Disclaimer:
Tulisan ini adalah hasil refleksi dengan seorang teman. Kamu mungkin tidak mendapatkan secara utuh langkah demi langkah apa mindfulness writing. Jika kamu butuh tentang itu, bisa membaca di referensi lain. Salah satunya di link ini. Tapi jika kamu butuh perpsektif lain, silakan lanjutkan membaca tulisan ini.
***
Suatu hari, sebuah testimoni masuk melalui email. Testimoni dari sebuah tulisan yang saya buat. Testimoni yang jujur. Terasa ruhnya dari bagaimana cara dia menuliskannya dan saya membacanya. Singkatnya dia menulis begini.
“Kali ini untuk pertama kalinya aku merasakan ada ruh dalam tulisan kamu. Aku merasa kamu menulis dengan hati. Hati yang dekat pada Allah, dan tidak berharap pada bumi.”
Atas testimoni yang dia berikan, ada perasan yang bercampur aduk. Bahagia atas sebuah apresiasi yang jujur, tentu saja. Tapi saya pun berpikir, apakah selama ini saya tidak menulis dengan hati? Apakah selama ini tidak ada ruh dalam tulisan saya?
Berbagai asumsi muncul hanya dari sebuah testimoni. Testimoni dari seseorang yang belum begitu lama kenal, tapi tidak juga orang yang benar-benar asing. Mindblowing. Saya pun flashback dengan sekian jauh proses saya selama ini. Apakah ada yang salah dengan cara saya menulis?
Mungkin jika kamu berada pada posisi saya pun merasakan hal yang sama. Ada seseorang yang memberikan testimoni yang cukup detail, tapi malah membuatmu bingung. Mendapatkan sebuah testimoni yang jujur, tapi malah membuatmu bahagia bercampur ragu. Jadi harus bagaimana? Izinkan saya berbagi persepktif.
Kamu tidak salah. Kamu berbeda. Jadikan saja testimoni orang lain sebagai apresiasi dan peningkatan untuk selanjutnya.
Kejujuran adalah perihal rasa. Tapi mari kita tetap gunakan logika.
Coba baca baik-baik kalimatnya
“Untuk pertama kalinya aku merasakan …”
Kalimat ini sesungguhnya memberikan banyak makna. “Pertama kali baginya” bukan berarti selama ini saya tidak pernah memberikan hal serupa pada kesempatan lainnya. Bisa jadi dia baru membaca tulisan saya kan? Dan nyatanya benar. Seorang teman tadi bukanlah pembaca yang benar-benar membaca tulisan saya dengan sengaja. Setelah saya bertanya, dia hanya membaca tulisan yang terlintas di timeline dan beberapa tulisan khusus.
Seorang teman ini sebenarnya juga penulis. Awal mulanya kami menulis lebih kurang sama. Di masa-masa awal SMA. Yang membedakan kami adalah, bagaimana cara kami memaknai dan menjalani menulis itu sendiri. Gaya tulisan kami pun berbeda. Platform kami juga berbeda. Ya kami sama-sama menulis, tapi kami berbeda.
Lalu muncullah pertanyaan sederhana. Jadi siapa yang tulisannya lebih baik? Tulisan siapa yang memiliki ruh?
Jawaban saya masih sama dengan yang tadi.
Per saya menulis tulisan ini, saya sudah menulis 30 buku, baik pribadi atau antologi. Sedangkan teman tadi, sepengetahuan saya belum pernah menerbitkan buku. Kecuali buku skripsi. Secara produktivitas lahirnya buku, kami berbeda.
Kolaborasi visual dan kata yang dia hasilkan begitu apik. Mampu membawa pembaca untuk membayangkan makna dari tulisan itu sendiri. Tangkapan visual saya tidak bisa sepertinya. Secara kolaborasi visual dan kata, kami berbeda.
Bagaimana dengan ruh tulisan?
Kamu pernah baca tulisan tumblr? Ya, dia adalah penulis tumblr. Walaupun banyak juga tulisannya di Instagram. Kalau kamu benar-benar penikmat tulisan tumblr, pasti bisa merasakan “tone” yang berbeda dari tulisan di platform tersebut. Lebih kontemplatif. Dan saya, bukanlah penulis yang besar dari tumblr. Walaupun ada tulisan saya di tumblr. Saya besar dari jurnal harian, berlanjut ke broadcast message, status social media, blog, hingga buku. Adakah ruh di tulisan seorang teman tadi? Ada. Adakah ruh di tulisan saya? Kalau kamu membaca tulisan saya sejak lama, kamu bisa menjawabnya dengan jujur. Secara ruh tulisan, kami berbeda.
Kamu mungkin sudah sering mendengar pesan: menulislah dari hati maka akan sampai ke hati. Pertanyannya, bagaimana sih menulis dari hati? Jawabannya sederhana, ya tulis saja apa yang ingin hatimu sampaikan?
Menulis dari hati kerapkali disalahartikan. Tak jarang orang malah menulis dengan moody. Padahal jelas itu dua hal yang berbeda. Menulis dari hati bukan mengandalkan labilnya perasaan, tapi menggunakan perasaan sebagai kekuatan.
Hal ini sungguh abstrak. Tapi percayalah, kamu bisa merasakan bagaimana efeknya dari tulisan. Ada tulisan yang bisa menyentuhmu, menggerakkanmu, bahkan menggalaukanmu. Semuanya punya ruh masing-masing. Pertanyaannya, mana yang lebih baik? Ya jawab saja jujur dengan hatimu sendiri.
Keep being you. Ini adalah pesan seorang teman tadi. Bukan hanya tentang tentang tulisan, tapi juga kehidupan secara umumnya. Karena bagaimanapun, kita pasti berbeda. Jangan disama-samakan. Karena jika memaksakan harus sama, kerapkali kita minder dengan orang lain. Padahal kita sudah melangkah jauh.
Self love, mencintai diri sendiri. Bisa jadi, inilah yang seringkali kita abaikan.
Sekitar akhir 2019, saya pernah menulis di IG tentang self love letter. Kamu boleh baca kembali di sini
Singkatnya, di sesi itu saya menangis dengan apa yang saya tulis. Kenapa? Karena fokus saya menulis saat itu adalah pada diri sendiri. Menghargai diri sendiri atas apa yang telah dicapai selama ini. Mengucapkan terima kasih dan maaf kepada diri sendiri. Dan ya, saya menangis. Bukan karena sedih, tapi terharu.
Terima kasih Rezky karena masih melangkah sejauh ini.
Maaf Rezky karena seringkali melihat orang lain dan mengabaikan diri sendiri.
Sesekali, cobalah. Kita butuh ruang untuk mengapresiasi diri sendiri. Menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Tidak perlu dipublikasikan jika merasa tidak butuh. Pun jika ingin dipublikasikan, ya silakan juga. Tapi ingat, fokus self love letter adalah kepada diri sendiri, bukan apresiasi orang lain.
Baca Juga:
Perpsektif, Insight Penting Bagi Penulis yang Saya Dapatkan dari Kurniawan Gunadi
Berkaryawan atau Berkarya: Insight Pertemuan dari JS Khairen
The New Way of Writing: Insight Ideafest 2019
Mindfullness writing. Mungkin inilah istilah yang tepat. Menulis secara sadar. Menulis dengan jujur apa yang ingin kamu tuliskan. Menulis sepenuh hati. Ohya satu lagi. Semoga tulisanmu bisa mendekatkan penulis dan pembacanya kepada Sang Pencipta. Walaupun cara kita berbeda, tapi semoga mengarah ke tujuan yang sama ya. Semoga.
Keep being you dan,
selamat meneruskan langkah!