Dulu, dulu banget, saya grogian kalau bicara di depan umum. Tidak pernah terpikiroleh saya untuk aktif berbicara di depan publik. Tapi kini, kondisinya berbeda. Kenapa bisa?
Seingat saya, tidak pernah sekalipun saya menjadi pemimpin upacara semasa sekolah. Walaupun secara posisi di organisasi saat itu, saya harusnya menjadi pemimpin upacara. Tapi nyatanya tidak juga. Saya malah sering menjadi ajudan yang membawa map Pancasila yang dibacakan oleh inspektur upacara. Atau kadang mengambil posisi di belakang panggung yang menjadi “pintu gerbang” inspektur upacara masuk ke lapangan upacara. Entah apa namanya, saya lupa. Yang jelas, inspektur upacara harus melewati posisi tersebut terlebih dahulu.
Pernah suatu hari di masa SMA, saya memimpin apel siang. Btw, saya sekolah asrama. Setiap pagi dan siang selalu ada apel. Nah, apel ini beda dengan upacara. Kalau upacara lebih terstruktur rapi dan durasinya panjang, apel lebih singkat. Apel dilaksanakan hanya sebagai pembuka dan penutup hari aktivitas belajar mengajar.
Oke lanjut.
Pernah suatu hari saat memimpin apel siang, saya membuat kesalahan fatal. Akibatnya teman seangkatan di asrama putri kena getahnya. Apa kesalahan fatalnya? Mungkin terkesan receh, tapi sebegitu ketatnya di masa asrama.
Saat apel pagi atau siang, adalah hal yang wajar bagi kami untuk push up. Dipimpin oleh pemimpin apel. Biasanya guru atau kadang pengurus OSIS. Push up ini kadang hukuman, kadang aktivitas rutin saja.
Posisi push up mengharuskan peserta apel untuk serong, bukan hadap depan. Nah, secara aturan tak tertulis, haram hukumnya posisi serong junior menghadap senior. Kesalahan inilah yang saya lakukan saat memimpin apel siang. Akibatnya ya tadi. Asrama putri kena getahnya. Dicibir gitu deh oleh senior asrama putri. Asrama putra mah santuy.
Pengalaman ini memberikan kesan tersendiri bagi saya. Trauma sih tidak. Tapi perlahan, saya menjadi lebih terbiasa dan berani saja. Walaupun saya tidak selamanya nyaman di depan.
Pernah suatu hari, di momen upacara (saya lupa upacara apa) saya hadir sebagai pembawa map di lapangan kantor gubernur. Pengalaman yang langka tentunya. Saya bukan hanya membawa map, tapi juga harus membacakan apa yang di map tersebut. Di hadapan ribuan peserta, tepat di depan inspektur upacara (seingat saya saat itu wakil gubernur) saya bacakan teks tersebut. Lagi-lagi, ini pengalaman yang berkesan.
***
Waktu pun berlalu. Banyak pengalaman yang sudah terlewati. Jika dulunya berbicara di depan umum adalah pengalaman menakutkan, kini saya sudah terbiasa. Tapi apakah tidak ada rasa grogi? Tentu masih ada. Rasa grogi itu penting agar kita tetap rendah hati dan meminta kepada Allah untuk dilancarkan dalam berbicara.
Walaupun saya terbiasa berbicara di depan umum, tapi sepertinya saya bukanlah tipe pembicara aktif. Maksudnya? Ya kan ada tuh sosok yang santai banget pembawaannya. Seperti anchor di tv atau mc yang menghibur saat membawa acara. Dan saya, bukan tipe seperti itu.
Dulu saya pernah menjadi moderator yang bintang tamunya saat itu cukup terkenal. Ada juga rasa groginya. Nyaman, ya tidak juga. Belajarlah. Pengalaman tersebut pernah saya ceritakan di Instagram 2 tahun lalu. Tulisannya bisa baca di sini.
Kini di kondisi pandemi, tidak ada lagi pengalaman berbicara di depan publik secara langsung. Tidak ada event offline yang mengharuskan saya hadir sebagai pembicara. Tapi berbicara di forum online cukup banyak saya lakukan.
Per 23 Mei hingga 21 Agustus 2020, saya menantang diri untuk mengadakan Instagram Live Challenges. 30 Instagram Live Challenges dengan topik #NgobrolinNulis. Ngobrol bareng teman diskusi yang inspiratif terkait dunia menulis dan kreatif. Bukan hanya ngobrol, saya juga bikin insight Instagram live di postingan setelahnya. Cek saja di feed Instagram saya. Arsipnya bisa kamu tonton di IG tv.
Apa motivasi saya bikin 30 Instagram Live Challenges? Entahlah. Saya merasa asyik aja untuk ngobrol. Jadi host online. Tapi bukan menjadi MC. Beda ya.
Mungkin salah satu pemantiknya adalah karena saat itu saya lagi aktif-aktifnya nonton Tonight Show yang mana Desta dan Vincent adalah host-nya yang asyik. Terbawalah suasana itu yang saya terapkan di kehidupan sosial secara online.
Di pertemuan online FIM Jakarta pun saya kadang jadi host dadakan. Lagi-lagi bukan MC ya. Host aja. Entah itu sama atau tidak, tapi saya merasa beda saja. Hmm, mungkin bukan MC formal. Jadi pembawaan saya santai. Dan ya, saya cukup bisa membawakannya dengan cair.
***
Malam ini, 1 Oktober 2020 saya menonton Limitless Talk yang dimoderatori oleh Rene Suhardono. Pembicaranya adalah CEO Nutrifood, Mardi Wu. Banyak cerita dan insight yang saya dapatkan. Dan entah kenapa momen saya menonton Limitless Talk membuat saya tergerak untuk mengetikkan jari di laptop untuk menuliskan cerita ini.
Be authentic.
Kata otentik begitu erat dengan seorang Rene Suhardono. Dialah yang mengajarkan saya akan kata otentik. Kata yang sering dia sebutkan dan tergambarkan dalam pembawaan dia bercerita melalui tulisan dan bicara langsung.
Pernah di suatu kesempatan saya menjadi moderator saat dia menjadi pembicara utama. Sungguh ini sebuah pengalaman yang berkesan. Dan alhamdulillah, saya berhasil membawakan itu dengan baik. Tidak sempurna, tapi akan terus bertumbuh.
Entah sudah berapa tahun saya menjadi pembicara. Baik di publik, ngobrol santuy, rekaman di podcast, atau forum lainnya. Tak pernah saya memimpikan untuk menjadi orator seperti Bung Karno atau pemimpin dengan kata mutiara seperti Anies Baswedan. Rene Suhardono mengajarkan saya -entah dia sadar atau tidak- untuk menjadi sosok yang otentik. Menjadi pembicara yang khas dan memberikan “aha” kepada yang mendengar. Kini itu sudah terjadi, dan akan sampai nanti.
Bagimu yang pernah mendengar saya berbicara, semoga apa yang saya ceritakan memberikan makna ya. Mohon doa, semoga lisan ini terjaga dan menjadi penghubung lidah banyak orang akan sebuah kebaikan, kebermanfaatan, dan tentu kebenaran.
Menjadi pembicara yang otentik sepertinya lebih menarik.