, tapi yang kedua ada kata aktif mendekati dengan maksud tertentu.

Berlanjut ke pembicaraan ketika pulang. Ketika seorang PNS yang sering keluar dari kantor dengan dalih urusan umat dan mempercayakan kepada anak buahnya. Apakah benar itu layak dilakukan? Bukankah itu korupsi waktu? Apalagi sebagai PNS yang digaji oleh rakyat. Entahlah apakah ada potongan gaji atau tidak. Dan hal inilah salah satu pertimbangan saya kenapa tidak mau menjadi PNS atau kerja terikat. Kerawanan atas korupsi waktu.

Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan malam itu. Terkhusus tentang siapa yang harus dimuliakan.

Bagi saya, yang paling dimuliakan bukanlah pejabat, bukan juga ustadz. Yang paling saya muliakan adalah seorang anak perempuan kelas 5 SD bernama Hafiza. Hafiza berhasil membuat saya menangis terharu. Dan sebagai ucapan terima kasih, di belakang panggung saya berikan selembar uang untuknya. Hadiah yang tak seberapa untuk sentuhan yang luar biasa.

Terima kasih, Hafiza. Semoga seperti namanya, kelak engkau akan menjadi hafizah, shalihah, dan mujahidah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *