Kuliah? Antara Impian, Passion, dan Dakwah

kuliah kemana

Masa-masa kelas XII bagi sebagian besar orang yang “peduli” dengan masa depannya pasti pernah merasakan hal yang sama. Sebuah pertanyaan yang terngiang-ngiang dalam pikiran, “mau dibawa kemana hubungan kita”. Eh salah, “mau nyambung kemana” maksudnya. Bagi yang gak mikir, alamat karamlah kapal.

Dalam seminar “How to Get Best University” saya membahas banyak hal mengenai itu. Dengan cara kanan, cara kreatif dan efeknya quantum leap. Nah, yang mau dibahas sekarang bukan materinya. Kalo mau materinya ya adain dulu seminarnya. Hehehe

Pertanyaan sederhana yang menjadi dasar ini adalah : Kamu mau jadi apa sih? Sesuai gak dengan passion mu? Apakah dengan menjadi itu kamu bisa bermanfaat bagi banyak orang?

Tujuan, passion dan keber-manfaat-an. Ini 3 (tiga) kata kuncinya. Ketika kamu menjalani segala tahap menuju universitas, sekolah tinggi, akademi atau apapun namanya dengan benar, Insya Allah jalan yang kamu jalani pun berkah.

Ada hal yang harus kita lakukan, ada hal yang harus kita biarkan Allah melakukan. Bahasa kerennya “I do my best, Allah will do the rest”. Jadi gak usah lakuin semuanya.

“Kak, orang tua saya nyuruh saya jadi bidan. Padahal saya mau jadi guru. Alasannya karena di keluarga saya belum ada bidan. Sedangkan guru udah banyak”

Ini alasan yang aneh. Gak usah saya bahas

“Kak, saya pengennya jadi dokter. Tapi orang tua bilang jadi guru aja. Alasan mereka gak jelas. Maksa aja jadi guru. Gak tau kenapa”

Tanyai yang jelas alasannya kenapa. Bisa jadi karena mereka “peduli” dengan kamu. Maksudnya gini nih. Dokter kan belajarnya harus ekstra tu, Kuliah 4 tahun baru dapat S.Ked. Belum lagi untuk koas dan lain sebagainya untuk menjadi seorang dokter. Belum lagi kalau mau jadi spesialis. Tapi bukan berarti jurusan lain gak ekstra loh. Nah sedangkan orang tua tau nilai kita pas-pasan. Belajar malas. Maksain jadi dokter cuma karena perjuangkan impian dari kecil. Nah ini kekeliruan kita. Persyaratan pertama “I do my best” gak tercukupi. Pun kalau nilai kamu bagus, belajarnya rajin mereka pasti lebih mempertimbangkan agar kamu kuliah di kedokteran

“Kak, saya gak bisa kuliah. Orang tua saya gak punya uang untuk menguliahkan saya”

Ingat loh 2 persayaratannya. Do the best. Allah will do the rest. Tau kisah Raeni seorang anak tukang becak yang berhasil menjadi wisudawan terbaik di Universitas Negeri Semarang? Nah Raeni mencukupi 2 persyaratan ini. Dia “do the best”. Urusan “Allah will do the rest” terbukti. Allah Maha Kaya. Jikalau kita benar-benar berusaha Allah pasti membantu. Yakini itu. Nah coba koreksi bagi kita yang beralasan kayak gini. Kita udah “Do the best” atau belum?

“Kak, orang tua saya nyuruh saya jadi tentara. Alasannya karena mereka mau anaknya kayak orang tuanya”

Penyelerasan impian. Ini juga salah satu alasan yang sebenarnya gak masuk akal. Maksa anak kayak orang tua. Dan saya pribadi hampir masuk dalam kategori ini. Orang tua saya keduanya adalah alumni praja IPDN (namanya dulu IIP). Dan mereka pernah menganjurkan anaknya untuk masuk IPDN. Dan hebatnya tidak ada satupun dari anaknya yang masuk IPDN. Kakak saya menolak. Abang saya sekedar tes tanpa keseriusan. Dan saya juga menolak. Mengapa? Karena hidup anak bukanlah regenarasi dari kehidupan orang tua. Anak punya hak menentukan tujuan hidupnya mau jadi apa. Alhamdulillah orang tua saya maklum dengan hal ini. Karena memang perjalanan hidup saya selepas SMA anti-mainstream.

Banyak alasan lain yang sebenarnya terkadang menyulitkan seorang anak untuk menemukan dirinya yang terbaik. Be your best self. Terhalang karena orang tua menyuruh inilah, menyuruh itulah. Dan itulah salah satu dinding terbesar bagi seorang anak. Dan terkadang kita seringkali salah kaprah dalam hal ini. Sering kita merasa jadi anak durhaka karena tidak mengikuti kata orang tua. Padahal konteks durhaka bukan seperti ini. Jikalau kita menjelaskan dengan baik-baik dengan tujuan hidup kita yang jelas, insya Allah hati orang tua kita akan lunak. Orang tua kita seringkali risau karena kita memaksakan sautu hal tanpa tujuan yang jelas. Orang tua memang tak selalu benar, tapi jarang sekali salah.

“Kak, saya mau jadi polisi. Biar keren kan pake seragam. Nanti pas kumpul-kumpul sama teman nanti kan hebat tu”

Gengsi. Hal yang seringkali membuat kita buta akan masa depan. Agar  orang lain memandang kita hebat padahal kita sendiri “gak merasa kebahagiaan” akan hal tersebut. Kita bahagia karena dipuji orang lain. Kalau gak dipuji ya kitanya dongkol. Sebenarnya hal ini bukan hanya terjadi dalam profesi polisi. Banyak bidang lain yang terkadang kita “menghalalkan segala cara”. Banyak yang menggunakan jalur belakang untuk meraih apa yang selama ini mereka katakan impian. Saya gak anti polisi. Tapi saya anti dengan segala proses masuk apapun yang menghalalkan segala cara.

