Oknum Perusak Instansi atau Instansi yang Sengaja Merusak Diri?

Apa arti oknum yang Anda ketahui? Jika melihat dari KBBI, ada tiga arti: Pertama, penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi. Kedua, orang; perseorangan. Ketiga, orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik).

Dulu, apabila ada kejadian tidak menyenangkan yang dilakukan oleh profesi atau instansi tertentu, saya cukup berprasangka baik dan menilai bahwa itu hanya oknum. Namun semakin ke sini, saya semakin kritis. Apakah cara pandang saya yang seperti itu sudah benar? Atau jangan-jangan saya sudah tertipu dengan politik bahasa?

Saya membaca berbagai referensi tentang sejarah penggunaan istilah oknum di Indonesia melalui internet. Nama Seno Gumira Ajidarma paling sering ditemukan terkait sejarah penggunaan istilah oknum. Menurut beliau, istilah oknum adalah produk warisan dari Era Orde Baru untuk membiaskan masalah yang sifatnya struktural menjadi individual. Jadi, kalau ada personal yang salah, yang salah ya personal, bukan instansi. Tujuannya tentu saja untuk menjaga nama baik instansi.

Masih menurut Seno, istilah oknum jarang digunakan untuk anggota organisasi atau instansi non-negara. Yang sering terdengar adalah oknum polisi, oknum TNI, oknum pejabat, dan oknum lain yang diikuti oleh nama instansi pemerintahan. Kalau diingat-ingat, betul juga sih. Jarang sekali ada istilah oknum nelayan, oknum petani, atau oknum buruh.

Saya membaca referensi lainnya. Tulisan berjudul Resolusi Bersama untuk Rayakan HUT Indonesia: Mari Kita Hapus Istilah ‘Oknum’ yang ditulis oleh Ikhwan Hastanto menambahkan perspektif menarik.

Ikhwan sebagai penulis opini di Vice mewawancarai sejarawan arsip bernama Muhidin M. Dahlan. Ada istilah menarik yang Muhidin sampaikan. Lokalisasi citra. Maknanya lebih kurang sama sebagaimana yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma. Menjaga nama baik instansi. Namun semakin ke sini, istilah oknum juga digunakan oleh pihak swasta. Bukan hanya instansi negara. Contoh yang sempat viral terjadi pada tahun 2022. Saat Holywings membuat kontroversi yang memberikan tawaran bagi nama Muhammad dan Maria akan mendapatkan promo miras. Lantas, apa respon dari Holywings?

“Holywings Indonesia tentunya tidak memiliki maksud untuk menutup-nutupi kasus ini atau melindungi oknum yang terlibat.”

Lagi-lagi, hanya oknum. Tujuannya tentu saja menjaga nama baik perusahaan. Apakah perusahaan siap mengambil risiko yang lebih besar? Tentu saja tidak. Toh, yang salah hanya oknum.

***

Kita  patut mengakui bahwa di setiap profesi dan instansi selalu ada oknum. Namun yang keliru adalah tujuan dari penggunaan istilah oknum tersebut. Apakah benar hanya untuk menjaga nama baik instansi? Namun bagaimana jika di instansi tersebut terlalu banyak oknum? Apakah jika terlalu banyak masih relevan menggunakan istilah oknum? Maka wajar saja jika netizen berseloroh,

“Satu hari satu oknum. Jika oknum dikumpulkan bisa jadi satu mabes.”

Bukan hanya perihal terlalu banyak oknum. Masalah lainnya adalah apabila sistem dari instansi atau organisasi yang membuat oknum tersebut dipelihara. Apalagi jika dilakukan oleh para petinggi. Bukankah hal tersebut adalah cara sengaja yang dilakukan bagi instansi untuk merusak diri?

Contohnya saja yang baru-baru ini terjadi. 5 anak muda yang di antaranya ada pengurus ormas Islam terbesar di dunia mengunjungi Israel dan bertemu dengan presidennya. Rakyat Indonesia yang lantang menyuarakan kemerdekaan Palestina tentu saja meradang. Namun yang tak boleh dilupakan adalah beberapa tahun sebelumnya, petinggi ormas yang sama juga melakukan kunjungan ke petinggi negara yang sama. Berbagai dalih pembenaran pun digunakan. Misi perdamaian adalah yang sering digunakan. Maka dari peristiwa ini, berlakulah pepatah. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Kembali ke perkara oknum. Lantas, bagaimana harusnya kita bersikap?

Sekarang mari kita berimajinasi. Bagaimana jika tidak ada penggunaan istilah oknum? Tentu instansi terkait akan dinilai lebih kritis oleh masyarakat. Bukan hanya menggunakan hak imunitas atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota yang  bersangkutan. Instansi akan semakin berbenah perihal masalah internal karena kewajiban untuk bertanggung jawab yang jelas. Bukankah itu jauh lebih baik?

Sebaliknya, apa jadinya jika istilah oknum tetap digunakan? Instansi akan kebal atas berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya. Jangan terlalu berharap akan ada upaya perbaikan. Toh, pelanggaran bukan menggambarkan instansi. Lagi-lagi, itu hanya oknum. Kesalahan pribadi yang terlepas dari tanggung jawab instansi.

Kembali ke judul tulisan ini. Jadi sebenarnya mana yang lebih tepat? Oknum yang merusak instansi atau instansi yang sengaja merusak diri?

Baca juga:
Pelawak Jadi Politisi, Politisi Jadi Pelawak
Tokoh Publik Jangan Antikritik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *