Kita sering mendengar nasihat bahwa ibu adalah sekolah pertama. Tapi kita lupa, jika peran ibu adalah sekolah, maka peran ayah adalah kepala sekolah. Ayah dan ibu bersinergi untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anaknya. Memulai pendidikan dari keluarga, bukan hanya menunggu usia anak masuk sekolah formal. Pertanyaannya adalah, pendidikan apa yang bisa dimulai?
Yang paling dekat dan bisa dimulai adalah pendidikan akhlak. Tapi apa itu akhlak?
Secara sederhana, akhlak adalah perilaku dan budi pekerti. Tentu tidak sedangkal itu. Menurut Imam Al-Ghazali misalkan. Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seorang manusia yang dari sifat tersebut akan timbul suatu perbuatan yang mudah dilakukan tanpa perlu adanya pemikiran dan pertimbangan lagi. Tapi, mari kita ambil definisi sederhana yang di awal saja. Akhlak adalah perilaku dan budi pekerti. Perilaku yang baik tentunya.
Lantas, bagaimana cara pengajarannya? Bagaimana kurikulumnya? Sederhana saja. Keteladanan. Karena anak akan mencontoh dari orang terdekat. Siapa? Tentu saja orang tuanya. Children see, children do.
Menjadi Ayah yang Peduli
Akhir pekan lalu saat sarapan, saya melihat pemandangan menarik. Seorang ayah, ibu, dan satu anak kecil. Sang ibu sedang hamil besar. Saya hanya sebatas tahu siapa mereka, tapi tidak saling kenal dekat. Lantas, apa yang menarik? Bukankah itu pemandangan yang biasa saja? Tenang, masih ada lanjutannya.
Seorang ayah ini berhenti di luar sebentar. Apa yang dilakukannya? Merokok.
Sebagai makhluk yang berakal, kita bisa sepakati bahwa merokok itu merusak. Tidak perlu mencari dalih dan pembenaran bahwa rokok meningkatkan ekonomi masyarakat. Lihat saja fakta di lapangan. Apakah benar petani tembakau sejahtera hidupnya? Tapi bagaimana dengan pengusaha rokok? Menjadi konglomerat. Tapi lucunya, mereka tidak merokok.
Jujur saja, saya benci dengan perokok. Apalagi perokok yang memang tidak menggunakan akal pikiran dengan baik. Contohnya gimana? Saat sedang berkumpul bersama, tanpa merasa bersalah dia mulai merokok. Atau, pengendara yang merokok di jalanan lalu percikan apinya mengenai orang belakang. Belum lagi, merokok di dalam masjid. Sangat tidak beradab!
Sekali lagi, tidak perlu mencari pembenaran kalau ustadz A saja merokok, Kiai B saja merokok. Kita sama-sama tahu merokok itu merusak. Pun jika ada yang merasa sehat-sehat saja, tapi lihatlah orang sekitar yang merasakan dampak. Kezaliman itu kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat!
Saya marah, memang. Tapi bukan berarti saya tidak mau berteman dengan perokok. Tentu dua hal ini berbeda. Saya tidak nyaman dengan perokok. Tapi saat dia tidak merokok, tentu kita bisa berinteraksi seperti biasa.
Kembali ke pemandangan menarik ketika sarapan tadi. Saya tidak tahu seberapa candu sang ayah tadi dengan rokok. Tapi melihat sang ayah sadar bahwa tidak baik merokok dekat anak dan ibu yang sedang hamil, keputusannya tentu saja saya apresiasi. Berbeda jauh dengan seorang bapak yang tanpa merasa bersalah merokok di depan anaknya. Ibunya pun tenang-tenang saja. Sang anak tenang karena diberikan gadget. Pemandangan yang menyedihkan.
Menjadi sosok ayah teladan dimulai dengan kepedulian. Peduli bahwa apa yang dia lakukan kelak akan diikuti oleh keluarganya. Terutama anak dan istrinya. Dan sosok ayah tadi setidaknya sudah memulai. Tidak merokok di depan anak dan istrinya. Mulai membangun kepedulian dan keteladanan. Semoga Allah berikan kekuatan padanya menjadi ayah yang teladan, peduli, membawa keluarga menuju surga, dan tentu saja berhenti merokok.
Ada kisah nyata lain. Saya tidak pernah bertemu secara tatap muka. Tapi kami pernah berinteraksi via zoom saat menulis sebuah buku bersama Komnas PT berjudul Kita Korban.
Namanya Richard Maradona. Wiraswata berumur 40-an tahun. Entah sejak berapa lama dia sudah merokok. Akibat rokok pula, beberapa kali dia drop. Bahkan nyaris meninggal. Salah satunya di pesawat saat perjalanan pulang dari dinas kantor. Kondisi paru-parunya tidak stabil. Bahkan dokter yang merawatnya saat itu mengatakan,
“Kalau telat 10 menit saja, bisa jadi kamu sudah mati.”
Beberapa kali dia sudah dirawat memang. Tapi bandelnya, dia tetap merokok. Barulah di akhir menjelang operasi untuk memasukkan selang kateter ke paru-paru, rokok secara sadar dia tinggalkan. Tapi yang membuatnya sedih bukan hanya sebatas uang yang dihabiskan untuk operasi. Tepat di hari dia operasi, anaknya ulang tahun. Saat seharusnya dia merayakan ulang tahun bersama anaknya, Richard malah tidak ada di samping anaknya. Sedih sekali.
Ada pengalaman menyedihkan lain yang dia alami tanpa disadari. Richard sadar bahwa dia adalah perokok aktif. Tapi dia berusaha untuk peduli pada keluarganya. Dia tidak pernah merokok di depan anak-anaknya. Tidak juga di rumah.
Di lain sisi, anaknya punya “penyakit”. Kekuatan imunnya tidak seperti anak-anak pada umumnya. Mereka selalu batuk-batuk dan berujung demam karena radang. Setelah sembuh 1-2 hari, mereka pasti batuk-batuk dan berujung demam kembali. Setiap makan permen, chiki, es krim, kerupuk atau makanan yang digoreng pasti batuk-batuk parah. Padahal hanya mencoba sedikit saja. Makanya sejak kecil mereka tidak pernah diberi makan itu oleh ayahnya.
Pernah suatu hari anaknya bertanya,
“Kenapa sih Pi, orang lain boleh makan permen, kami nggak boleh.” Anaknya bertanya dengan rasa penasaran.
“Karena kamu spesial dan berbeda dengan anak-anak yang lain.” Richard mencoba untuk menghibur anak-anaknya dengan mencari-cari alasan.
Sekian waktu berjalan, Richard pun berhenti merokok. Ajaibnya, anak-anaknya tidak sakit lagi. Mereka begitu bahagia bisa hidup seperti anak normal pada umumnya. Setelah 10 tahun akhirnya mereka bisa sama seperti anak-anak yang lain. Bisa makan chiki, permen, es krim dan lain-lain tanpa takut sakit lagi.
Richard sadar bahwa ternyata selama ini bukan anaknya yang lemah. Tapi dialah yang jahat kepada anak-anaknya. Walaupun memang dia tidak pernah merokok di depan anak-anaknya, tapi asap dan racun rokok itu menempel di banyak tempat. Di mobil, kursi, tas handphone, dan perkakas lain yang sering digunakan olehnya.
“Ternyata yang jahat itu saya. Yang merokok, enak bagi diri sendiri. Yang rugi orang sekitar. Yang paling rugi, keluarga.”
Menjadi ayah yang peduli memang penting sekali. Richard sudah memulainya. Walaupun bisa dikatakan terlambat, tapi tidak masalah. Setidaknya dia sudah memulai dan semoga ceritanya bisa memberikan manfaat bagi yang lainnya.
Menjadi (Calon) Ibu yang Berprinsip Tanpa Rokok
Bukan hanya ayah yang peduli. Peran ibu pun penting sekali. Bahkan jauh-jauh sebelum menjadi ibu bagi anak dan istri dari suami.
Sah-sah saja perempuan memiliki kriteria pasangan idaman seperti apa. Kaya, tampan, keluarga terpandang, dan yang paling penting tentu saja shalih. Tapi pernahkah kamu wahai perempuan memasang satu kriteria penting yang menjadi prinsip. Hindari laki-laki perokok!
Mungkin terkesan sepele, tapi itulah yang dinamakan prinsip. Karena rokok bukan hanya sebatas pemborosan uang, tapi masa depan keluarga. Jika saja prinsip ini dipegang kuat, percayalah pertumbuhan rokok bisa dihambat. Sekecil apa pun itu.
Walaupun kaya, jangan mau dengan lelaki perokok.
Walaupun tampan, jangan mau dengan lelaki perokok.
Walaupun dari keluarga terpandang, jangan mau dengan lelaki perokok.
Walaupun (terlihat) shalih, jangan mau dengan lelaki perokok.
Mudah saja mungkin bagimu mengabaikan pesan ini. Seolah-olah nanti kamu bisa membuatnya berhenti merokok. Atau mungkin dengan naifnya kamu berkata kalau merokok itu tidak apa-apa. Tapi mari kembali dengan nasihat awal tadi. Bahwa ibu adalah sekolah pertama dan ayah adalah kepala sekolahnya. Jika ayah sebagai kepala sekolah tidak berani bertanggung jawab dan ibu sebagai sekolah pertama tidak berani memiliki prinsip, keluarga seperti apa kelak yang akan dibangun bersama?
Tapi kenapa ada orang lain yang merokok tapi sehat-sehat saja? Mari kita tutup dengan pesan dari Richard Maulana yang sudah mengalaminya.
“Mungkin penyebab utama kamu sakit bukan karena rokok. Tapi yang pasti, dengan merokok semua kandungan racun yang ada di dalam rokok membuat semua organ tubuh menjadi lemah dan mudah terserang berbagai macam penyakit.”
Rokok ini masalah kita semua. Tapi percayalah, masing-masing dari kita punya peran untuk mengatasinya, sekecil apa pun itu. Jadilah lelaki yang peduli, jadilah perempuan yang berprinsip. Mari menjadi teladan yang baik bagi orang sekitar kita. Karena rokok membunuhmu perlahan.