Memilih Pemimpin Karena Apa?

Apa momen penting yang terjadi pada Februari dan November 2024? Sebagian mungkin lupa. Sebagian mungkin ingat karena berkaitan dengan hajat hidupnya. Sebagian lain tidak begitu memikirkan. Toh semua hari sama sama. Bekerja dan menjalani hidup seperti biasa.

Tulisan ini sebenarnya bisa rilis pada Februari lalu. Beberapa waktu setelah pilpres dan pileg. Namun baru kali ini terealisasi. Tidak ada alasan khusus. Karena baru kali inilah diluangakan waktu khusus untuk menulis. Terlalu lama memendam sepertinya tidak baik juga. Pikiran yang penuh dan berantakan harus dirapikan agar bisa berpikir lebih jernih dan menenangkan diri sendiri.

Sebagai pengingat. Februari 2024 lalu adalah momen pilpres dan pileg. Sedangkan November nanti adalah momen pilkada serentak. Mulai dari walikota/bupati hingga gubernur. Setiap dari kita yang sudah dewasa pasti memiliki hak suara untuk memilih calon pemimpin. Namun PR-nya adalah belum tentu semua dari kita bisa memilih calon pemimpin dengan bijak. Sebagaimana pilpres dan pileg yang lalu. Banyak yang asal pilih. Atau tertipu karena hoax. Atau berbagai alasan yang tidak logis lainnya.

Saya sengaja menulis tulisan ini sebagai refleksi atas pilhan politik kemarin. 14 Februari lalu, ada 5 kertas suara yang saya coblos dengan alasan yang berbeda.

  • Presiden dan wakil presiden saya pilih dengan alasan yang paling rasional.
  • DPR RI saya pilih karena faktor pengalaman dari sang caleg. Beliau terpilih.
  • DPRD Provinsi saya pilih karena faktor kedekatan fisik. Sosok yang terjangkau jika ingin mengadu. Beliau juga terpilih.
  • DPRD Kabupaten saya hanya memilih partai. Tak ada satu orang pun yang berhasil meyakinkan saya.
  • Terakhir, DPD RI saya pilih karena hubungan emosional.

Saya memilih karena alasan. Setiap pilihan dengan alasan yang berbeda. Bagaimana dengan kamu? Masihkah ingat memilih siapa dan alasannya apa?

***

Mana yang lebih penting, pilpres atau pileg? Jika hanya menjawab pilpres, ada kelirunya juga. Kenapa? Karena keduanya sama-sama penting. Jika pilpres memilih orang yang akan memimpin negara, sedangkan pileg memilih orang yang akan mewakili suara kita. Teorinya seperti itu. Walaupun mungkin teori tidak seindah realita, setidaknya kita masih layak untuk memegang itu. Daripada hanya memilih karena faktor pragmatis. Apakah kelak yang calon pemimpin yang kita pilih akan bertanggungjawab?

Pileg kemarin bagi saya tidak asyik. Walaupun saya memilih 4 calon dengan alasan tersendiri, tapi saya tidak benar-benar teryakinkan. Saya tak punya alasan yang kuat. Saya memang sempat mengundang salah satu caleg untuk berbincang di Zoom. Namun jawabannya tetap tidak meyakinkan saya. Walaupun saya tetap memilih. Memilih karena faktor emosional saja. Bukan alasan rasional.

Atas cara saya memilih, ada yang sempat mengkritisi. Dalam konteks DPD misalkan. Ada yang bilang seperti ini.

“Udahlah, pilih saja. Toh jika dia menang, kita akan bangga. Setidaknya dia bisa bantu kita.”

Teman yang lain berkata,

“Tidak bisa kita samakan lingkup kerja DPD dan DPRD. DPD tak punya program pokir seperti DPRD.”

Mari saya jawab dengan logis.

Jabatan apa pun, pasti punya kuasa. Begitu pula dengan DPD. Walaupun DPD tidak berperan sebagaimana DPRD dan DPR yang memiliki pokir, tapi sudah sewajarnya kita mengetaui isu apa yang akan dibawakan oleh caleg. Bahkan faktanya di lapangan, DPD punya kesempatan kuasa untuk bekerjasama dengan DPR dan kementerian yang berkaitan. Bukankah rencana dan isu tersebut layak diperbincangkan?

Di Kampar sendiri, saya memang masih menyesalkan. Tidak ada caleg yang benar-benar menjanjikan. Hanya menggunakan cara yang lama. Tidak ada kampanye yang mencerdaskan dan melibatkan partisipasi publik dengan positif. Berbeda dengan daerah lain. Beberapa orang yang saya kenal bahkan mengadakan diskusi publik untuk menguji isi pikiran dan program mereka. Di Tangsel ada Desak Agus dan di Bekasi ada Keroyok Maryam. Mereka dari partai yang berbeda. Usia mereka muda dan menjanjikan. Namun sayang, mereka belum terpilih. Mungkin memang isi tas lebih penting daripada isi pikiran.

Baca juga:
Belum Cocok Menjadi Politisi
Apakah Kegiatan Besar Hanya Sebatas Seremonial?

Bagaimana dengan pilkada serentak nanti?

Secara domisili, saya tinggal di Pekanbaru. Sedangkan hak pilih saya masih di Kampar. Dua daerah ini sampai sekarang belum bisa memberikan pilihan yang menjanjikan. Hanya mengandalkan baliho dan cara lama. Berbagai dinamika pasti ada. Ada yang entah dari mana asalnya tiba-tiba sudah ada baliho di mana-mana. Ada juga manuver politik yang tak diduga. Entah akan seperti apa nantinya.

Pesan saya kepada siapa saja yang membaca. Milikilah alasan yang logis untuk memilih calon pemimpin. Karena baik mereka yang terpilih dan kita yang memilih sama-sama punya tanggung jawab. Walaupun memang, terpilihnya calon yang kita harapkan tidak serta merta menjanjikan kesejahteraan. Namun setidaknya, inilah peran kecil kita dalam berpolitik. Bukan hanya sebatas memilih, tapi memilih dengan bijak.

Tetap kritis dan ingat, kita punya hak untuk bertanya dan memilih dengan logis. Memilih dengan pragmatis, sah-sah saja. Namun apakah sebatas itu standar yang kita punya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *