Agustus lalu, saya menuliskan artikel di blog yang berjudul “Memilih Pemimpin Karena Apa?” Tulisan ini berasal dari keresahan bahwa ternyata banyak di antara kita yang tidak punya alasan yang jelas dalam menitipkan suara di pemilihan umum. Bahkan bukan hanya pemilihan umum, dalam banyak kesempatan kita cenderung menjadi pemilih yang emosional dibandingkan rasional. Fenomena ini terjadi menyebar di banyak kalangan. Kalangan ekonomi atas, menengah, hingga bawah. Kalangan terdidik atau biasa saja. Semuanya punya peluang yang sama untuk melakukannya.
Sebenarnya tidak salah jika memilih karena alasan emosional. Namun jika alasan emosional tersebut membuat kita tidak rasional, sepertinya kurang bijak juga. Apalagi dengan alasan yang pragmatis. Yang penting menguntungkan diri sendiri. Tidak penting apakah nanti bisa dipercaya atau tidak. Tidak penting nanti korupsi atau tidak. Tidak penting apakah nanti bisa kerja dengan baik atau tidak. Memang, tidak ada yang ideal. Namun setidaknya kita bisa mengusahakan yang ideal. Karena jika standar ideal saja kita hapus, mau sampai kapan kita begini-gini terus?
Membangun Dinasti Sejak Dini
Pilpres dan pileg usai, dilanjutkan dengan pilkada. Namun sebelum pilkada dimulai, para caleg terpilih pun dilantik. Pemandangan ini saya lihat beberapa hari yang lalu. Jalan Sudirman yang merupakan jalan protokol di Pekanbaru dipenuhi dengan ucapan papan bunga. Saya tidak bisa melihat seluruh ucapan papan bunga dari siapa dan untuk siapa. Apalagi ada dua kantor DPRD di Jalan Sudirman, DPRD Kota Pekanbaru dan DPRD Provinsi Riau. Namun entah kenapa mata saya melirik papan bunga yang teksnya tertulis “anggota DPRD termuda”.
Saya tidak bisa melihat utuh. Entah anggota DPRD termuda se-Indonesia atau se-Riau. Karena di postingan Instagram lain merilis berita tentang anak muda usia 20-an awal dan masih mahasiswa yang dilantik sebagai anggota DPRD. Bukan satu dua orang, beberapa orang. Bahkan ada yang dilantik bersama ayahnya. Luar biasa sejahtera.
Bahkan di Pekanbaru sendiri, setidaknya ada dua pasang anggota DPRD yang punya hubungan kekerabatan untuk tingkatan yang sama. Anak bersama ibu dan anak bersama bapak. Ada yang beda partai, ada yang satu partai. Namun yang jelas mereka beda dapil. Itu baru yang satu tingkat. Bagaimana dengan beda tingkatan?
Kembali ke papan bunga tadi. Saya tidak melihat secara utuh siapa namanya. Namun mata saya teralihkan dengan baliho besar (tentunya berbayar) yang terpampang di kiri dan kanan flyover, tidak jauh dari kantor DPRD Provinsi Riau.
Di sebelah kiri ada anak muda yang sulit dilacak rekam jejaknya. Dibuktikan saat menuliskan namanya di internet saat pileg lalu, minim sekali informasi yang didapatkan. Kalaupun ada, hanya informasi normatif saja. Bahkan baliho kampanye tentangnya sangat biasa. Hanya nama, partai, foto, dan nomor urut. Coba tebak, nomor urut berapa? Nomor urut pertama. Petahana yang maju terpaksa bergeser ke nomor urut dua. Siapa yang terpilih? Anak muda tersebut. Setelah saya selidiki, ternyata beliau adalah menantu dari salah satu bupati di Riau. Namun bukan hanya bupati, sang mertua juga ketua DPW partai politik yang menjadi kapal anak muda tersebut.
Di sebelah kanan, ada perempuan muda. Tertulis di baliho tersebut, “TAHNIAH ATAS PELANTIKAN ANGGOTA DPRD TERMUDA SE-PROVINSI RIAU”. Sepertinya, dialah sosok yang dimaksud dari papan bunga yang saya lihat. Saya penasaran untuk mencari tahu siapa keluarganya. Ternyata benar saja. Sang bapak adalah bupati di salah satu daerah. Bukan hanya itu. Adik dari bupati tersebut juga terpilih sebagai anggota DPR RI karena menggantikan suara terbanyak yang maju sebagai calon gubernur.
Saya yakin, fenomena ini banyak terjadi di daerah lainnya. Bukan hanya saudara, anak pun dimajukan di ranah politik. Ada yang benar-benar dikader dengan baik, tidak sedikit yang dikarbit, bahkan ada juga melanggar etik. Apakah ini sesuatu yang wajar?
Penelitian dari Kata Data juga layak menjadi referensi. Pada tahun 2020, ada 24 anak muda yang berusia di bawah 40 tahun memenangkan pilkada. Dari 24 kepala daerah milenial, Katadata mencatat sebanyak 18 orang di antaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik senior. Tokoh senior ini pernah dan sedang memegang jabatan politik, baik di tingkat nasional maupun di daerah yang sekarang dipimpin para politisi muda tersebut. Kekuasaan tentu otomatis membuat mereka punya kekayaan yang berlimpah sebagai modal dalam berpolitik.
Itu baru tahun 2020. Bagaimana dengan kini? Tentu sudah banyak perubahan dan stategi yang dilakukan. Termasuk dengan mengerahkan kekuatan untuk mengubah aturan untuk memastikan sanak famili bisa meneruskan kekuasaan.
Anak Muda dan Karir Politik
Jujur saja, saya tak mempermasalahkan anak muda yang maju ke ranah politik. Justru itu bagus. Anak muda diharapkan membawa perubahan. Namun tentu perlu ditelisik kembali, apa niatnya untuk maju? Apakah benar membawa perubahan, berkontribusi untuk masyarakat, atau menguntungkan sanak famili? Pun saat mereka terpilih, apakah itu benar sebuah prestasi? Atau sedang dalam kondisi haus validasi? Sehingga menjadikan yang “termuda” sebagai daya jual yang ditawarkan ke masyarakat?
Fenomena ini memang saya alami langsung. Saat pemilu Februari lalu, salah satu caleg muda meminta dukungan di sebuah grup. Saya pun memberikan wadah agar beliau bisa berdialog secara terbuka dengan sesama anggota di grup tersebut. Saya adakan forum melalui Zoom agar siapa saja di ruangan virtual tersebut bisa bertanya. Berhubung saya yang menjadi moderator, momen ini saya gunakan juga untuk menggali misi dan isi pikirannya. Sejujurnya, beliau tidak begitu meyakinkan. Memang saya tetap memilih. Namun ada beberapa kalimat yang rasanya tidak pantas untuk disebutkan. Lebih kurang seperti ini.
“Hanya kami (saya) di sini ini yang pernah maju sejauh ini. Maka, jangan persulit kami untuk berkontribusi.”
Saya mengernyitkan dahi. Apa maksudnya mempersulit? Apakah bertanya hal kritis adalah hal yang mempersulit diri? Apakah bertanya misi, kontribusi, dan rekam jejak adalah hal yang tidak boleh kami ketahui? Kenapa malah menjadikan orang lain yang terlihat salah?
Jangan berpikir semua orang akan mendukung dengan cara yang kita suka. Justru ada sebagian orang yang menunjukkan dukungan dengan cara sebaliknya. Mendukung dengan cara tidak mendukung. Kenapa? Karena dia sadar dengan kapasitas yang akan didukung, maka dia mendukung agar sosok tersebut tidak perlu terpilih. Bagi pemilih, itu adalah cara darinya untuk menyelamatkan sosok yang akan dipilih. Atau cara lainnya, kita mendukungnya untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan cara mengkritisi, membuka diskusi, dan dukungan konstruktif lain. Bukan hanya sebatas memilih di kertas suara. Karena bagaimanapun, kita perlu untuk menjadi pemilih yang bijak dan rasional, bukan sebatas emosional. Lagi-lagi, ini bukan hanya tentang pemilu, tapi dalam banyak hal.
Mengenali Diri dan Mencari Validasi
Anak muda memang dekat dengan fase mengenali diri. Namun tidak jarang dalam pencariannya bukannya mengenali diri, tapi haus validasi. Yang terpenting adalah orang bisa melihat dirinya dengan wah. Dan jujur saja, hal itu pernah saya lakukan.
Buku pertama saya terbit saat perpisahan SMA. Buku solo pertama saya terbit saat berumur 19 tahun dan tembus ke Gramedia. Usia yang terhitung muda.
Bukan hanya itu. Saya semakin haus validasi diri agar terlihat semakin wah. Jika hanya menjadi yang termuda, sepertinya banyak yang bisa. Saya mencari cara. Kira-kira bisa apa? Saya menemukan ide. Penulis buku yang tersebar di 5 benua. Dan itu benar-benar tercapai. Selain Indonesia, buku saya mampu menyentuh Australia, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Rumania, Kazakhstan, Sudan, Turki, dan Inggris. Apa yang sebenarnya saya cari? Sebuah prestasi atau validasi diri?
Saya yakin, bukan hanya saya saja anak muda yang mengalami fase ini. Fase yang ingin dikenali. Entah itu dengan cara yang positif atau bahkan negatif. Yang penting terkenal saja. Namun validasi yang berkali-kali dicari keluar adalah cara yang keliru. Kenapa? Karena yang jauh lebih penting adalah mengenali diri sendiri. Bahayanya, banyak anak muda, bahkan orang dewasa, yang tidak benar-benar kenal dengan dirinya sendiri. Salah satu faktor penghambatnya adalah karena sering dipuji dan enggan menerima kritikan. Atau bahkan dalam kasus tertentu, posisi dirinya memang dikondisikan seperti itu. Harus sering dipuji dan tidak ada celah untuk dikritisi. Alhasil, buta dengan kondisi diri. Toh, kata orang dirinya baik-baik saja.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab. Seberapa penting “sukses” di usia muda?
Zaman yang dipenuhi dengan teknologi dan media sosial membuat jawaban tersebut semakin bias. Karena sering melihat keluar dengan berbagai prestasi yang wah, kerap membuat kita tertinggal dengan banyak hal. Punya 100 juta pertama di usia sekian, menikah di umur sekian, dan pencapaian apa pun dengan usia semuda mungkin. Karena itulah indikator sukses. Namun, benarkah harus seperti itu?
Ada sebuah buku berjudul Unfair Advantage yang ditulis oleh Ash Ali dan Hasan Kubba. Terdapat lima kategori unfair advantage yang bisa disingkat menjadi MILES: money, intelligences & insight, location & luck, expertise & education, dan status. Seluruh elemen tersebut adalah privillege yang tidak dimiliki oleh semua orang. Walapun privillege tidak harus sekomplit itu. Mungkin ada yang hanya unggul di status, tapi tidak punya intellegences yang unggul. Bahkan ada banyak yang tidak memiliki satu pun. Lantas, orang yang tidak memiliki unfair advantage, apakah bisa seunggul yang lain? Apakah bisa secepat yang lain? Apakah bisa sukses di usia muda seperti orang yang memiiki unfair advantage?
Antara Kapasitas dan Usia Muda
Ada yang lebih penting dari usia muda, yakni kapasitas diri. Dan hal tersebut bisa diuji dengan banyak hal. Mulai dari rekam jejak, program yang diinisiasi, atau dampak yang sudah dihadirkan.
Anak muda memang penuh dengan kreativitas. Bicara soal kampanye, seharusnya mereka punya jutaan cara yang tidak terpikirkan oleh generasi tua. Di suatu daerah misalkan. Saya pernah melihat baliho dengan efek bayangan seolah sedang dicari-cari. Teksnya adalah “Dicari. Namanya sering dibicarakan tapi wajahnya tak tampak.” Tidak lupa di bagiah bawah tertulis embel-embel bahwa itu dari masyarakat. Misalkan: Forum Masyarakat Peduli EFGH. Kampanye yang kreatif bukan? Blundernya adalah tata letak desain tersebut. Persis di atas Forum Masyarakat Peduli EFGH, tertulis nama sosok pemuda tersebut.
Ayolah, jangan terlalu polos. Tidak mungkin itu hadir dari inisiatif masyarakat. Pasti timses dari pemuda tersebut. Apalagi baliho itu terpasang di banyak tempat. Lantas, bagaimana kabarnya sekarang? Beliau adalah salah satu calon wakil bupati. Bapaknya adalah mantan bupati pada masanya. Sedangkan ibunya adalah anggota DPRD provinsi terpilih, dan sudah berkali-kali.
Masih di daerah yang sama, ada anak muda yang tiba-tiba muncul. Baliho raksasanya ada di mana-mana. Saya cari namanya di internet, pemberitaanya begitu bombastis. Namun persamaannya dari berbagai pemberitaan tersebut adalah baru muncul di beberapa waktu belakangan ini. Foto menggunakan AI, menjual nama presiden terpilih, mengaku sebagai bakal calon bupati termuda se-Indonesia, bahkan mengklaim sudah didukung oleh partai besar. Sulit mencari rekam jejaknya. Walaupun jika dilihat dari media sosial, berbagai fotonya bersama petinggi aparat hukum sering dipublikasikan. Apakah beliau jadi maju? Ternyata tidak.
Rekam jejak, program, dan dampak. Hal inilah yang harusnya dijual oleh anak muda. Bukan sebatas gimik kampanye, usia muda, atau menjual nama keluarga. Hal yang sulit? Mungkin. Namun memang begitulah idealnya yang kita harapkan.
Salah satu gimik yang paling mudah adalah membuat komunitas baru dengan embel-embel nama daerah, lalu buatlah program jangka pendek. Dengan begitu, ada rekam jejak yang sudah dihadirkan. Namun apakah itu cara yang benar? Benar untuk sementara saja. Karena pada saat itu yang diprioritaskan adalah terlihat terlebih dahulu, bukan dampak yang berkelanjutan.
Saya yakin, banyak anak muda yang mampu seperti itu. Dengan segala keterbatasan, mereka berjuang untuk merawat idealisme dengan sebaik-baiknya. Contohnya di Tangerang Selatan. Agus Taufiq hadir dengan kampanye kreatif bernama #DesakTangsel. Kampanye caleg rasa kampanye presiden. Beliau membuka ruang untuk bertukar pikiran, termasuk mengkritisi gagasan serta mempertanyakan rekam jejaknya. Lebih dari itu, beliau mampu menginspirasi caleg sesama partai di dapil yang sama untuk melakukan hal serupa. Sayangnya, beliau tidak terpilih. Bukan karena suara personal yang minim. Namun suara partai yang tidak bisa mendukung. Tercatat, partai tersebut hanya berkontribusi 1 anggota DPRD untuk Tangerang Selatan.
Melihat pencapaian tersebut, karir politiknya nyaris berlanjut. Beliau sempat ditawarkan untuk maju sebagai calon Wakil Walikota Tangerang Selatan. Namun karena beberapa pertimbangan tertentu, tawaran itu pun ditolak. Beliau memilih untuk tetap berkontribusi dengan caranya sendiri.
Yang dilihat dari anak muda sebenarnya bukan hanya sebatas program saat kampanye atau janji jika terpilih. Lihat juga rekam jejaknya. Misalkan bagaimana prestasinya di sekolah, organisasi di kampus, hingga program sosial yang dihadirkannya di luar instansi pendidikan. Tentu melampirkan status saja tidak cukup, melainkan perlu penjelasan mengenai apa yang sudah dilakukannya dengan status tersebut? Misalkan di salah satu daerah, ada salah satu perempuan muda maju sebagai calon wakil bupati dan menuliskan di balihonya, “Mantan Ketua OSIS SMA xxx”. Tidak lupa gelar Hj. di depannya. Lah, iya terus kenapa?
Rekam jejak memang hal yang paling krusial untuk dicek. Salah satu anggota DPRD termuda di Jawa Tengah yang terpilih bersama sang bapak misalkan. Di media sosial, banyak yang membongkar hidupnya semasa kuliah. Mengerjakan tugas dengan AI, menjadi beban kelompok, hingga sering bolos kuliah. Apakah layak dipilih? Idealnya tentu tidak. Namun, realita di lapangannya beliau terpilih. Apakah keadaan seperti ini layak kita normalisasi? Ayolah, tidakkah kita ingin menaikkan standar? Kita layak untuk dapatkan yang lebih baik.
Bagaimana dengan program? Hal yang sudah seharusnya menjadi standar minimal, tapi banyak juga yang tidak bisa menjawab. Program idealnya harus berdasarkan isu yang harus diselesaikan di daerah tersebut. Misalkan, di daerah tersebut minim lapangan kerja. Lalu program yang dihadirkan adalah membuka rumah Quran di setiap kecamatan. Bagus sih bagus. Tapi tidak menjawab masalah.
Dengan mengetahui rekam jejak dan program yang akan dihadirkan, setidaknya kita mampu mempertimbangkan dengan bijak terkait dengan dampak di masa mendatang. Karena rekam jejak berbicara mengenai masa lalu, sedangkan program berbicara mengenai masa depan. Keduanya saling berkaitan untuk dijadikan sebagai indikator penilaian.
Jadi, Memilih Karena Apa?
Sebagai generasi muda, saya tentu saja mendukung anak muda untuk maju dalam hal apa saja. Tentu dalam konteks positif. Termasuk dalam politik. Namun dalam banyak hal, yang terpenting itu bukanlah usia. Apalagi dalam politik dan pemerintahan. Karena ini bukan lagi urusan privat, tapi mengurus kebijakan publik yang berdampak pada masyarakat luas.
Apakah anak muda pasti mewakili anak muda? Belum tentu.
Apakah perempuan pasti mewakili kepentingan perempuan? Belum tentu.
Apakah seorang tokoh agama pasti mengutamakan kepentingan agama? Belum tentu.
Semua jawabannya adalah belum tentu. Kenapa? Karena yang dilihat harusnya bukan akan seperti apa nantinya. Namun lihatlah rekam jejaknya. Jika rekam jejaknya terbukti menujukkan keberpihakan, maka barulah kita boleh percaya.
Sebagai penutup. Kepada anak muda dan siapa saja, terbukalah dengan berbagai pendapat yang ada. Apalagi jika posisi saat ini berurusan dengan kepentingan publik. Jangan antikritik. Justru dengan kritik itulah kita bisa menjadi lebih baik. Abaikan terlebih dahulu bagaimana kemasan kritik itu diberikan, tapi fokuslah pada pesannya. Sebaliknya, bagi penyampai pesan, kemasan juga harus disiapkan dengan sebaik mungkin agar lebih menyentuh dan tepat sasaran.