“Kak saya gak percaya kalau masuk itu harus bayar. Saya mau coba dulu”

That’s no problem. Silahkan mencoba. Tapi gunakan hati nuranimu. Ketika kamu dihadapkan dengan mengharuskan bayaran sekian ratus juta bahkan miliaran apakah kamu meng-iya-kan?

3 Agustus 2014, saya dalam perjalan pulang menggunakan sepeda motor dengan salah seorang kakak kelas. Kini dia kuliah di Binus Jakarta. Dia pun sharing

“Abang ada kawan di Binus. Dia mau tes polisi. Orangnya bagus. Orang tuanya pun pejabat di kepolisian. Udah coba ikut tes persiapan masuk polisi di senayan. Dia maunya lulus tanpa bayaran. Tapi hasilnya ndak lulus”

Saya punya kenalan lain. Rumah dan mobil orang tuanya terjual demi kelulusannya.

Apakah semuanya seperti ini? Wallahu’Alam.

“Kak, jangan sok suci gitulah. Sekarang kerja itu sulit. Kalau pake cara ini kan kerjanya terjamin”

Doktrin yang selama ini telah merusak pikiran kita. Cari uang haram aja sulit apalagi cari uang halal. Seringkali kita melupakan peran Allah yang jauh lebih besar. Tidak pernah saya menemukan seseorang yang menjalani hidupnya sesuai dengan passion, mempunyai tujuan yang jelas dan bermanfaat bagi banyak orang mengemis-ngemis dan melarat. Ingat 3 (tiga) kata kuncinya ya. Jikalau salah satu hilang maka gak utuh dan hasil yang sesuai harapan bisa meleset.

“Kalau gitu saya mau kuliah di jurusan agama aja kak. Lebih aman kan ya”

Yap betul sekali. Tapi jikalau menjadikan gelar agama sebagai penghasilan maka saya gak setuju. Dengan gelar sarjana agama mencari penghasilan di masjid dengan ceramah-ceramah dan tidak melakukan usaha lainnya.

“Lah kenapa kak?”

Jikalau kita menjadikan agama hanya berlaku di masjid maka secara tidak sadar kita sudah bersikap “sekuler”. Memisahkan dunia dan agama. Ibarat kata Allah cuma ada di masjid. Sedangkan di jalan-jalan, di kantor, di mal Allah gak ada

“Trus solusinya apa kak?”

Saya yakin dan percaya bahwa dakwah bukan hanya tugas seseorang yang bergelar sarjana agama. Menebar ilmu Allah bukan hanya melalui masjid. Saya selalu memikirkan cara bagaimana merealisasikan visi hidup saya. “Menjadi pejuang Allah dengan segenap kekuatan dan sesuai potensi diri”. Jadi apapun profesinya ada kewajiban dakwah. Mau jadi pengusaha jadilah pengusaha yang jujur. Mau jadi pengacara jadilah pengacara yang membela kebenaran. Mau jadi direktur, jadilah direktur yang menyediakan ruang sholat yang layak dan jadi imam bagi karyawannya. Mau jadi wanita karir, silahkan, jadilah wanita karir yang tetap menjaga aurat.

Pernah seseorang ustadz menyampaikan ceramahnya. Kesimpulannya lebih kurang seperti ini :

“saya bukan seorang sainstis. Jadi kalau saya berbicara mengenai sains Islam maka alamatlah kapal karam. Berbicara bukan sesuai ahlinya. Saya dulu pernah duet dengan seorang dokter yang memaparkan pembutian Islam. Subhanallah. Inilah yang kita butuhkan. Di dalam Al-Quran, Islam mengajarkan banyak hal. Tauhid, hukum, doa, kisah, sejarah, sains dan sebagainya. Dan kita kekurangan tokoh di bidang sains. Padahal ini adalah salah satu bidang yang mempunyai dampak luar biasa dalam kebenaran Islam”

“Ribet amat pake dakwah dakwah segala. Hidup ini gak usah dibawa ribetlah kak. Hidup ya nanti bisa kerja, nikah, punya anak dan bahagia”

Jikalau prinsip kita hanyalah memikirkan tentang kita pribadi, maka bayangkan saya negeri ini kedepannya. Contoh  sekolah dipenuhi oleh guru yang kerjanya hanya mengajar, berikan tugas, ambil gaji dan pulang tanpa memikirkan kualitas muridnya. Bahkan seringkali acuh terhadap muridnya. Yang penting udah ngajar dapat gaji.

Hidup itu suksesmulia. Menebar manfaat apapun profesi kita. Mungkin bukan dakwah, tapi kebermanfaatan yang meluas

Life is choice. Hidup adalah pilihan dan ada pertanggungjawaban. Berkarya dan berdakwalah sesuai bidang masing-masing. Mau jadi ulama, dokter, guru, dosen, ilmuwan, insinyur, pengusaha, pengacara, hakim, jaksa, polisi, tentara dan masih banyak lainnya, silahkan. Ya silahkan pilih.

Keep Writing, Always Inspiring!

Rezky Firmansyah
Founder Passion Writing
Penulis buku tersebar di 5 benua

Mau diskusi asik bahas soal Kepenulisan Passion Kepemudaan? Dengan senang hati saya membuka kesempatan. Silahkan invite 76B4BF69/085363949899 dan juga  follow @rezky_rf9

Kamu merasakan manfaat dari tulisan ini? Tulis comment dan klik tombol share di bagian kiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *